"Kenapa sih kamu kesel banget sama dia? Dia aja kelihatan biasa aja sama kamu. Kalau kamu masih ngga terima pernah disakitin sama dia, sampe kapan pun justru kamu sendiri yang ngga bakal bisa lupain dia." aku berlalu melangkah lebih dulu meninggalkan Henry yang masih berdiri mematung mendengarkan ucapanku.
Ketika langkah kakiku telah hampir sampai di pagar area parkir, Henry baru bergerak. Melangkah cepat menghampiriku. Dia tahu aku tidak sepenuhnya marah, buktinya aku tetap melangkah ke arah tempatnya memarkirkan motor. Kalau aku benar-benar marah pasti sudah ku tinggal dia ke arah lain.
"Maafin aku ya Mel.." Henry mengucapkannya sekali lagi dan sekarang kami sudah berjalan berdampingan lagi.
"Ya, tolong kamu jangan kaya gitu. Mba Lidya baik sama aku. Jangan libatin emosi kamu ke dalam hubungan aku sama dia."
"Iya.. iya.. Maaf.."
Kami telah sampai di depan motor Henry, dia sedang bersiap-siap menghidupkan motornya. Kemudian memintaku segera naik setelah dia siap pada posisinya untuk berangkat. Dalam perjalanan, aku berusaha mencairkan suasana dengan menceritakan hal apapun yang dapat membuat Henry melupakan kesalahannya padaku tadi. Aku tidak ingin terlihat masih menaruh rasa kesal padanya.
Aku melakukan ini agar dia tidak mengira kejadian sore tadi lah yang mempengaruhi jawaban yang akan ku sampaikan nanti setibanya kami di rumahku. Karena kejadian sore tadi dengan Mba Lidya terjadi di luar dugaanku. Sedang jawaban yang tepat untuk Henry telah ku siapkan sebelumnya, beberapa hari belakangan ini.
Petang hari ini jalan menuju ke rumahku bisa dibilang cukup lancar. Hanya ada kepadatan namun dapat terurai dengan cepat. Haduh.. Aku malah semakin deg-degan untuk menyampaikan jawabanku ini. Rumah sudah semakin dekat. Aku menepuk punggung Henry untuk mengulur waktu.
"Eh, kenapa Mel?"
"Berhenti dulu, aku mau beli siomay."
"Yah kelewatan.."