"Hahaha.. Iya ya.. Tanya tuh sama yang tadi pake komputer seharian.."
Tidak terima dengan ucapan Dion yang terkesan menyudutkan, Mutia balas menyahut dari arah depan pintu kedai. Sambil tangannya bergerak mengunci pintu dari dalam, dia berkata, "Lah emang gue apain Yon? Kan gue cuma pake buat kasir."
"Hahaha.. Maap.. maap.. Becanda Mut.."
Aku jadi merasa bersalah karena gerutuanku terdengar oleh mereka, mereka malah jadi berdebat. Sekarang proses loadingnya tampak sudah hampir selesai. Aku juga telah melihat kedatangan Pak Iwan dari balik meja Mutia. Pak Iwan sedang duduk di atas motornya, tidak jauh dari pos satpam. Dia mengenakan jas hujan warna biru bermodel sepasang, atasan dan bawahan.
Sudah lama juga aku berlangganan ojek malam dengannya. Kalau musim hujan begini rasanya kasihan aku harus mengganggu waktu istirahat malamnya. Terkadang, kalau aku mendapat bonus mingguan yang cukup lumayan dari Mba Lidya, aku sering menyisipkannya untuk memberi tambahan pada Pak Iwan. Agar dia bertambah semangat dalam pekerjaannya mengantar atau menjemputku.
Mungkin saat ini usianya sekitar lima puluhan lebih. Yang aku tahu dia memiliki tiga orang anak, namun yang ikut dengannya tinggal di Jakarta hanya istri dan seorang anak. Kedua anak lainnya disekolahkan di kampung, diasuh oleh Ibu dari istrinya.
Huh, selesai juga tugas-tugasku hari ini. Saat aku menutup system dan hendak mematikan komputer, terdengar suara roda-roda kendaraan yang berputar beradu dengan aspal yang basah di jalan raya depan sana. Hujan tinggal rintik-rintik. Jas hujan marun yang tadi ku temukan dalam lokerku, tetap ku bawa pulang namun ku lipat dan ku masukkan ke dalam tas ramah lingkungan pemberian Mama.
Kami bertiga telah siap meninggalkan ruang utama kedai menuju ruang belakang. Tidak lupa aku mengenakan jaket bomber berwarna hijau, kesayanganku. Setelah menunggu Mutia selesai mengenakan kardigannya, kami bertiga kompak keluar dari pintu samping dan menunggu Mutia menguncinya dengan teliti dan sangat hati-hati. Kami ikut mengeceknya, memastikan pintu telah terkunci dengan benar.
Kami bersama menyusuri jalan samping kedai menuju area depan kedai. Dion dan Mutia menghampiri tempat dimana motor mereka masing-masing diparkirkan. Sedang aku bergegas menghampiri Pak Iwan. Dia pun segera menghidupkan motornya ketika melihatku sedang berjalan mendekat padanya. Pak Iwan memacukan motornya mengantarkanku pulang di bawah tetesan gerimis kecil.
Bagian 7
Sekarang sudah hari Rabu, sudah masuk minggu kedua Henry tidak pernah menyambangi kedai kami lagi. Mungkin, aku rindu padanya. Tapi rindu hanyalah rindu, aku hanya perlu berusaha untuk terus menahan diri. Hari ini rintik hujan masih terus mewarnai hari sejak pagi hingga sore ini. Sejak aku membawa bekal makanan dari rumah, aku hanya menghabiskan waktu istirahatku di ruang belakang kedai.