31. Taman EdelweisÂ
Matias melangkah mendekati gadis yang sedang menunduk sendirian, duduk di kursi taman itu.
"Nivea!"
"Kau sudah datang? Duduklah!" pintanya seraya bergeser memberi tempat agar lelaki itu dapat duduk di sampingnya.
"Kau gila Nivea? Kenapa kau mencukur rambutmu?"
"Kenapa bicaramu seperti ayah? Kalian mengatakan aku gila. Apa yang salah dengan mencukur rambut? Aku hanya membuatnya lebih pendek. Aku tidak muncul dengan kepala botak, kan?"
"Hahaha.. Bagaimana reaksi pangeran jika melihat calon istrinya mencukur rambut seperti itu?"
"Ah, jadi... karena hal itu, kau tidak datang ke tokoku beberapa hari ini?"
"Bukan Nivea! Aku... hanya sedang sibuk melakukan sesuatu diluar pekerjaanku di perkebunan."
"Hmm.. Jadi begitu ya."
"Tentu! Kau temanku, kapan pun aku dapat berkunjung ke tokomu."
"Aku tidak akan menikah dengannya."
"Apa?"
"Aku tidak menyukai pangeran bodoh itu."
"Benarkah? Kenapa kau tidak menyukainya? Semua gadis di negeri ini begitu menginginkannya. Bukankah... kau juga sudah bersedia dengan keputusan itu?"
Nivea menggeleng, "Aku hanya bersandiwara, menerima keputusan itu sementara. Aku tak mungkin mempermalukan keluarga kerajaan di hadapan banyak orang."
"Kau pintar berbohong, Nivea?"
"Tidak... sebetulnya sangat sulit untuk berbohong."
"Hmm.. Benarkah?"
"Menikahlah denganku Matias!" gadis itu mendongak menatap wajah lelaki di sampingnya.
"Apa.. barusan kau bilang apa?"
"Ah, jangan minta aku mengulangi ucapanku!" Nivea memasang wajah kesal dan mengalihkan pandangannya ke tengah taman.
"Lalu bagaimana aku bisa menjawabnya, jika aku tidak mendengar dengan jelas apa yang kau katakan?"
"Aku menyukaimu! Menikahlah denganku!"
"Kau bercanda? Kau sedang melamarku?"
"Hahaha.. Aku tidak punya banyak waktu untuk bercanda. Jawab saja, iya atau tidak!"
Sekian detik Matias memandangi langit gelap bertabur bintang di atas sana.
"Baiklah! Aku tidak akan membiarkan mu menikah dengan pangeran."
"Jadi, apa itu artinya... kau bersedia menjadi suamiku?"
Tatapan mata keduanya beradu, Matias menjawab dengan anggukan disertai senyum tipis menghiasi wajahnya.
Untuk sementara waktu, keduanya memutuskan akan merahasiakan hubungan mereka dari siapapun di sekitar mereka.
Keesokan harinya, Rodrigues telah siap untuk melancarkan aksinya. Lelaki dengan mata biru itu berada dalam perjalanannya menuju kantor pajak. Tinggal sebentar lagi, dirinya akan sampai disana.
Dari kejauhan, sorot mata tajamnya telah menangkap keberadaan lelaki bermata satu itu sedang melangkah. Hendak naik ke lantai dua. Segera saja Rodrigues mendekat padanya. Dengan penuh percaya diri, dia menyapa lelaki itu.
"Selamat pagi tuan Keith."
"Pagi.. Anda tahu nama Saya?"
"Tentu tuan! Seorang teman menceritakan tentang Anda kepada Saya."
"Benarkah? Hmm.. Siapa nama Anda?"
"Perkenalkan tuan, Saya tuan Barney." sambil sedikit membungkuk memperkenalkan dirinya. "Saya.. butuh bantuan Anda. Bisakah... kita berbincang dengan lebih santai?", lanjutnya.
"Ah, baiklah! Mari ikut Saya ke atas."
Rodrigues mengangguk kemudian mengekori tuan Keith yang mulai menapaki satu persatu anak tangga di hadapan mereka. Kedua lelaki itu menuju lantai tiga.
Tiba di atas sana, tuan Keith berhenti di depan ruang percetakan tagihan pajak. Kondisi yang sepi di sekitar lantai itu, membuat tuan Keith yakin bahwa mereka dapat berbincang di depan ruangan itu, dengan leluasa tanpa harus takut didengar orang lain.
"Jadi, tuan Barney.. Apa yang dapat Saya bantu?"
"Saya bekerja pada suatu pabrik yang memproduksi sepatu, tuan. Pemilik pabrik mempercayakan urusan keuangan kepada Saya. Namun, Saya berpikir bahwa beliau sangat pelit dalam memberikan upah yang pantas kepada Saya."
"Jadi maksud Anda?"
"Bisakah tuan Keith membantu Saya memberikan surat tagihan pajak ekspor pabrik itu, dengan nilai yang lebih besar dari yang sebenarnya?"
"Ah, Saya mengerti tuan Barney. Tapi... Anda tentu tahu bahwa itu, juga ada upahnya."
"Tentu tuan! Saya sudah memahaminya. Begini saja tuan, agar Anda percaya kepada Saya... bagaimana kalau dalam beberapa hari ini Saya akan kembali kesini untuk mengajak tuan ke pabrik yang Saya maksud."
"Hmm.. Ide yang bagus! Baiklah, tuan Barney. Saya masih harus bekerja sekarang. Saya tunggu kedatangan Anda kembali."
"Baik tuan Keith. Terima kasih sebelumnya. Saya pamit."
Lagi-lagi Rodrigues telah berhasil menjalankan rencananya untuk memancing tuan Keith, agar mau bekerjasama dengannya. Beranjak dari kantor pajak, dirinya memutuskan untuk kembali ke rumah, sebelum menemui Matias pada jam makan siang nanti di perkebunan anggur.
Suasana hatinya yang baik, membuat Rodrigues dapat langsung melanjutkan kegiatan melukisnya. Dia sedang berada dalam proses melukis sebuah lukisan yang merupakan pesanan dari kolega ayahnya di negeri seberang.
Rodrigues yang memiliki latar belakang studi bidang pertanian dan perkebunan itu, memiliki bakat melukis yang luar biasa. Lukisan dengan aliran kontemporer yang kerapkali dilukisnya itu telah beberapa kali berhasil menarik minat kalangan tertentu untuk membeli hasil karyanya.
Siang dengan panas matahari yang tidak terlalu menyengat itu, akhirnya tiba. Rodrigues belum lama tiba di perkebunan anggur dan kini dia sedang duduk di pinggir perkebunan menunggu Matias. Tak lama, sahabatnya itu telah muncul menjatuhkan diri duduk di sampingnya.
"Maaf membuatmu menunggu, Rodrigues."
"Tidak masalah. Aku sudah berhasil mendekati tuan Keith. Aku mengatakan akan kembali beberapa hari ini untuk mengajaknya ke pabrik sepatu tempatku bekerja. Saat itu, kita akan membawanya ke istana."
"Kalau begitu, aku akan meminta bantuan pada tuan Carlos untuk meminta salinan surat tagihan pajak bulan lalu di gedung arsip. Jika salinannya masih ada, kita bisa lihat apakah nilainya berbeda jauh."
"Apa tuan Carlos sedang makan siang?"
"Tentu Rodrigues."
"Setelah makan siang, kita temui saja beliau. Agar besok beliau bisa pergi ke gedung arsip."
"Ide yang bagus, Rodrigues."
Sambil menunggu tuan Carlos selesai dengan makan siangnya, mereka pun berjalan kaki menghampiri kedai limun yang berada tak jauh dari perkebunan. Disana, kedua lelaki itu hanya membeli dua botol limun dan melepas dahaganya.
Melihat tuan Carlos telah kembali ke ruangannya, mereka pun bersiap menghampiri.
"Bagaimana kabar Anda tuan Carlos?"
"Cukup baik, Rodrigues!"
"Kami ingin meminta bantuan Anda, tuan."
"Apa itu, Matias?"
"Kami tidak bermaksud merepotkan Anda. Tapi, bisakah besok Anda pergi ke gedung arsip untuk meminta salinan dari surat tagihan pajak bulan lalu?"
"Hmm.. Baiklah!"
"Karena status Anda sebagai pengelola perkebunan, maka hanya Anda yang diperbolehkan untuk melihat salinannya, tuan."
"Ya Matias. Itu benar. Aku akan mengatakan bahwa surat tagihan yang ku terima di perkebunan... rusak karena terkena air. Dan surat itu telah robek sebelum aku membacanya dengan teliti."
"Ah, itu benar tuan." timpal Rodrigues.
"Aku akan mengusahakan untuk meminjam salinannya agar bisa ku bawa kepada kalian. Tapi, apa kalian yakin bahwa nilai tagihannya berbeda dengan tagihan yang sekarang kertasnya ada padamu, Matias?"
"Itu memang baru dugaan kami, tuan Carlos. Tapi, kami cukup yakin bahwa nilainya berbeda."
"Hmm.. Baiklah! Aku akan mencobanya besok." seraya mengangguk-angguk tuan Carlos meyakinkan dirinya untuk segera pergi ke gedung arsip esok hari.
32. Nivea Memberitahu Rahasianya
Hari telah berganti lagi. Di waktu senggangnya saat ini, Matias menyempatkan diri menemui kekasih hatinya. Dia pergi menemui gadis itu di toko rotinya.
"Kau merindukanku?"
"Hahaha. Apa katamu?"
"Apa kau merindukanku?"
"Sstt.. Aku takut kalau tiba-tiba Seri muncul dan mendengarnya."
"Jadi, kau tidak mau menjawab pertanyaanku?"
"Tentu! Aku merindukanmu." jawabnya berbisik memajukan sedikit wajahnya ke hadapan Matias yang sedang berdiri di depan meja pemesanan.
Lelaki itu tampak tersenyum bahagia diberi jawaban semanis itu.
"Aku akan menyiapkan rotimu. Kau mau berapa buah roti?"
"Dua saja. Kau tahu kan favoritku?"
"Tentu! Dan......"
"Aku mau sebotol limun."
"Ah, baiklah! Karena kau ingin limun, maka aku akan menunjukkan sesuatu padamu." seraya bergerak menghampiri lemari limunnya di sisi sebelah sana. "Perhatikan botol ini!" Nivea tengah menunjukkan sebuah botol limun yang telah diambilnya dan kini ada di kedua tangannya.
Matias menurut, kedua matanya tertuju pada botol yang berada di tangan Nivea.
"Bussshh!" tutup botol itu telah terbuka dan terjatuh di atas meja.
Nivea telah membukanya hanya dengan sekali tarik menggunakan tangan kosong. Tentu saja dia tidak menggunakan alat pembuka botol. Pertunjukkan kecil itu berhasil membuat kekasihnya melongo. Dan terdiam dalam hitungan detik.
"Apa... yang kau lakukan, Nivea? Bukankah... tutup botol itu masih tersegel sangat kencang?"
"Hahaha. Itu rahasiaku, Matias! Eh? Tidak ada yang melihat kan, selain kau?" tanyanya sambil kedua matanya menjelajah ke sekeliling area tokonya.
Suasana toko roti Nivea siang hari itu memang cukup terbilang sepi. Hanya ada dua orang pelanggan yang sedang duduk menikmati kudapannya di kursi pojok sana. Dan perhatian mereka hanya tertuju pada urusannya sendiri.
"Ini limunmu. Bawalah! Duduk dulu. Aku akan membawakan rotimu dan... rotiku. Kita berbincang disana." Matias menerima sebotol limun yang disodorkan Nivea ke tangannya.
Lelaki itupun melangkah kepada meja pilihannya, salah satu di dekat kaca.
Tak lama Nivea menghampiri keberadaannya.
"Ayo, kita makan roti ini sama-sama." ucap Nivea yang mulai membelah rotinya. Diikuti Matias yang melakukan hal yang sama.
"Jadi, bagaimana caramu membuka botol limun ini?"
"Ah! Sejak umur tujuh tahun, mendiang kakekku memberitahu bahwa tanganku memiliki kekuatan ajaib."
"Kau mengetahui itu darinya? Kau tidak menyadari itu?"
"Hmm.. Aku tidak menyadarinya. Diam-diam kakek sering memperhatikan kemampuanku. Hingga beliau menyadarinya dan mengatakan itu padaku. Beliau berharap aku dapat lebih berhati-hati ketika menyentuh benda apapun. Karena tanpa sadar aku bisa merusaknya."
"Apa saja yang bisa kau lakukan dengan tanganmu?"
"Hmm.. Membuat roti, mencuci piring, mem........"
"Hei.. aku juga tahu kalau itu! Maksudku, dengan kekuatan ajaib itu."
"Ah, tentu aku bisa membuka tutup botol yang tersegel seperti tadi, membuka simpul yang terikat sangat kencang dengan mudah, lalu.. mengangkat meja kayu yang sangat berat. Ya! Aku pikir aku bisa melakukan itu."
"Wah.. Aku tidak tahu, ternyata kekasihku ini seorang pesulap."
"Apa? Hahaha.. Lebih tepat jika kau mengatakan aku sebagai penyihir. Walau sebenarnya... itu juga bukan sebutan yang tepat untukku."
Matias meminum limunnya setelah menuangnya ke dalam gelas.
"Kau tahu, Nivea?" seraya meletakkan kembali gelasnya. "Kau telah menolongku waktu itu."
"Hmm? Apa? Menolong bagaimana maksudmu?" tanya Nivea penasaran dan menelan sisa roti di dalam mulutnya.
"Kau membukakan kunci keretaku yang rusak dan terkunci sendiri."
"Ah, benarkah? Jadi kau yang berada dalam kereta itu?"
"Hmm.. Waktu itu kunciannya memang rusak, aku selalu lupa mengatakan pada kusirku untuk memperbaikinya. Hingga waktu itu, aku panik karena pintunya benar-benar tidak bisa ku buka. Ledakan di gedung arsip cukup menegangkan. Semua orang takut akan adanya ledakan susulan."
"Ah, itu tepat Matias! Tapi, apa kau punya ide bagaimana caranya agar aku... dapat segera membatalkan keputusan pangeran untuk menikahiku?"
Matias tersentak dan terlintas dalam ingatannya bahwa pangeran Edmund terlibat dalam penipuan pajak itu.
"Aku akan memberitahukan sesuatu padamu. Tapi, tolong jangan kau bocorkan pada siapapun."
"Baiklah! Apa itu?"
"Pangeran Edmund terlibat dalam kasus penipuan pajak."
Nivea membulatkan kedua matanya, diikuti gerakan kedua tangan yang menutup mulutnya.
"Bagaimana bisa kau mengetahuinya?"
"Pada awalnya tuan Carlos, pengelola perkebunan anggur tempatku bekerja, dia mendapat beberapa kali tagihan pajak yang menurutnya tidak masuk akal. Lalu dia mengeluhkan hal itu padaku. Tadinya.. aku sama sekali tidak berniat menyelidiki, hanya saja.. aku kasihan padanya jika harus mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar tagihan pajak itu."
"Lalu?"
"Tapi, tak sengaja... aku justru memergoki orang kepercayaan beliau tengah bertemu dengan lelaki yang tampak mencurigakan. Aku menceritakan hal itu pada Rodrigues. Dan dia memberi ide untuk mencari tahu selanjutnya."
"Ah, dan kalian menemukan fakta bahwa pangeran terlibat?"
"Hmm.. tepat Nivea!"
"Bagus! Hahaha.. dewi fortuna tengah berada di pihakku. Kau harus mengungkapkannya di hadapan baginda raja, Matias! Dan saat itu, aku akan membatalkan keputusan pangeran yang memilihku sebagai pendampingnya."
"Kau yakin, akan menjadikan itu sebagai alasan?"
"Hmm! Sangat yakin."
"Kalau begitu, kau harus bersabar hingga kami sudah berhasil mendapat cukup bukti. Atau, carilah alasan yang lain jika kau tidak sabar!"
Mereka pun berpisah, saat Matias mengatakan dirinya akan kembali ke perkebunan.
Pada saat yang sama, tuan Carlos telah tiba di gedung arsip. Beliau memasuki area gedung yang masih kokoh berdiri. Terlihat adanya perbaikan pada beberapa lantai yang tempo hari terkena dampak ledakan. Tuan Carlos lantas menghampiri meja seorang pekerja yang bertugas menerima tamu disana.
"Selamat siang, nona."
"Ya tuan, selamat siang. Adakah keperluan Anda di gedung arsip ini, tuan?"
"Saya tuan Carlos, ini tanda pengenal Saya." seraya menyodorkan sebuah tanda pengenal yang menyatakan jabatan dirinya di perkebunan anggur. Gadis itupun membaca tanda pengenal yang disodorkan beliau.
"Dengan sangat menyesal, Saya telah merusak surat tagihan pajak bulan lalu yang dikirimkan ke perkebunan kami. Kertas itu terkena air hujan yang cukup parah, hingga tulisannya tidak dapat terbaca. Saya juga belum sempat membacanya dengan teliti. Padahal, Saya berniat akan sekaligus membayarnya bulan ini."
"Ah, apa Anda bermaksud ingin melihat salinannya, tuan?"
"Tepat sekali nona!"
"Salinan bulan lalu masih aman, tuan. Jika Anda mencari salinan tiga bulan ke belakang, rasanya... salinan itu sudah tidak terselamatkan."
"Ah, jadi.. salinan bulan lalu masih ada, nona?"
"Tentu! Anda dapat naik ke lantai dua dan menemui nona Glory di ruangan nomor tiga. Jelaskan kembali padanya dan beliau akan mengizinkan Anda melihat salinan itu."
"Ah, terima kasih atas bantuan Anda nona." dengan sedikit membungkuk ke hadapan gadis itu lalu kemudian beranjak menghampiri anak tangga yang berada di posisi tengah gedung itu.
33. Jatuh Sakit
Tuan Carlos menemui nona Glory dan mengutarakan maksud kedatangan dirinya, sama halnya dengan yang telah beliau utarakan sebelumnya di lantai bawah. Dengan ramah nona Glory bersedia memperlihatkan kertas salinan dari tagihan pajak perkebunan anggur bulan lalu.
Seperti yang sudah diduga, tuan Carlos pun terkejut mendapati nilai tagihan yang tertera disana tidak sama dengan nilai pada kertas tagihan yang saat ini masih berada di tangan Matias. Tentu tuan Carlos menyembunyikan keterkejutannya itu di hadapan nona Glory.
Mengingat sangat sulitnya membawa keluar berkas yang telah tersimpan di gedung arsip, maka tuan Carlos harus melewati sedikit perdebatan dulu dengan nona Glory hingga akhirnya beliau berhasil membawa pulang kertas salinan tersebut.
Begitu sampai di perkebunan, tuan Carlos pun langsung memanggil Matias yang tampak sedang bersiap-siap untuk pergi.
"Kau ingin pulang, Matias?"
"Ya, tuan Carlos."
"Tunggu! Masuklah ke ruanganku!" tuan Carlos melangkah menuju ruang kerjanya sementara Matias mengekori langkahnya.
Kini keduanya telah berada dalam ruangan kerja tuan Carlos. Mereka juga sudah duduk berhadapan. Tangan tuan Carlos mengambil sesuatu dari dalam tas jinjingnya.
"Ini. Aku berhasil membawanya." seraya meletakkan secarik kertas dari tangannya ke atas meja.
"Benarkah tuan?" Matias meraih kertas berwarna merah muda itu dan mulai membacanya dengan seksama. Setelah selesai membacanya, lelaki itupun menghela nafas.
"Dugaan kita tidak meleset, tuan. Saya telah mengingat dengan jelas berapa besar nilai pajak yang tertera pada kertas tagihan, yang Saya simpan di rumah. Itu sungguh jauh di atas nilai yang tertera disini."
"Benar! Aku juga sangat terkejut saat pertama kali petugas arsip itu menunjukkannya padaku. Aku cukup berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapannya."
"Boleh Saya membawa salinan ini bersama Saya, tuan?"
"Tentu! Silahkan kau jaga dan pergunakan sebaik mungkin."
"Baiklah tuan! Saya berterima kasih untuk bantuan Anda."
"Bukan masalah, Matias! Harusnya aku yang berterima kasih karena kau dan Rodrigues sedang berusaha menyelamatkan anggaran perkebunan."
Sebelum pulang, Matias berniat menyempatkan diri untuk mampir ke tempat tinggal sahabatnya, Rodrigues. Namun setengah perjalanan menuju kesana, tiba-tiba saja Matias merasa kepalanya sangat sakit. Sepertinya, dia tak sanggup untuk melanjutkan niatannya itu ke rumah Rodrigues. Maka dia memutuskan untuk langsung pulang ke kediamannya.
Dalam sisa perjalanannya dia berusaha menahan rasa sakit yang menderanya itu. Sesekali memejamkan mata dan duduk bersandar.
Ketika sampai di depan pintu rumahnya, Matias meminta bantuan kepada tuan Luigi untuk membantunya turun dari kereta kudanya. Kusir itupun membantu dan menopang tubuh Matias menuju ke dalam rumah. Namun belum sampai di pintu rumah, Matias ambruk. Lelaki itu kehilangan kesadarannya.
Satu jam lebih telah lewat, Matias belum lama sadarkan diri. Dia mendapati dirinya tengah berada di ranjang, di kamarnya sendiri. Di samping ranjangnya tampak seorang dokter laki-laki yang duduk pada kursi, tak ketinggalan countess Victoria dan Martha yang juga berada disana.
"Akhirnya kau sadar juga, kakak."
"Anda terlalu lelah, tuan Matias. Tekanan darah Anda juga rendah. Sepertinya Anda juga tidak tepat waktu untuk makan."
Matias yang kini telah bersandar pada dipan ranjangnya, menghela nafas. "Ya dokter, sepertinya semua itu memang benar."
"Kau harus beristirahat, Matias. Kau sangat jarang ada di rumah akhir-akhir ini." ucap countess Victoria bersedekap dada.
"Itu benar kakak!" timpal Martha mendukung ucapan ibunya.
"Ambillah waktu untuk beristirahat sebentar dari kesibukan Anda, tuan Matias. Hingga Anda benar-benar telah merasa sehat. Lebih teraturlah untuk makan. Saya akan memberi Anda vitamin."
"Hmm.. Terima kasih banyak, dokter."
"Martha!" Matias berseru kepada adiknya ketika ibunya sedang keluar mengantar kepergian dokter keluarga itu.
"Hmm?"
"Kesini, mendekatlah! Aku akan membisikkan sesuatu di telingamu."
Gadis yang mengenakan gaun biru itu, bergerak mendekat seperti yang diminta oleh sang kakak. Martha menyodorkan sebelah telinganya kepada Matias.
"Aku dan Nivea berpacaran." bisiknya. Sontak Martha menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan menjauhkan telinganya kembali.
"Benarkah itu?"
"Sstt.. Jangan sampai Ibu mendengarnya."
"Tapi, bagaimana mungkin? Dia dan pangeran ...."
Matias menggeleng pasti, "Tidak Martha. Dia hanya berniat sementara saja menerima keputusan itu. Dia tidak pernah menyukai pangeran dan sama sekali tidak ingin menjadi pendampingnya."
"Tapi, apa sekarang dia benar-benar menyukaimu?"
"Hmm.. Aku yakin. Aku bisa melihat itu di matanya dan... sikapnya saat dia berada di dekatku."
"Memang bagaimana sikapnya saat dia di dekatmu?" desak Martha penasaran.
"Dia ......."
"Martha! Ayo keluar, kakakmu harus banyak istirahat." seru countess Victoria yang telah hadir kembali di hadapan mereka.
"Baiklah Ibu! Kakak, istirahatlah. Bacalah beberapa buku jika kau bosan." seraya melangkah menjauh, mengekor di belakang ibunya.
***
Martha sedang duduk menyuapi Matias ketika kekasihnya, Daniel baru saja tiba di ambang pintu kamar Matias.
"Hahaha.. Kau sakit apa Matias?"
Martha dan kakaknya kompak menoleh kepada Daniel. Keduanya pun tertawa.
"Masuklah Daniel!" ucap Matias sementara Daniel melangkah menghampiri dirinya.
"Kau sangat baik, Martha! Menyuapi kakakmu saat sakit."
"Ah, kakak yang memintaku untuk menyuapinya. Dia mengatakan aku harus merawatnya."
"Hmm.. Itu benar, Daniel. Aku melihatnya mondar-mandir saja, jadi lebih baik dia menyuapiku." ucapnya sambil mengunyah makanannya perlahan.
"Hahaha.. Apa yang dikatakan dokter padamu?"
"Hanya butuh istirahat yang cukup serta makan yang lebih teratur."
Martha meletakkan wadah dan sendok yang digunakannya untuk menyuapi Matias makan siang. Gadis itu lantas meraih gelas air putih dan memberikannya ke tangan Matias. Tak lupa, Martha juga menyodorkan tiga macam obat kapsul ke tangan kakaknya.
"Tugasku sudah selesai, Kak. Aku akan keluar bersama Daniel."
"Kau kesini untuk menjemput Martha?"
Daniel mengangguk, "Hmm.. Karena aku baru mengetahuinya tadi dari pelayanmu bahwa kau sakit, maka aku masuk untuk menemuimu."
Tak lama, Daniel dan Martha beranjak pergi dari hadapan Matias.
Sepasang kekasih itu berjalan-jalan santai di bawah indahnya langit siang itu. Cerahnya hari ini membuat mereka merasa sangat beruntung, dapat menikmati hari berdua. Terlihat banyak pejalan kaki seperti mereka, serta beberapa kereta kuda yang sesekali melintas di dekat mereka.
Dan tak lama kemudian, Martha teringat pada kekasih kakaknya itu. Dia pun memutuskan untuk mengajak Daniel berkunjung ke toko roti milik Nivea.
"Nona Nivea! Kau mencukur rambutmu?" Martha bertanya heran sambil mengamati wajah Nivea.
"Ah, nona Martha! Ya, aku hanya.. bosan dengan rambut panjang. Ah ya, kau bersama kekasihmu?"
"Tepat sekali, nona Nivea." diikuti Daniel yang tersenyum, sedikit membungkuk kepada Nivea.
"Kalian mau menikmati rotiku disini?"
"Tentu nona."
"Baiklah! Kau ingin roti apa, nona Martha? Dan kekasihmu..?"
"Roti dengan selai buah berry dan selai strawberry untuk Daniel."
Nivea pun bergerak mulai menyiapkan roti-roti pesanan Martha.
"Kalian mau limun?"
"Boleh nona. Ah ya, kakakku sedang sakit." ucap Martha datar. Menghentikan gerakan Nivea.
"Apa? Sakit? Tapi, baru kemarin Matias kesini."
"Ah, dia kelelahan nona. Sepulang dari perkebunan kemarin sore, dia juga pingsan."
"Apa?"
"Tapi dokter keluarga kami sudah menanganinya, nona. Kau tidak perlu khawatir." ucapnya berbisik pada kalimat terakhir.
34. Rencana Berikutnya
Satu hari berselang, akhirnya Matias sudah membaik. Dirinya juga sudah bosan di rumah, tidak sabar untuk dapat keluar rumah lagi dan melakukan kegiatannya seperti biasa. Sebelum ke perkebunan, Matias berniat untuk menemui kekasihnya dulu. Dengan semangat barunya, lelaki itu beranjak pergi meninggalkan kediamannya setelah sarapan bersama.
Rona bahagia tergambar di wajah Nivea ketika kedua matanya mendapati Matias, yang baru saja turun dari kereta kudanya di depan toko.
"Ah, kau sudah sehat Matias?"
"Tentu! Pasti Martha yang mengatakannya padamu bahwa aku sakit."
"Hmm.. Dia tampak ceria bersama kekasihnya."
"Aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku... hanya ingin muncul sebentar di hadapanmu, agar kau tahu bahwa aku sudah kembali sehat."
"Apa? Kau tahu kalau aku begitu cemas memikirkanmu?"
"Hmm.. Aku bisa merasakannya, Nivea."
Gadis itupun tersenyum malu ketika Matias menatapnya penuh arti.
"Baiklah! Aku pergi sekarang. Aku sudah harus ke perkebunan."
"Jagalah kesehatanmu, Matias! Aku... akan sangat bersedih jika kau sakit."
Matias mengangguk dan tersenyum. Dia kembali pada tuan Luigi, melanjutkan perjalanan menuju perkebunan anggur.
Udara pagi masih terasa begitu nikmat, kicau burung-burung terdengar riang saling bersahutan. Beberapa menit ke depan, kini Matias telah sampai di tujuannya. Segera saja dia menghampiri keberadaan tuan Carlos.
"Selamat pagi, tuan Carlos."
"Ah, kau Matias! Selamat pagi."
"Maaf karena kemarin Saya tidak datang. Kondisi tubuh Saya tidak memungkinkan untuk datang, tuan."
"Kau sakit?"
"Ya, tapi... sekarang sudah membaik."
"Hmm.. Baiklah! Kau akan melanjutkan rencanamu, tentang kasus itu?"
"Tentu tuan Carlos! Hari ini Saya akan menemui Rodrigues dan mengatur waktu untuk mengungkap penipuan itu di... hadapan baginda raja."
"Apa katamu? Kau bercanda, Matias?"
"Tidak tuan. Itu karena kasus ini ada hubungannya dengan... yang mulia pangeran Edmund."
"Jadi..? Aku tidak menduga sampai sejauh itu."
"Tuan Benedict bekerjasama dengan tuan Keith, lalu tuan Keith sudah menipu banyak pihak dengan membuat dan mencetak tagihan pajak palsu. Keuntungan yang didapat oleh tuan Keith, beliau membaginya dengan... pangeran Edmund."
"Ah, aku mengerti Matias! Dan tentunya dari pangeran lah, lelaki bermata satu itu mendapat perlindungan. Sehingga dirinya bebas melakukan penipuan."
"Tolong sembunyikan hal itu dari siapapun, tuan Carlos. Hingga waktunya nanti kami mengungkapnya dengan bukti yang ada."
"Tentu Matias! Jika kau sudah berhasil mengungkapnya, aku akan mempertimbangkan kembali untuk tetap memperkerjakan tuan Benedict atau tidak. Tapi tampaknya, aku cukup sulit untuk menaruh kepercayaan lagi padanya."
Setelah mengakhiri perbincangannya dengan tuan Carlos, Matias kembali ke tengah area perkebunan. Dengan teliti, dia melakukan tugasnya memantau pekerjaan para pekerja kebun itu satu persatu di posisinya masing-masing.
***
"Maaf, baru sekarang aku menemuimu Rodrigues."
"Kau sibuk kemarin?"
"Tidak. Aku hanya berdiam diri di rumah. Kondisi tubuhku tidak baik."
"Ah, tapi.. apa sekarang kau benar-benar sudah membaik?"
"Tentu Rodrigues! Aku membawa kabar baik untukmu."
"Soal penipuan pajak itu?"
"Hmm.. Tuan Carlos telah berhasil membawa salinan tagihan pajak perkebunan bulan lalu. Beliau telah memberikannya padaku. Dan kau tahu? Dugaan kita benar. Nilai kedua kertas tagihan itu jauh berbeda. Padahal, disana tertera tanggal, bulan dan tahun yang sama. Yang menunjukkan periode pajak itu sendiri."
"Kau yang menyimpan salinan itu?"
"Ya! Tadinya... dua hari yang lalu, sepulang dari perkebunan aku berniat menemuimu disini. Tapi, di perjalanan kepalaku terasa sangat sakit dan.. aku tak bisa mengendalikannya, sehingga aku memutuskan pulang ke rumah."
"Kalau begitu, semua bukti sudah ada padamu Matias."
"Tepat, Rodrigues."
"Baiklah! Kalau begitu, besok kita pergi ke istana. Aku pastikan akan membawa tuan Keith."
Dalam perjalanan pulang, Matias dilanda dilema.
Kasus yang hendak diungkapnya esok hari bukanlah perkara enteng, melibatkan seorang anggota keluarga kerajaan. Meski mungkin banyak pihak yang diuntungkan jika kasus itu terungkap, tapi.. tentunya juga banyak pihak yang akan tercoreng reputasinya. Matias ingin dapat meyakinkan dirinya sendiri untuk siap menerima, jika kelak dirinya dicaci dan dimusuhi oleh semua pihak yang merasa dirugikan.
"Selamat malam, tuan Matias. Count Antonio menunggu Anda di ruang kerjanya." bibi Puff menyambut ramah kehadiran dirinya yang baru beberapa langkah menginjakkan kaki di dalam rumah.
"Baiklah! Terima kasih bibi Puff."
Dan Matias bergegas menuju ruang kerja ayahnya.
Di dalam sana, count Antonio Lawrence sudah hampir tiga puluh menit duduk di kursinya, berdiam diri menunggu kehadiran Matias. Beliau tampak semakin tidak sabar ingin bertanya langsung kepada putranya tentang sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Ayah, kau mencariku?"
"Duduk!" titahnya tegas meminta Matias duduk di hadapannya.
"Kau dari perkebunan?"
"Ya! Tentu aku dari sana. Ada apa, Ayah?"
"Duke Eduardo menemuiku tadi siang."
Matias membulatkan kedua matanya, dia terkejut akan hal itu dan hanya mampu terdiam.
"Kau tahu, apa yang dikatakannya padaku?"
"Apa Ayah?"
"Kau.. Sejak kapan kau dan nona Nivea memiliki hubungan?"
"Itu.. Hahaha.."
"Kenapa kau tertawa Matias?"
"Apa.. apa kau lupa, Ayah? Nona Nivea adalah adik kelasku. Tentu sudah sejak lama aku dan dia memiliki hubungan sebagai kakak dan adik kelas."
"Kau jangan bercanda Matias!"
"Baiklah! Aku mencintainya, Ayah."
"Kau? Kau ingin bersaing dengan pangeran? Apa kau gila Matias?"
"Ya ayah! Aku gila. Aku gila karena aku begitu menyukai Nivea."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Kami akan segera menikah."
"Matias? Gadis itu calon....."
"Ya ayah, tapi itulah rencana kami. Dan aku pastikan, tak akan ada satu orang pun yang akan menggagalkan rencanaku dan Nivea."
Count Antonio hanya dapat tertegun, kehabisan kata untuk menyanggah kalimat putranya. Yang kini sudah mulai beranjak pergi dari depan matanya.
Matias bergegas keluar dari rumah, dia meminta agar tuan Luigi mengantarnya ke kediaman keluarga Del Castano. Dia tidak habis pikir, dari mana duke Eduardo mengetahui hubungannya dengan Nivea. Maka itu, dia harus segera menemui Nivea.
Sampai di halaman kediaman tersebut, Matias berusaha mengatur degup dalam dadanya yang terasa sulit dikendalikan. Dia pun mulai melangkah ketika rasa dalam dadanya berangsur tenang. Matias memang berniat menemui Nivea, namun tak menutup kemungkinan dirinya akan bertemu dengan duke Eduardo juga.
Dia mengutarakan niat kedatangannya kepada seorang penjaga pintu disana, lelaki itu memintanya untuk menunggu di teras. Karena wajah Matias cukup asing bagi mereka.
Kecemasan tengah memenuhi rongga dadanya kini, menunggu lelaki tadi kembali ke hadapannya. Dan setelah menunggu sekian menit, akhirnya lelaki bertubuh jangkung itu kembali terlihat dengan Nivea yang berjalan anggun di depannya.
Dan betapa terkejutnya Nivea mendapati kekasihnya benar-benar berada disana. Ternyata, apa yang disampaikan oleh tuan penjaga pintu itu adalah hal yang benar. Matias memang datang dan ingin menemui dirinya.
35. Pesan Dari Kakek
"Ikutlah denganku!"
Matias berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Nivea yang mengarah kepada kursi taman di pinggir sana.
Keduanya telah duduk bersisian.
"Apa yang membawamu kemari, Matias?"
"Ayahku mengetahui hubungan kita."
"Apa?"
"Beliau bilang, dia mengetahuinya dari ayahmu. Ayahmu datang menemuinya tadi siang."
"Apa? Ayah datang menemui count Antonio?"
"Bagaimana ayahmu bisa sampai mengetahui hubungan kita, Nivea?"
"Ah, itu ya..?! Sebenarnya, ayahku belum mengetahui dengan pasti tentang hubungan yang kita jalani sekarang. Hanya saja... itu salahku, Matias!"
"Salahmu? Bagaimana maksudmu?"
"Petang itu, sebelum aku mengajakmu bertemu di taman Edelweis... Aku sempat berdebat dengan ayah. Beliau memarahiku karena mencukur rambut, lalu aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah menikahi pangeran. Karena... karena... aku mengatakan pada ayah bahwa aku mencintaimu."
Sesaat lelaki itu melongo tak percaya.
"Kau mengatakannya dengan sadar, Nivea? Atau saat itu kau sedang dikuasai oleh amarah? Sehingga bicaramu tidak karuan."
"Aku sadar Matias! Aku mengatakannya dengan sadar. Hanya saja... aku tidak tahu bagaimana penerimaan ayah terhadap ucapanku. Apakah ayah berpikir bahwa kita sedang menjalaninya bersama atau tidak. Aku tidak tahu, Matias."
"Hmm.. Maafkan aku Nivea."
"Untuk apa?"
"Aku hanya... cukup terkejut saat ayahku mengatakan ayahmu telah menemuinya dan membahas tentang kita. Kau tahu? Aku sudah mengatakan pada ayahku bahwa... kita berencana menikah."
"Kau mengatakannya? Lalu bagaimana tanggapannya?"
"Tentu saja ayah terkejut. Tapi, tenanglah Nivea! Aku akan mengatasinya."
Nivea kembali ke kamar setelah mengantar Matias hingga naik ke keretanya. Beruntung ayah dan ibunya tidak mengetahui kedatangan Matias tadi. Mereka hanya merasa bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk muncul berdua di hadapan duke Eduardo.
Gadis itupun mengganti gaunnya, bersiap untuk tidur.
"Anda sudah mau tidur, nona?"
"Kau mengagetkanku, Seri!"
"Maaf nona, Saya hanya ingin meletakkan gaun bersih Anda di lemari."
"Beristirahatlah, Seri!"
"Tentu nona, selamat malam!" Seri pun beranjak meninggalkan kamar nonanya.
***
"Apa kabar cucuku? Hahaha.. Aku dapat melihat guratan bahagia di wajahmu" sang kakek membuka kedua tangannya lebar-lebar. Memberi celah cucunya untuk masuk dalam pelukannya.
"Kakek! Kenapa kau baru datang sekarang?" Nivea pun berlarian menyambut tangan kakeknya yang terbuka.
"Aku sangat bersyukur jika kutukan itu benar-benar terbalik."
"Apa maksudmu, Kakek?" seraya memundurkan kepalanya untuk dapat melihat wajah sang kakek.
"Itu artinya, kau tidak akan menderita."
"Benarkah?"
"Percayalah padaku, cucuku sayang!"
"Bagaimana aku bisa percaya kepada kakek?"
"Kau hanya perlu melanjutkan langkah yang sudah kau ambil. Jangan terpengaruh oleh siapapun yang coba menguasai dirimu. Dan jangan membelok dari jalan yang sedang kau tempuh saat ini."
"Hmm.. Aku akan berusaha, kakek!"
Kehadiran mendiang kakeknya, telah membangunkan Nivea di tengah pekatnya malam. Lagi-lagi mimpi itu terasa sangat nyata, dirinya dapat merasakan hangat pelukan dan nyamannya dekapan sang kakek.
Tanpa disadarinya, air mata tengah mengalir begitu saja. Tangannya refleks mengusap air mata itu ketika dia tersadar. Hatinya terasa hangat, Nivea merindukan sosok lelaki tua renta itu.
***
Rintik gerimis mewarnai pagi ini. Semerbak wangi tanah bercampur aroma rerumputan yang begitu khas, kian terhendus.
"Seri, Lihatlah! Apa itu?" Nivea berseru antusias berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka lebar.
"Ah, nona! Anda tidak tahu itu disebut pelangi?"
"Apa? Bukan begitu Seri! Maksudku, pelangi itu sangat indah. Aku... tidak ingin melewati keindahan itu. Aku ingin terus memandanginya."
"Air hangat Anda sudah siap sejak lima menit yang lalu, nona."
"Ah, benar! Aku sampai lupa. Baiklah, aku harus segera bersiap-siap."
Tiga puluh menit kemudian Nivea tengah mematutkan dirinya di hadapan sebuah cermin yang lebih besar daripada cermin di meja riasnya. Hari ini dirinya mengenakan gaun sederhana berwarna hijau tosca. Sangat kontras dengan kulit putihnya. Nivea begitu cerah. Kesan anggun seolah tak pernah luput dari dirinya.
"Selamat pagi Ayah, Ibu."
"Pagi Nivea." jawab kedua orang tuanya hampir bersamaan.
"Kau terlihat ceria, Nak!"
"Tentu Ibu! Aku bertemu dengan kakek semalam."
"Apa?" tanya duke Eduardo cukup terkejut.
"Ah, maksudku.. Aku bermimpi bermain di taman bersamanya."
"Benarkah?"
"Hmm. Itu benar Ibu. Kakek menitipkan salam untuk kalian."
"Hahaha.. Kau bercanda, Nivea!"
"Hmm.. Ya ayah! Bagaimana kau tahu kalau aku sedang bercanda?"
"Sekarang kau sudah pintar bersandiwara."
"Apa?" Nivea menghela nafas seraya meletakkan pisau dan garpu yang sedang digunakannya untuk memotong selembar daging. Dan tiba-tiba dia beranjak pergi dari kursinya.
"Aku pergi, Ibu." pamitnya sambil tetap melangkah tanpa menoleh.
"Anak itu semakin kurang ajar saja."
"Kau membuat suasana hatinya jadi tidak baik. Harusnya kau biarkan saja dia selesai sarapan dulu."
"Lagi-lagi kau membelanya."
"Dia tidak salah, kenapa aku harus membelanya?"
Sinar cerah yang sempat membias wajahnya tadi pagi, kini mulai redup. Duke Eduardo telah merusak suasana hati gadis itu. Sepanjang perjalanan menuju toko rotinya, Nivea terdiam.
Seri yang sempat mendengar ucapan duke Eduardo tadi, dirinya mengerti bahwa sang nona sedang merasa sedikit tertekan.
"Nona, apakah Anda tidak ingin bicara?"
"Hmm? Bicara apa Seri?"
"Ah, itu nona... sebaiknya Anda jangan terlalu memikirkan sikap ayah Anda."
Nivea menghela nafas, mengalihkan pandangan dari jendela keretanya kepada Seri. "Apa aku tidak berhak menentukan hidupku sendiri, Seri?"
"Ah? Apa? Tentu semua orang berhak untuk itu, nona."
"Tapi, setiap kali aku mengutarakan keinginanku, ayah selalu saja menganggapku kurang ajar. Entahlah Seri! Aku tidak mengerti, kenapa aku harus selalu menuruti keinginannya."
Begitu sampai di toko rotinya, Nivea dan Seri memulai pekerjaannya. Suasana hati Nivea yang tadi sempat rusak, telah berangsur membaik. Dirinya selalu saja antusias jika sudah berhadapan dengan tepung terigu.
Pada satu jam berikutnya, perpaduan aroma terigu matang dan susu telah menguar ke seantero sudut. Tak hanya terasa di dalam dapur, harumnya roti-roti buatan Nivea telah merambah hingga ke luar area depan toko. Menyihir siapapun yang melintas jadi tertarik ingin menikmatinya.
Kini giliran Nivea yang berdiri di meja pemesanan. Dan hari ini tanpa diduga, dirinya kedatangan tamu istimewa.
"Kau tampak sangat cerah dengan rambut pendek, nona Nivea."
"Ah, terima kasih... countess Victoria. Adakah kedatangan nyonya kesini untuk mencicipi roti-roti Saya?"
"Tentu nona! Dan jika kau memiliki cukup waktu, bisakah kita berbincang sebentar?"
"Tentu nyonya. Tentu Saya memiliki waktu untuk itu. Mohon nyonya tunggu sebentar." Nivea melangkah ke dapur untuk memanggil Seri agar dapat menggantikan posisinya di depan.
Tak lama, Nivea kembali ke hadapan wanita yang telah melahirkan kekasih hatinya itu. Degup dalam dada Nivea kian berpacu, dia sedang bertanya-tanya ada apakah gerangan sehingga countess Victoria sampai berkunjung ke tokonya.
"Silahkan nyonya, kita bisa duduk disana."
Wanita yang mengenakan sarung tangan hitam itu, tersenyum teduh lalu mengekori langkah Nivea menuju salah satu meja pelanggan di dekat kaca jendela. Kini keduanya telah duduk berhadapan dan itu.. telah membuat Nivea semakin gelagapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H