Mohon tunggu...
RSID
RSID Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi di Batas Waktu

17 Oktober 2024   12:26 Diperbarui: 30 November 2024   09:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alea menghela nafas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. “Gue… mungkin gabisa lama-lama lagi di sini.”

Mikael terdiam. Seolah ada kegelapan yang menyelimuti pikirannya. “Maksud lo?”

Alea menatap Mikael, air mata menggenang di matanya. “Gue sakit, El. Dan… dokter bilang waktu gue ga banyak. Gue didiagnosis dengan penyakit langka.”

Setelah Alea mengungkapkan sakitnya, dunia Mikael seakan berhenti berputar. Waktu yang dulu ia anggap seperti bayangan yang setia mengikuti tanpa arti, kini berubah menjadi musuh nyata yang tak kenal belas kasih.

Ia ingin berteriak, memohon agar waktu berhenti, memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk bersama. Namun, ia tahu, yang bisa ia lakukan hanyalah terus berada di sisi Alea, mendukungnya dalam setiap detik yang tersisa.

Hari-hari setelah pengakuan itu terasa seperti mimpi buruk bagi Mikael. Namun, ia tahu bahwa dirinya harus kuat demi Alea. Setiap kali ia bisa, baik di sekolah maupun di tempat lain, Mikael selalu menemani Alea, memastikan bahwa sahabatnya tidak merasa sendirian dalam perjuangannya.

Mereka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku favorit Alea di taman sekolah atau hanya berbincang tentang apa saja yang terlintas di pikiran. Meski Alea semakin lemah, ia selalu berusaha menunjukkan semangatnya. Ia tidak ingin Mikael melihatnya sebagai sosok yang rapuh.

Suatu sore, saat matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, Alea mengajak Mikael ke taman sekolah, tempat yang selama ini menjadi saksi persahabatan mereka. Di sana, mereka duduk di atas bangku yang sama, memandangi langit yang berubah warna.

“El, lo inget ga waktu kita pertama kali ketemu?” tanya Alea tiba-tiba, dengan senyum kecil yang lemah namun hangat.

Mikael tertawa pelan, mengingat momen itu. “Tentu gue inget. Lo yang waktu itu marah-marah gara-gara gue ga sengaja numpahin jus ke baju lo.”

Alea tertawa kecil. “Iya, hahaha. Gue pikir lo bakal jadi musuh gue selamanya.”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun