Mohon tunggu...
yeni purnama
yeni purnama Mohon Tunggu... -

apa nich

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penjual Jamu Gendong Terakhir

18 April 2011   09:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Makannya mandi, Mbak.. nggak pernah mandi sih kalau pagi,” Dani berkata.

“Enak aja.. kamu tuh yang kalau mau sekolah cuman cuci muka doang!” balas Edell. “Kalau di pasar yang beli sedikit, biasanya nggak habis. Keliling ke rumah-rumah juga yang beli sedikit.”

“Ya jelas tho, Mbak.. siang-siang kan orang-orang pada kerja,” kata Danu.

“Oh…iya juga ya,” kata Edellia.

“Kalau gitu mulai jualannya sebelum orang-orang berangkat kerja saja, Nduk. Mungkin bakalan lebih banyak yang beli. Baru setelah kira-kira jam delapan kamu ke pasar Boyolali.”

“Iya, Pak.” Edellia mengangguk.

Setelah selesai makan malam. Edell segera mencuci semua perabot dan segera pergi tidur karena keesokan harinya dia harus bangun pukul tiga untuk meracik jamu yang akan dijual pagi harinya. Hari-harinya selalu seperti itu semenjak satu setengah bulan yang lalu.

Suara jangkrik mendominasi suasana malam itu. Bintang-bintang masih terlihat jelas seperti malam-malam yang lain di musim kemarau. Desa tempat Edellia tinggal Edellia tidak mengalami perubahan yang cukup pesat seperti pusat kota.

Melati yang sudah sedari tadi terlelap dan entah sudah sampai mana mengembara dalam mimpinya, sementara Edell masih menatap langit-langit kamar yang cat warna putihnya sudah berubah menjadi agak kekuningan. Matanya berkali-kali melirik pada layar ponsel miliknya yang sudah agak butut itu. Setelah jam sebelas malam, ponselnya bergetar perlahan tanda sebuah panggilan masuk.

“Halo,” sapa Edellia dengan suara pelan agar tidak membangunkan adiknya.

“Hei.. maaf ya baru nelpon.. ini habis ngerjain tugas sama temen-teman,” kata seseorang dari saluran telepon. Sebuah suara yang halus, menenangkan, dan membuat Edellia lupa akan kepenatan yang kadang menghimpitnya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun