Setiap hari setelah itu, Mikael memastikan untuk selalu ada di sisi Alea. Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang mereka sukai, dari membaca buku di perpustakaan hingga mencoba resep-resep baru di dapur. Alea, meski semakin lemah, selalu berusaha untuk tetap ceria, memberikan senyum terbaiknya untuk Mikael.
Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman sekolah, Alea menatap Mikael dengan mata yang penuh rasa syukur.
“El, aku seneng banget kita bisa ngelewatin semua ini bareng-bareng,” ucapnya dengan suara lembut.
Mikael meraih tangan Alea, menggenggamnya erat.
“Aku juga, Lea. Kamu orang yang sangat berarti untukku,” jawabnya tulus.
Hari-hari berlalu, dan meski tubuh Alea semakin melemah, namun semangatnya tetap membara. Mikael terus berada di sisinya, memberikan dukungan dan cinta.
Suatu sore, Mikael mengajak Alea ke taman kota yang tidak jauh dari rumah mereka. Taman itu adalah tempat favorit mereka sejak dulu, tempat di mana banyak kenangan manis telah tercipta. Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil, dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran.
“Kamu ingat ga, Lea, dulu kita sering ke sini buat belajar bareng?” tanya Mikael sambil tersenyum, mengingat masa-masa sekolah mereka.
Alea mengangguk, matanya berbinar. “Iya, dan biasanya kita malah lebih banyak ngobrol daripada belajar,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Mereka menghabiskan sore itu dengan berbincang, mengenang masa lalu, dan merencanakan hal-hal kecil yang ingin mereka lakukan bersama. Meski Alea semakin sering merasa lelah, semangatnya untuk menikmati setiap hari bersama Mikael tetap kuat.
Ketika matahari mulai terbenam, Mikael menggenggam tangan Alea, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa tenang.