Alea menghela nafas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. “Gue… mungkin gabisa lama-lama lagi di sini.”
Mikael terdiam. Seolah ada kegelapan yang menyelimuti pikirannya. “Maksud lo?”
Alea menatap Mikael, air mata menggenang di matanya. “Gue sakit, El. Dan… dokter bilang waktu gue ga banyak. Gue didiagnosis dengan penyakit langka.”
Setelah Alea mengungkapkan sakitnya, dunia Mikael seakan berhenti berputar. Waktu yang dulu ia anggap seperti bayangan yang setia mengikuti tanpa arti, kini berubah menjadi musuh nyata yang tak kenal belas kasih.
Ia ingin berteriak, memohon agar waktu berhenti, memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk bersama. Namun, ia tahu, yang bisa ia lakukan hanyalah terus berada di sisi Alea, mendukungnya dalam setiap detik yang tersisa.
Hari-hari setelah pengakuan itu terasa seperti mimpi buruk bagi Mikael. Namun, ia tahu bahwa dirinya harus kuat demi Alea. Setiap kali ia bisa, baik di sekolah maupun di tempat lain, Mikael selalu menemani Alea, memastikan bahwa sahabatnya tidak merasa sendirian dalam perjuangannya.
Mereka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku favorit Alea di taman sekolah atau hanya berbincang tentang apa saja yang terlintas di pikiran. Meski Alea semakin lemah, ia selalu berusaha menunjukkan semangatnya. Ia tidak ingin Mikael melihatnya sebagai sosok yang rapuh.
Suatu sore, saat matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, Alea mengajak Mikael ke taman sekolah, tempat yang selama ini menjadi saksi persahabatan mereka. Di sana, mereka duduk di atas bangku yang sama, memandangi langit yang berubah warna.
“El, lo inget ga waktu kita pertama kali ketemu?” tanya Alea tiba-tiba, dengan senyum kecil yang lemah namun hangat.
Mikael tertawa pelan, mengingat momen itu. “Tentu gue inget. Lo yang waktu itu marah-marah gara-gara gue ga sengaja numpahin jus ke baju lo.”
Alea tertawa kecil. “Iya, hahaha. Gue pikir lo bakal jadi musuh gue selamanya.”