Mohon tunggu...
RSID
RSID Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi di Batas Waktu

17 Oktober 2024   12:26 Diperbarui: 30 November 2024   09:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah SMA di pinggiran kota, dua bintang bersinar terang di antara ribuan cahaya. Mikael dan Alea, dua nama yang selalu bersanding di papan pengumuman prestasi, bersaing dalam persahabatan yang tak terucap. Seperti dua pelari dalam maraton kehidupan, mereka saling mendorong untuk menjadi yang terbaik, menyadari bahwa kehadiran satu sama lain adalah bahan bakar yang membuat mereka terus melangkah maju.

Mikael, dengan ketenangannya, bagaikan pohon yang kokoh berdiri di tengah badai, selalu teguh dan mampu menghadapi segala tantangan. Sementara itu, Alea bagaikan cahaya pagi yang menerangi jalan, memberikan semangat dan inspirasi kepada siapa pun yang berada di sekitarnya. Keduanya saling melengkapi, menciptakan harmoni yang sempurna dalam dunia akademis mereka.

Suatu sore, di bawah rindangnya pohon tua di sudut taman sekolah, Mikael dan Alea duduk bersandar. Suara gemerisik daun dan kicauan burung menjadi latar belakang obrolan mereka.

“Lo pernah mikir engga, El, kalau waktu itu kayak bayangan yang terus ngikutin kita?” tanya Alea tiba-tiba, sembari melihat ke langit yang mulai berubah jingga.

Mikael tertawa kecil. “Bayangan? Hahaha, novel apa lagi yang abis lo baca?”

“Beneran, deh. Kadang gue ngerasa takut. Takut kalau waktu tiba-tiba habis dan gue belum sempat ngelakuin semua yang gue mau,” lanjut Alea dengan nada serius.

Mikael terdiam, menyadari ketakutan yang mendalam di dalam diri Alea.

“Kalau gue bisa, gue mau minta sama waktu buat kasih kita lebih banyak kesempatan. Biar kita bisa terus bareng-bareng,” ucap Mikael pelan.

Hari-hari berlalu, dan mereka tetap menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Mereka menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, saling membantu mengerjakan tugas, atau sekadar duduk berdua di kantin, berbicara tentang segala hal.

Namun, ada sesuatu yang mulai berubah pada Alea. Seperti pohon yang kehilangan daunnya di musim gugur, ia semakin sering tampak lelah dan tidak bersemangat.

Mikael memperhatikan perubahan itu dengan cemas, namun Alea selalu berusaha menutupinya dengan senyum. “Gue cuma kecapean aja, El. Kebanyakan belajar kayaknya,” ucapnya setiap kali Mikael bertanya.

Meski begitu, Mikael merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan.

Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bangku taman, Mikael memutuskan untuk menanyakan perasaan Alea dengan lebih mendalam.

“Lea, lo yakin gaada yang lo sembunyiin dari gue?” tanya Mikael, menatap mata Alea dengan penuh perhatian.

Alea terdiam sejenak, menatap ke arah langit yang mulai gelap. “Gue cuma… kadang ngerasa jenuh aja, El. Tapi ga apa-apa, beneran.”

Mikael mengangguk, meski hatinya masih ragu. Ia tahu Alea tidak mudah berbagi jika itu menyangkut hal serius.

Waktu terus berlalu, Mikael dan Alea terus menjalani hari-hari mereka dengan tawa dan cerita, meski di balik senyum Alea, Mikael merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

Suatu hari, ketika hujan rintik-rintik membasahi halaman sekolah, Mikael melihat Alea duduk sendirian di bangku taman. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, dan ada kerutan kekhawatiran di dahinya. Dengan langkah pelan, ia mendekati bangku taman tempat Alea duduk.

“Eh, lo masih disini, El.” sapa Alea ketika Mikael mendekat.

“Emm... sini deh, gue mau... cerita sesuatu,” tambah Alea dengan suara yang terdengar lemah.

“Kenapa, Lea?” tanya Mikael, kemudian ia duduk di sampingnya.

Alea menghela nafas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. “Gue… mungkin gabisa lama-lama lagi di sini.”

Mikael terdiam. Seolah ada kegelapan yang menyelimuti pikirannya. “Maksud lo?”

Alea menatap Mikael, air mata menggenang di matanya. “Gue sakit, El. Dan… dokter bilang waktu gue ga banyak. Gue didiagnosis dengan penyakit langka.”

Setelah Alea mengungkapkan sakitnya, dunia Mikael seakan berhenti berputar. Waktu yang dulu ia anggap seperti bayangan yang setia mengikuti tanpa arti, kini berubah menjadi musuh nyata yang tak kenal belas kasih.

Ia ingin berteriak, memohon agar waktu berhenti, memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk bersama. Namun, ia tahu, yang bisa ia lakukan hanyalah terus berada di sisi Alea, mendukungnya dalam setiap detik yang tersisa.

Hari-hari setelah pengakuan itu terasa seperti mimpi buruk bagi Mikael. Namun, ia tahu bahwa dirinya harus kuat demi Alea. Setiap kali ia bisa, baik di sekolah maupun di tempat lain, Mikael selalu menemani Alea, memastikan bahwa sahabatnya tidak merasa sendirian dalam perjuangannya.

Mereka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku favorit Alea di taman sekolah atau hanya berbincang tentang apa saja yang terlintas di pikiran. Meski Alea semakin lemah, ia selalu berusaha menunjukkan semangatnya. Ia tidak ingin Mikael melihatnya sebagai sosok yang rapuh.

Suatu sore, saat matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, Alea mengajak Mikael ke taman sekolah, tempat yang selama ini menjadi saksi persahabatan mereka. Di sana, mereka duduk di atas bangku yang sama, memandangi langit yang berubah warna.

“El, lo inget ga waktu kita pertama kali ketemu?” tanya Alea tiba-tiba, dengan senyum kecil yang lemah namun hangat.

Mikael tertawa pelan, mengingat momen itu. “Tentu gue inget. Lo yang waktu itu marah-marah gara-gara gue ga sengaja numpahin jus ke baju lo.”

Alea tertawa kecil. “Iya, hahaha. Gue pikir lo bakal jadi musuh gue selamanya.”

“Tapi ternyata? kita malah jadi sahabat,” lanjut Mikael, menatap Alea dengan tatapan penuh kasih.

Alea mengangguk, matanya menerawang jauh. “Gue bersyukur banget kita bisa temenan, El. Lo selalu ada buat gue.”

Mikael merasakan dadanya menghangat. “Gue juga bersyukur, Lea. Lo sahabat terbaik yang gue punya.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Angin berhembus lembut, membawa kesejukan yang menenangkan.

“El, ada satu hal yang pengen gue lakuin sebelum… sebelum semuanya berakhir,” ucap Alea pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin.

“Apa pun itu, Lea, gue bakal bantu lo,” jawab Mikael tanpa ragu.

Alea tersenyum, menatap Mikael dengan mata yang penuh harap.

“Gue pengen kita pergi ke pantai. Gue pengen liat matahari terbit di sana, sama lo.”

Mikael mengangguk, merasa lega bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk Alea.

“Kita bakal pergi ke pantai, Lea. Gue janji.”

Malam itu, Mikael pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa waktu mereka bersama semakin terbatas, namun ia bertekad untuk membuat setiap detik yang tersisa menjadi berharga.

Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan untuk perjalanan ke pantai. Mikael mengurus segala sesuatunya, dari transportasi hingga akomodasi, memastikan bahwa Alea tidak perlu khawatir tentang apa pun. Ia juga berbicara dengan orangtua Alea, menjelaskan rencana mereka dan meminta izin.

Awalnya orang tua Alea ragu, namun setelah melihat betapa antusiasnya putri mereka, akhirnya orang tuanya setuju dengan syarat Mikael menjaga Alea dengan baik dan selalu memberi kabar. Alea tampak lebih bersemangat dari sebelumnya. Wajahnya kembali bersinar, meski tubuhnya semakin lemah.

Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba. Bertepatan dengan libur panjang, Mikael menjemput Alea pagi-pagi sekali, ketika langit masih gelap dan bintang-bintang masih terlihat.

Mereka berangkat dengan mobil yang dipinjam Mikael dari pamannya, melaju menuju pantai yang terletak beberapa jam dari kota mereka. Jalanan cukup ramai dengan kendaraan lain yang juga memanfaatkan libur panjang ini, tetapi hal itu tidak meredupkan semangat mereka.

Perjalanan itu dipenuhi dengan tawa dan cerita. Alea menceritakan berbagai kenangan masa kecilnya, sementara Mikael berbagi tentang impian-impian masa depannya. Meski ada kesedihan yang menggantung di udara, mereka berdua berusaha untuk menikmati momen yang ada.

Setibanya di pantai, langit mulai berwarna keemasan, menandakan bahwa matahari akan segera terbit. Mikael dan Alea turun dari mobil, lalu mereka berjalan berdua menuju tepi pantai. Pasir yang dingin menyentuh kaki mereka, sementara suara ombak yang berdebur menjadi latar belakang yang menenangkan.

Mereka duduk berdampingan, menatap cakrawala yang perlahan berubah warna. Matahari mulai terbit perlahan, memancarkan cahaya keemasan yang memukau.

“Bagus banget, El,” ucap Alea dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Iya, ini bagus banget,” jawab Mikael, menatap matahari terbit dengan perasaan haru.

Dalam keheningan itu, Mikael merasakan sebuah keberanian muncul dalam dirinya. Ia menoleh ke arah Alea, menatap sahabatnya yang kini tampak begitu damai.

“Emm... Lea, gue mau bilang sesuatu,” ucap Mikael, suaranya sedikit gemetar.

Mikael menarik nafas dalam sebelum mengucapkan sesuatu yang ingin ia sampaikan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam.

“Lea, gue… gue sebenarnya udah lama banget suka sama lo,” ungkapnya dengan suara bergetar oleh emosi yang tertahan.

Alea terdiam, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, perlahan-lahan senyum lembut terukir di wajahnya.

“El, gue juga… gue juga ngerasain hal yang sama,” jawabnya dengan suara pelan.

"Gue selalu ngerasa aman setiap kali bareng lo," lanjut Alea.

Mikael merasa seakan beban besar terangkat dari dadanya. Meski waktu mereka mungkin terbatas, setidaknya ia telah mengungkapkan perasaannya dengan tulus. Mereka saling menatap, mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diungkapkan.

Setelah beberapa saat, Alea bersandar pada bahu Mikael, menikmati kehangatan yang diberikan oleh orang yang dicintainya.

Setelah matahari sepenuhnya terbit, mereka menghabiskan hari dengan berjalan-jalan di sepanjang pantai, mengumpulkan kerang, dan bermain air. Alea tampak lebih hidup dari sebelumnya, seolah-olah berada di pantai telah memberinya energi baru. Mikael tidak bisa berhenti tersenyum melihat keceriaan Alea, dalam hatinya ia tahu bahwa momen ini adalah hadiah yang tak ternilai untuknya.

Saat sore menjelang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di kedai pinggir pantai, menikmati kelapa muda sambil memandangi matahari yang perlahan turun ke tepi barat. Langit mulai berubah warna, menciptakan pemandangan senja yang memukau.

Malam harinya, mereka membuat api unggun kecil di tepi pantai. Di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka duduk berdua, berbicara tentang masa depan yang mereka harapkan.

“El, kalau aku ga ada nanti, aku pengen kamu terus ngejar impian kamu,” ucap Alea tiba-tiba, suaranya lembut.

Mikael menatap Alea, hatinya terasa teriris ketika mendengar kata-kata itu.

“Lea, jangan ngomong kayak gitu. Kita masih punya banyak waktu,” balasnya, meski ia tahu bahwa kenyataan mungkin berkata lain.

Alea tersenyum, menatap api unggun yang berkobar lembut. “Aku tau, El. Tapi aku juga pengen kamu tau kalau aku selalu bangga sama kamu, apa pun yang terjadi.”

Mata mikael menjadi berkaca-kaca. “Aku janji, Lea. Aku bakal terus ngejar impian aku, buat kamu,” ucapnya dengan suara bergetar.

Malam itu, di bawah bintang-bintang, mereka saling berjanji untuk selalu mengingat satu sama lain, apa pun yang terjadi. Mereka tahu bahwa waktu mereka mungkin tidak banyak, namun cinta dan kenangan yang mereka miliki akan abadi.

Keesokan harinya, mereka kembali ke kota dengan perasaan campur aduk. Meski perjalanan ke pantai telah memberikan mereka kebahagiaan, bayang-bayang perpisahan tetap menghantui. Namun, mereka berdua bertekad untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan penuh makna, mengisi setiap detik dengan tawa dan cinta.

Setibanya di rumah, Mikael mengantar Alea hingga ke depan pintu. Mereka berdiri sejenak di sana, menikmati sisa-sisa kebersamaan dari perjalanan mereka.

“Makasih, El, buat perjalanan ini,” ucap Alea dengan senyuman lembut.

Mikael membalas senyumnya. “Aku yang harusnya makasih, Lea. Kamu udah kasih aku kenangan yang gaakan pernah aku lupain.”

Mereka pun kemudian berpelukan erat, merasakan kehangatan dan kedekatan yang terjalin di antara mereka.

Setelah momen itu, Mikael berpamitan dan berjalan pulang ke rumahnya. Meski perjalanan ke pantai telah usai, mereka merasa lebih siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan penuh semangat dan cinta.

Setiap hari setelah itu, Mikael memastikan untuk selalu ada di sisi Alea. Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang mereka sukai, dari membaca buku di perpustakaan hingga mencoba resep-resep baru di dapur. Alea, meski semakin lemah, selalu berusaha untuk tetap ceria, memberikan senyum terbaiknya untuk Mikael.

Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman sekolah, Alea menatap Mikael dengan mata yang penuh rasa syukur.

“El, aku seneng banget kita bisa ngelewatin semua ini bareng-bareng,” ucapnya dengan suara lembut.

Mikael meraih tangan Alea, menggenggamnya erat.

“Aku juga, Lea. Kamu orang yang sangat berarti untukku,” jawabnya tulus.

Hari-hari berlalu, dan meski tubuh Alea semakin melemah, namun semangatnya tetap membara. Mikael terus berada di sisinya, memberikan dukungan dan cinta.

Suatu sore, Mikael mengajak Alea ke taman kota yang tidak jauh dari rumah mereka. Taman itu adalah tempat favorit mereka sejak dulu, tempat di mana banyak kenangan manis telah tercipta. Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil, dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran.

“Kamu ingat ga, Lea, dulu kita sering ke sini buat belajar bareng?” tanya Mikael sambil tersenyum, mengingat masa-masa sekolah mereka.

Alea mengangguk, matanya berbinar. “Iya, dan biasanya kita malah lebih banyak ngobrol daripada belajar,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Mereka menghabiskan sore itu dengan berbincang, mengenang masa lalu, dan merencanakan hal-hal kecil yang ingin mereka lakukan bersama. Meski Alea semakin sering merasa lelah, semangatnya untuk menikmati setiap hari bersama Mikael tetap kuat.

Ketika matahari mulai terbenam, Mikael menggenggam tangan Alea, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa tenang.

“Lea, aku seneng kita bisa terus bareng kayak gini,” ucapnya dengan tulus.

Alea menatap Mikael, matanya penuh rasa sayang.

“Aku juga, El. Kamu selalu jadi alasan aku buat tersenyum setiap hari.”

Mereka duduk di tempat itu hingga langit berubah gelap, menikmati kebersamaan dalam keheningan yang nyaman. Meski tantangan masih ada di depan, mereka tahu bahwa selama mereka saling memiliki, tidak ada yang tidak bisa mereka hadapi.

Di malam harinya, setelah mengantar Alea pulang, Mikael berjalan pulang dengan perasaan hangat di hatinya. Ia merasa bersyukur atas setiap momen yang bisa dibagi dengan Alea, bertekad untuk terus memberikan yang terbaik untuk mereka berdua.

Beberapa minggu setelah kunjungan mereka ke taman, Mikael dan Alea memutuskan untuk menghadiri festival musik di kota. Festival ini adalah acara tahunan yang selalu mereka nantikan, dengan berbagai penampilan musik, permainan, dan makanan yang memenuhi area tersebut.

Mikael dan Alea tiba di area festival musik dengan penuh semangat. Suasana malam itu begitu hidup, dengan lampu-lampu berwarna-warni dan suara musik yang menggema di seluruh penjuru. Mereka memutuskan untuk menjelajahi area festival sebelum pertunjukan utama dimulai.

Di salah satu sudut festival, mereka menemukan ruang seni interaktif, di mana para pengunjung bisa melukis di kanvas besar bersama.

Alea, yang selalu tertarik dengan seni, segera mengajak Mikael untuk bergabung. Mereka mengambil kuas dan mulai melukis, menciptakan pola-pola yang mencerminkan kegembiraan mereka malam itu.

“Ga nyangka kita bisa jadi seniman dadakan,” ucap Alea sambil tertawa, memandang hasil karya mereka yang penuh warna.

Setelah puas melukis, mereka melanjutkan petualangan ke area permainan. Di sana, Mikael menantang Alea untuk mencoba permainan lempar gelang. Dengan penuh semangat, mereka bergantian melempar gelang, dan Alea berhasil memenangkan boneka kecil berbentuk bintang.

“Ini buat kamu, El. Supaya kamu ingat kalau aku lebih jago di permainan ini,” ucap Alea sambil menyerahkan boneka itu dengan senyum kemenangan.

Mikael menerimanya dengan tawa, merasa senang melihat Alea begitu bahagia.

“Iya iya, aku kalah kali ini.”

Ketika malam semakin larut, mereka menuju ke panggung utama untuk menyaksikan penampilan band favorit mereka. Kerumunan orang bersorak ketika band itu mulai memainkan lagu-lagu hits mereka. Mikael dan Alea bernyanyi bersama, tenggelam dalam alunan musik yang membuat semangat.

Di tengah konser, band tersebut memainkan lagu yang dikenal Mikael dan Alea. Mikael mengajak Alea ikut menyanyikan alunan musik. Mereka berdua menikmati suasana konser bersama penonton lainnya.

Saat lagu berakhir, Mikael menatap Alea. “Seru banget ya. Ga nyangka bisa seseru ini.”

Alea tersenyum kecil. “Iya, El, seru banget. Makasih udah ngajak aku nonton.”

Setelah acara berakhir, mereka pulang dengan hati yang penuh kebahagiaan, membawa serta kenangan baru yang akan selalu mereka ingat.

Setelah malam yang penuh kenangan di festival musik, Mikael dan Alea merasa terinspirasi untuk terus mencari petualangan baru.

Beberapa minggu kemudian, mereka mendengar tentang sebuah acara amal yang diadakan di komunitas setempat. Acara tersebut mengundang para sukarelawan untuk membantu merancang taman kecil di area yang sebelumnya terbengkalai.

Mikael dan Alea pun memutuskan untuk berpartisipasi. Mereka tiba di lokasi pada pagi hari, disambut oleh panitia yang dengan senang hati mengarahkan mereka ke area yang membutuhkan perhatian. Taman itu masih berupa lahan kosong dengan beberapa tanaman liar yang tumbuh di sana-sini.

“Ini bakal jadi proyek besar,” ucap Mikael sambil melihat sekeliling.

Alea mengangguk setuju. “Bayangin betapa indahnya nanti kalau sudah jadi taman yang hijau dan asri.”

Dengan semangat, mereka mulai bekerja. Alea, yang memiliki pengetahuan tentang tanaman, memimpin dalam memilih dan menanam bunga serta semak-semak. Sementara itu, Mikael, dengan kekuatanya, membantu menggali tanah dan menata batu-batu untuk membuat jalan setapak.

Sepanjang hari, mereka bekerja berdampingan dengan sukarelawan lainnya, berbagi cerita dan tawa. Kebersamaan dan tujuan yang sama membuat pekerjaan berat terasa lebih ringan.

Di tengah kesibukan, Alea menemukan sebatang pohon kecil yang tampak rapuh namun memiliki potensi untuk tumbuh besar dan kuat. “Kita harus tanam ini di tengah taman, sebagai simbol harapan,” usulnya.

Mikael mengangguk setuju, kemudian bersama-sama mereka menanam pohon itu dengan hati-hati.

“Suatu hari nanti, pohon ini bakal memberikan keteduhan bagi banyak orang,” ucap Mikael sembari menepuk tanah di sekitar pohon.

Ketika matahari mulai terbenam, taman kecil itu mulai menunjukkan bentuknya. Meski belum sepenuhnya selesai, perubahan yang terjadi sudah terlihat jelas. Mikael dan Alea berdiri sejenak, mengagumi hasil kerja keras mereka.

“Kita harus sering-sering lakuin hal kayak gini,” ucap Alea dengan senyum puas.

Mikael mengangguk. “Iya, dan ini bukan cuma tentang membuat taman, tapi juga tentang memberi sesuatu yang berarti bagi orang lain.”

Mereka kemudian pulang dengan perasaan bangga dan puas, membawa serta pelajaran berharga tentang kerja sama dan kontribusi. Hari itu, mereka tidak hanya membantu membangun sebuah taman, tetapi juga memperkuat ikatan di antara mereka dengan komunitas sekitar.

Beberapa bulan setelah proyek taman komunitas, Mikael dan Alea merasa hubungan mereka semakin erat. Mereka menyadari bahwa berbagi pengalaman dan bekerja sama dalam hal-hal kecil maupun besar telah membawa mereka ke tingkat kedekatan yang baru.

Untuk merayakan ini, Alea mengusulkan sebuah ide, yaitu melakukan perjalanan akhir pekan ke sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah.

Mereka berangkat pada Sabtu pagi, membawa perlengkapan pendakian untuk menjelajahi tempat baru. Perjalanan menuju desa itu menawarkan pemandangan yang memukau, hutan hijau, sungai yang mengalir deras, dan pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan.

Setibanya di desa, mereka disambut oleh suasana yang tenang dan udara yang segar. Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati makanan yang mereka bawa, meresapi keindahan alam di sekitar mereka.

Setelah beristirahat sejenak di penginapan kecil yang nyaman, mereka memutuskan untuk memulai petualangan mereka dengan mendaki salah satu jalur yang terkenal.

Selama pendakian, Mikael dan Alea berbincang tentang banyak hal, mulai dari impian masa depan hingga kenangan yang telah mereka jalani bersama. Mereka saling mendukung ketika medan menjadi sedikit menantang, dan sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan yang luar biasa.

Di puncak jalur, mereka menemukan tempat yang sempurna untuk beristirahat. Sebuah tebing kecil yang menawarkan pemandangan lembah di bawah, dengan hamparan pepohonan dan aliran sungai yang berkilauan di bawah sinar matahari.

Alea mengeluarkan botol berisi teh hangat yang dibawanya, dan mereka duduk berdampingan, menikmati momen itu.

“Terima kasih sudah selalu ada di sampingku, El,” ucap Alea dengan tulus.

Mikael tersenyum, menatap Alea dengan penuh kasih.

“Aku yang harusnya berterima kasih, Lea. Kita udah ngelaluin banyak hal bareng, dan aku gabisa ngebayangin ngelakuin semua ini tanpamu,” ucap Mikael.

Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk menulis pesan singkat di buku tamu yang disediakan di puncak jalur tersebut, meninggalkan jejak kecil dari perjalanan mereka.

“Semoga setiap pengunjung di sini merasakan kedamaian dan kebahagiaan seperti yang kami rasakan. Terima kasih untuk momen yang indah ini,” tulis Alea.

Saat matahari mulai terbenam, mereka kembali ke desa dengan hati yang penuh kebahagiaan. Perjalanan ini tidak hanya memberikan mereka kenangan indah, tetapi juga memperkuat komitmen mereka untuk terus mendukung satu sama lain dalam setiap langkah kehidupan.

Malam itu, di bawah langit berbintang, mereka berbagi impian dan harapan untuk masa depan, menyadari bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki satu sama lain.

Setelah akhir pekan yang berkesan di desa pegunungan, Mikael dan Alea kembali ke rutinitas sehari-hari mereka dengan semangat baru. Mereka berdua juga sepakat untuk terus mencari cara agar hubungan mereka tetap penuh petualangan.

Suatu hari, Alea mendengar tentang festival seni di sekolah yang mengundang para siswa untuk berpartisipasi dalam pameran fotografi dengan tema “Kehidupan Sehari-hari.”

Mengetahui bahwa Mikael tertarik pada fotografi, Alea mengusulkan agar mereka ikut berpartisipasi.

“Kayaknya seru! Aku pengen ambil foto-foto yang bener-bener nangkep momen,” ucap Mikael dengan antusias saat Alea menyampaikan idenya.

Mereka pun mendaftar dan mulai merencanakan proyek fotografi mereka. Setiap akhir pekan, mereka pergi ke berbagai tempat di sekitar kota, taman, jalan-jalan kecil, dan sudut-sudut tersembunyi yang sering kali terlewatkan.

Mereka mencoba menangkap kehidupan sehari-hari dari sudut pandang yang unik. Alea, yang lebih suka fokus pada detail-detail kecil seperti cahaya atau bayangan, sering kali mencari perspektif baru. Sementara itu, Mikael lebih tertarik pada objek-objek menarik yang bisa merepresentasikan cerita di balik setiap tempat yang mereka kunjungi.

“Kita harus mastiin setiap fotonya punya cerita sendiri,” ucap Mikael sembari mengatur kameranya untuk mengambil foto seorang pedagang kaki lima di pasar.

Setelah beberapa minggu berburu foto, mereka akhirnya memilih karya-karya terbaik mereka untuk dipamerkan di festival. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih gambar, mengedit, dan mencetaknya.

Ketika tiba hari pameran, aula sekolah sudah penuh dengan berbagai karya seni dari para siswa. Mikael dan Alea dengan bangga menggantung hasil foto-foto mereka, menampilkan kehidupan sehari-hari dalam bentuk yang sederhana tetapi penuh makna.

“Wah, ini keren! Ga nyangka hasilnya bakal sebagus ini,” ucap Alea sambil mengagumi foto-foto yang terpajang.

Mikael tersenyum. “Iya, setiap foto punya makna sendiri.”

Pameran itu tidak hanya memberi mereka kesempatan untuk menampilkan kreativitas, tetapi juga memperkuat kerja sama mereka dalam menghasilkan karya seni. Mereka menyadari bahwa berbagi minat yang sama bisa menjadi cara untuk semakin dekat dan menciptakan kenangan bersama.

Setelah pameran, Mikael dan Alea memutuskan untuk melakukan proyek fotografi lainnya, kali ini dengan mengajak beberapa teman mereka. Mereka ingin membuat album foto bersama yang menangkap momen-momen kebersamaan mereka di berbagai tempat. Persiapan untuk proyek ini menjadi kegiatan yang seru, di mana mereka merencanakan lokasi, tema, dan waktu yang tepat untuk mengambil gambar.

Hari yang dinantikan pun tiba. Bersama teman-teman mereka, Mikael dan Alea pergi ke berbagai tempat menarik di sekitar kota. Tawa dan candaan memenuhi suasana saat mereka bergantian mengambil foto. Mikael sibuk dengan kameranya, menangkap momen-momen, sementara Alea memastikan setiap detail dalam komposisi foto terlihat sempurna.

“Ini seru! Kita harus sering-sering adain proyek kayak gini,” ucap salah satu teman mereka sembari tertawa melihat hasil fotonya.

Alea tersenyum, merasa puas dengan apa yang mereka buat bersama.

“Aku seneng kita bisa bikin sesuatu yang bermakna dari hal-hal sederhana,” ucapnya.

Setelah proyek fotografi selesai, mereka semua berkumpul di rumah Alea untuk melihat hasilnya. Sambil melihat slide foto-foto mereka, suasana dipenuhi tawa dan rasa syukur atas momen-momen kebersamaan yang telah mereka abadikan.

Mikael dan Alea menyadari betapa berharganya hubungan dan kolaborasi mereka. Proyek fotografi ini tidak hanya mempererat hubungan mereka dengan teman-teman, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk merayakan momen-momen sederhana yang sering kali terlewatkan.

Ketika teman-temannya akhirnya pulang, Mikael dan Alea duduk bersama di halaman depan rumah Alea.

“Aku seneng kita bisa bikin momen-momen yang gaakan terlupakan,” ucap Alea sambil melihat langit yang mulai gelap.

Mikael tersenyum dan mengangguk. “Aku juga. Bagiku ini adalah kenangan yang ga akan aku lupakan.”

Dengan perasaan lega dan bahagia, mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil bersama, baik dalam proyek seni maupun dalam momen sederhana, adalah bagian dari perjalanan yang terus mereka bangun bersama.

Setelah proyek ini, mereka semakin bersemangat untuk terus menciptakan kenangan baru, baik melalui fotografi maupun kegiatan lain yang membawa mereka lebih dekat.

Ketika mencari cara untuk mengisi waktu mereka, Alea menemukan informasi tentang program sukarelawan di sebuah panti asuhan lokal. Program tersebut mencari sukarelawan yang bisa meluangkan waktu untuk bermain dan belajar bersama anak-anak di sana. Alea pun langsung tergerak dan berbagi informasi tersebut dengan Mikael.

“Aku rasa ini kesempatan bagus buat kita. Kita bisa berbagi kebahagiaan dengan anak-anak dan mungkin belajar sesuatu dari mereka juga,” ucap Alea dengan semangat yang membara.

Mendengar informasi itu, Mikael setuju tanpa ragu. “Aku suka idenya. Ayo kita coba!”

Mereka pun kemudian mendaftar sebagai sukarelawan dan mulai mengunjungi panti asuhan tersebut setiap akhir pekan. Di sana, mereka berkenalan dengan anak-anak yang penuh semangat dan antusiasme. Setiap kali mereka berkunjung, Mikael dan Alea selalu membawa beragam kegiatan menarik, seperti membuat kerajinan tangan, melukis, dan permainan yang mendidik.

Anak-anak di panti asuhan dengan cepat menyukai kehadiran mereka. Mikael, dengan sifat cerianya, sering mengajak anak-anak bermain permainan di luar ruangan, sementara Alea, dengan bakat seninya, mengajari mereka melukis dan membuat kerajinan tangan.

Suatu hari, ketika mereka sedang melukis bersama, seorang anak bernama Aulia mendekati Alea dengan mata berbinar.

“Kak Alea, aku suka banget melukis. Aku mau jadi pelukis seperti Kakak,” ucap anak itu dengan penuh harap.

Alea tersentuh mendengar kata-kata Aulia. “Kamu pasti bisa, Aulia. Yang penting kamu terus latihan dan jangan pernah berhenti mencoba.”

Setelah momen itu, Mikael dan Alea saling bertukar pandang, merasakan dampak positif yang mereka berikan. Mereka merasa semakin termotivasi dan menyadari bahwa berbagi waktu dan perhatian dengan anak-anak ini tidak hanya memberikan kebahagiaan, tetapi juga membuat hidup mereka lebih berarti.

Setiap kali pulang dari panti asuhan, Mikael dan Alea merasa lebih dekat satu sama lain. Mereka sering berbagi cerita tentang momen-momen menyentuh hati yang mereka alami dan bagaimana anak-anak disana mengajarkan mereka tentang ketulusan dan kebahagiaan sederhana.

Melalui pengalaman ini, Mikael dan Alea belajar bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam tindakan memberi dan berbagi. Mereka berkomitmen untuk melanjutkan kegiatan sukarelawan ini sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka, dan dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, mereka menyadari bahwa tidak hanya membangun kenangan indah, tetapi juga meninggalkan jejak positif di dunia ini.

Suatu hari, ketika Mikael dan Alea menjalani rutinitas di panti asuhan, Alea mengajar anak-anak cara melukis, sementara Mikael mengajarkan mereka olahraga. Tiba-tiba, Alea jatuh lemas ke lantai. Mikael terkejut dan segera berlari menghampirinya.

“Lea! Kenapa?” tanya Mikael, suaranya penuh kekhawatiran.

Alea menghela nafas. “Aku ngerasa ga enak badan, El,” jawab Alea dengan suara pelan.

Setelah Alea mengatakan tentang kondisinya, Mikael langsung bergegas mengajaknya pulang. Di atas motor, Mikael memecah keheningan.

“Aku rasa kamu butuh istirahat yang cukup. Mungkin kita bisa berhenti sebentar dari kegiatan di panti?” ucapnya dengan suara lembut.

Alea menatapnya dengan sedikit bingung. “Tapi, El... aku pengen terus ngeliat mereka. Mereka selalu mengajariku buat bersyukur setiap hari.”

Mikael menghela nafas, mencoba memahami. “Aku tau, Lea. Mereka memang penting, tapi kesehatanmu lebih penting. Aku gamau kamu sakit.”

Alea menggigit bibirnya, “Iya, El, aku ngerti. Tapi aku selalu ngerasa senang setiap kali bareng mereka.”

Mikael tersenyum lembut, “Iya aku juga ngerasa gitu, tapi kamu juga gaperlu maksain. Kalau kamu ngerasa capek, bilang ya. Jangan dipaksa. Aku di sini buat kamu.”

Alea menatap Mikael dengan tulus. “Oke, aku janji,” ucap Alea.

Tak terasa, setengah jam perjalanan sudah mereka lewati, dan mereka pun sampai di rumah Alea. Mikael memberhentikan motornya di depan rumah Alea dan menatapnya dengan penuh perhatian.

Mikael kemudian berkata, “Besok, kita ke dokter ya buat cek kesehatan kamu, bakal aku temenin.”

Alea tersenyum, merasa senang setelah mendengar tawaran Mikael. “Makasih, El.”

Setelah perbincangan singkat itu, Mikael pamit untuk pulang.

Keesokan harinya, Mikael mengantar Alea pergi ke dokter untuk pemeriksaan menyeluruh. Setelah serangkaian tes, Mikael menggenggam tangan Alea erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu.

Ketika mereka akhirnya masuk ke ruang dokter, Alea berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. Dokter menjelaskan bahwa kondisi kesehatan Alea memburuk dan memerlukan perawatan lebih intensif. Ini bukan berita yang mereka harapkan, dan hal itu membuat Alea merasa cemas.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Dok?” tanya Mikael dengan nada tegas, menunjukkan tekadnya untuk membantu Alea.

“Ia butuh banyak istirahat dan sebaiknya tidak melakukan aktivitas berat selama sebulan ke depan,” jawab dokter dengan tenang.

Setelah mendengar penjelasan dokter, Mikael dan Alea meninggalkan klinik dengan perasaan campur aduk. Mikael bertekad untuk mendukung Alea setiap langkahnya, sementara Alea berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi tantangan ini.

“Kamu bisa ngelaluin ini, Lea. Aku di sini buat kamu,” ucap Mikael sambil merangkul Alea erat.

Alea tersenyum lemah, merasa bersyukur memiliki Mikael di sisinya. “Aku tau itu, El. Makasih udah selalu ada.”

Mereka mulai menyesuaikan gaya hidup, memastikan Alea mendapatkan perawatan dan istirahat yang cukup. Meskipun harus mengurangi beberapa aktivitas, termasuk kunjungan ke panti asuhan, mereka tetap berusaha menjaga semangat dan harapan.

Selama masa perawatan, Mikael menjadi pilar kekuatan bagi Alea. Ia memastikan Alea merasa dicintai dan didukung, mengingatkan Alea bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini.

Hari-hari berlalu dengan penuh tantangan, tetapi juga dengan momen-momen kecil kebahagiaan. Mikael dan Alea belajar untuk menghargai setiap saat yang mereka miliki bersama, bahkan ketika situasi terasa sulit. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan masih banyak yang harus mereka hadapi.

Pada suatu sore, kondisi Alea semakin memburuk yang mengharuskan ia melakukan perawatan di rumah sakit. Mikael setia menemaninya, selalu berada di sisinya sambil membawa buku-buku kesayangan dan kamera Alea ke rumah sakit, berharap bisa memberinya sedikit kebahagiaan di tengah perjuangannya.

“El, coba liat foto ini,” ucap Alea suatu sore, saat ia terbaring di kasur rumah sakit, sembari menunjukkan sebuah gambar di kamera digitalnya.

Mikael mendekat untuk melihat layar kamera lebih jelas. “Ini... foto kita di pantai yang itu ya?”

Alea mengangguk pelan. “Iya, dua tahun lalu. Inget ga, waktu itu aku hampir tenggelam gara-gara nekat ikutan kamu berenang?”

Mikael tertawa kecil. “Mana bisa lupa. Untung aku langsung sadar dan bisa nolongin kamu.”

Mikael melanjutkan dengan senyuman lembut, “dan abis itu kamu jadi parno sama air kan? Tapi tetep aja maksa mau foto bareng di tengah pantai.”

Alea menggelengkan kepala, tersenyum malu. “Iya deh, iya. Tapi kamu sabar banget ngajarin aku berenang pelan-pelan abis itu.”

Mikael menatap Alea dengan penuh kasih sayang. “Ya iyalah, masa aku biarin kamu takut air selamanya.”

Mereka menghabiskan sore itu mengenang masa-masa awal persahabatan mereka. Mikael berusaha keras menjaga suasana tetap ceria, meski hatinya berat melihat kondisi Alea.

Di malam harinya, saat Mikael hendak pulang, Alea menahannya dengan sentuhan lembut di tangannya. Mata mereka bertemu, penuh dengan perasaan yang tak terucap.

“El, besok… besok kamu cetak ya foto-foto kita yang ada di kamera. Aku pengen liat fotonya dalam bentuk cetakan, biar bisa kita simpen dan kenang selamanya,” permintaan Alea, suaranya lembut dan penuh harap.

Mikael mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Oke, Lea. Besok aku cetak dan bawain ke sini.”

Keesokan harinya, Mikael datang ke rumah sakit dengan map berisi foto-foto hasil jepretan mereka yang baru dicetak. Ia masuk ke kamar Alea, yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Meski wajah Alea tampak pucat, matanya berbinar saat melihat Mikael.

Mereka mulai melihat foto-foto itu, jemari mereka saling bertaut sambil mengenang setiap momen berharga. Tawa lembut memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya ruangan perawatan.

Tiba-tiba, Alea terbatuk keras, tangannya gemetar memegang foto, Mikael pun segera merangkulnya dengan penuh perhatian. Dalam suasana hening itu, kenangan yang terabadikan dalam foto seolah membangkitkan kembali rasa cemas yang selama ini ia pendam.

“El…” bisik Alea, suaranya bergetar. “Aku… aku takut.”

Mikael mengeratkan pelukannya. “Aku di sini, Lea. Kamu ga sendirian.”

Alea menatap Mikael dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Kalau… kalau aku pergi, kamu bakal inget aku kan?”

“Lea, jangan ngomong gitu,” Mikael memohon, air mata mulai menggenang di matanya.

“Kamu gaakan kemana-mana. Kita masih punya banyak mimpi yang mau diwujudin bareng kan?” lanjut Mikael.

Alea tersenyum lemah. "Iya, El. Tapi… kalau emang waktuku udah habis, aku mau titip satu pesan buat kamu..."

"Kamu masih punya banyak jalan yang harus ditempuh. Kalau suatu saat nanti kamu menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia, jangan takut buat mencobanya lagi." Pesan Alea.

Alea menatap Mikael sejenak sebelum melanjutkan, merasakan beratnya perasaan yang mengikat mereka.

“Apa yang kita punya akan selalu menjadi bagian dari perjalanan kita, tapi kamu berhak mendapatkan kebahagiaan yang baru,” lanjutnya.

Mikael mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya. Ia menggenggam tangan Alea erat, merasakan kehangatan dari orang yang dicintainya.

Namun, seiring waktu yang terus berjalan, kenyataan pahit mulai menghampiri.

Dengan senyum tipis, Alea menutup matanya perlahan. Ruangan itu diselimuti keheningan yang damai, meski hati Mikael terasa hancur. Ia tahu Alea telah pergi, namun cinta mereka akan selalu hidup dalam ingatannya.

Keesokan harinya, dengan hati yang berat, Mikael membantu keluarga Alea mengurus pemakaman. Meskipun masih merasakan duka yang mendalam, ia berusaha tegar.

Pemakaman Alea berlangsung dalam suasana yang menyayat hati. Langit mendung seolah turut berduka, rintik hujan turun perlahan membasahi tanah.

Mikael berdiri terpaku di depan peti Alea, tangannya menggenggam erat sebuket mawar merah, bunga kesukaan Alea.

Saat peti itu diturunkan ke liang lahat, Mikael merasakan sebagian dirinya ikut terkubur. Ia meletakkan buket bunga itu di atas gundukan tanah yang masih basah.

Dengan suara bergetar, ia berbisik lirih, “Selamat jalan, Lea. Aku akan selalu ada untukmu.”

Hari-hari setelah kepergian Alea terasa berat bagi Mikael. Setiap kenangan yang pernah mereka bagi kini terasa menyakitkan. Namun, di tengah kesedihannya, Mikael teringat janji yang ia buat pada Alea.

“Aku akan terus hidup untukmu, Lea,” bisiknya suatu malam, menatap foto mereka berdua. “Aku akan wujudkan mimpi-mimpi kita.”

Perlahan tapi pasti, Mikael mulai bangkit. Ia berusaha mencapai banyak hal, seperti yang selalu diharapkan Alea. Di tengah kesibukannya, ia juga mulai mengembangkan bakat fotografinya, mengabadikan momen-momen indah yang mungkin terlewatkan oleh orang lain.

Suatu hari, saat memotret di taman kota, Mikael membantu seorang anak mengambil balonnya yang tersangkut. Senyum lebar anak itu mengingatkannya pada Alea, dan untuk pertama kalinya, Mikael merasa hidupnya kembali memiliki tujuan. Momen itu mengingatkannya akan keinginan terakhir Alea, memotivasi dirinya untuk meneruskan hidup dengan semangat baru.

Dengan semangat baru, Mikael kembali bekerja sukarela di panti asuhan. Di sana, senyum anak-anak yang ceria menghidupkan kembali semangat Alea dalam dirinya, mengingatkan Mikael bahwa cinta dan kebaikan dapat mengubah hidup, baik bagi dirinya maupun bagi mereka yang membutuhkan.

Di setiap langkah kehidupan, cinta bagaikan angin yang berbisik lembut di tengah hutan lebat, membimbing kita melalui rimbun dan gelapnya kehidupan. Cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya berubah rupa, menjadi jejak keabadian yang menerangi perjalanan hidup seseorang, memberikan makna dan tujuan, bahkan di saat-saat tersulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun