“Dengar apa lagi? Kemarin bahkan Mas Irfan nggak ngomong apa-apa, begitu ngeliat aku, Mas langsung masuk ke rumah. Telpon, sms atau apa juga nggak.” Suara Edellia bergetar karena emosi.
“Maaf… Mas masih syok.”
“Aku yang harus minta maaf karena selama ini sudah menyembunyikan keadaan aku sama Mas.. Edell Cuma tukang jamu Mas.. Orang tua Edell Cuma buruh tani. Kalau memang Mas mau putus.. Edell rela.”
“Dell, Mas nggak bilang kayak gitu..”
“Iya, Edell tahu Mas!” potong Edellia tanpa mempedulikan Irfan yang ingin mengatakan sesuatu. “Edell tahu diri.. Sudahlah Mas.. kemarin itu Mas sudah membuat Edell mengambil keputusan untuk…”
“Bisa denger dulu nggak sih?” Untuk pertama kalinya Irfan menyela dengan suara agak keras. “Del.. Mas nggak akan memutuskan hubungan kita... Aku sayang sama kamu Dell.. tapi… Mas minta satu syarat.”
“Syarat?”
“Mas sudah mendengar dari Eyang… bahwa.. bahwa beliau mau membiayai kuliah kamu.. Mas mau kamu menerima tawaran itu. Kamu bisa jadi ahli pertanian sesuai harapan kamu. Itu bagus kan? Kalau kamu menyanggupinya… Mas akan tetap mempertahankan hubungan kita.”
“Kalau Edell nggak mau Mas?”
“Del… tolong jangan kecewakan Mas.. Mas harap kamu mau menerima bantuan dari Eyang.. atau Mas akan bilang sama orang tua Mas bahwa ada seorang junior Mas yang..”
“Cukup Mas…” potong Edellia lagi. “Aku nggak mau ngrepotin orang lain.”