Alea menatapnya dengan sedikit bingung. “Tapi, El... aku pengen terus ngeliat mereka. Mereka selalu mengajariku buat bersyukur setiap hari.”
Mikael menghela nafas, mencoba memahami. “Aku tau, Lea. Mereka memang penting, tapi kesehatanmu lebih penting. Aku gamau kamu sakit.”
Alea menggigit bibirnya, “Iya, El, aku ngerti. Tapi aku selalu ngerasa senang setiap kali bareng mereka.”
Mikael tersenyum lembut, “Iya aku juga ngerasa gitu, tapi kamu juga gaperlu maksain. Kalau kamu ngerasa capek, bilang ya. Jangan dipaksa. Aku di sini buat kamu.”
Alea menatap Mikael dengan tulus. “Oke, aku janji,” ucap Alea.
Tak terasa, setengah jam perjalanan sudah mereka lewati, dan mereka pun sampai di rumah Alea. Mikael memberhentikan motornya di depan rumah Alea dan menatapnya dengan penuh perhatian.
Mikael kemudian berkata, “Besok, kita ke dokter ya buat cek kesehatan kamu, bakal aku temenin.”
Alea tersenyum, merasa senang setelah mendengar tawaran Mikael. “Makasih, El.”
Setelah perbincangan singkat itu, Mikael pamit untuk pulang.
Keesokan harinya, Mikael mengantar Alea pergi ke dokter untuk pemeriksaan menyeluruh. Setelah serangkaian tes, Mikael menggenggam tangan Alea erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu.
Ketika mereka akhirnya masuk ke ruang dokter, Alea berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. Dokter menjelaskan bahwa kondisi kesehatan Alea memburuk dan memerlukan perawatan lebih intensif. Ini bukan berita yang mereka harapkan, dan hal itu membuat Alea merasa cemas.