Alea mengangguk pelan. “Iya, dua tahun lalu. Inget ga, waktu itu aku hampir tenggelam gara-gara nekat ikutan kamu berenang?”
Mikael tertawa kecil. “Mana bisa lupa. Untung aku langsung sadar dan bisa nolongin kamu.”
Mikael melanjutkan dengan senyuman lembut, “dan abis itu kamu jadi parno sama air kan? Tapi tetep aja maksa mau foto bareng di tengah pantai.”
Alea menggelengkan kepala, tersenyum malu. “Iya deh, iya. Tapi kamu sabar banget ngajarin aku berenang pelan-pelan abis itu.”
Mikael menatap Alea dengan penuh kasih sayang. “Ya iyalah, masa aku biarin kamu takut air selamanya.”
Mereka menghabiskan sore itu mengenang masa-masa awal persahabatan mereka. Mikael berusaha keras menjaga suasana tetap ceria, meski hatinya berat melihat kondisi Alea.
Di malam harinya, saat Mikael hendak pulang, Alea menahannya dengan sentuhan lembut di tangannya. Mata mereka bertemu, penuh dengan perasaan yang tak terucap.
“El, besok… besok kamu cetak ya foto-foto kita yang ada di kamera. Aku pengen liat fotonya dalam bentuk cetakan, biar bisa kita simpen dan kenang selamanya,” permintaan Alea, suaranya lembut dan penuh harap.
Mikael mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Oke, Lea. Besok aku cetak dan bawain ke sini.”
Keesokan harinya, Mikael datang ke rumah sakit dengan map berisi foto-foto hasil jepretan mereka yang baru dicetak. Ia masuk ke kamar Alea, yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Meski wajah Alea tampak pucat, matanya berbinar saat melihat Mikael.
Mereka mulai melihat foto-foto itu, jemari mereka saling bertaut sambil mengenang setiap momen berharga. Tawa lembut memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya ruangan perawatan.