“Iyo Mbak, jangan lupa juga jamunya buat Bapak sama Ibu.. Mbak sudah tahu, tho?” kata Fransisca sambil duduk di pinggiran teras.
“Yo jelas.. heheh.” Mereka berdua tertawa bersama.
Edellia tengah menuang kunyit asam ke dalam gelas ketika Fransisca berkata, “Mas.. . mau jamu ndak?”
Tanpa firasat apapun Edellia mendongak ke pintu masuk. Seseorang yang ada di depan pintu masuk pun menatap pada tukang jamu remaja yang sedang duduk di teras dengan kebaya warna hijaunya. Irfan tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkatup rapat. Edellia pun kaget bukan main melihat kekasihnya ternyata adalah penghuni rumah itu. Dia tidak pernah tahu kalau rumah besar itu adalah rumah orang tua Irfan. Gelas yang dipegangnya hampir jatuh, kalau Fransisca tidak segera mengambilnya sendiri dari tangan Edellia. Setelah beberapa detik berpandangan Edell yang lebih dahulu mengalihkan matanya.
“Ada apa tho? Kok Mas Irfan sampe terpesona gitu,” canda Fransisca. Irfan tidak menanggapi. “Mau jamu ndak, Mas?”
Irfan tetap tidak menangapi dan masuk ke dalam rumah. Sebelum pintu rumah ditutup satu orang lagi keluar. Rambutnya beruban dengan setelan kaos oblong dan celana sedikit di bawah lutut.
“Oh.. ternyata ndak salah dengar tho.. Jamu ne segelas Cah ayu,” kata orang tua itu.
“Lho… simbah… kok …” Ternyata yang keluar adalah kakek tua yang bisa ngobrol dengannya di bawah pohon beringin.
“Lha ini rumah anak saya Nduk.. apa aneh tho kalau saya menginap di rumah anak saya?”
“Enggak Mbah,” kata Edellia sambil tersenyum kecut. Ternyata kakek teman ngobrolnya selama ini adalah kakek dari pacarnya sendiri. “Biasa tho, Mbah?” Dengan cekatan Edell menuang jamu pada gelas. Rasanya gadis itu ingin menangis, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga.
Segera setelah urusannya di rumah besar itu selesai, Edellia langsung membenahi dagangannya dan melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Irfan. Apa yang harus dikatakannya nanti? Pikirnya dengan perasaan yang kalut.