Hmm.. Mungkin itu teman atau saudara Mba Lidya. Kami belum pernah melihat orang itu sebelumnya.
Beberapa menit setelah lelaki itu pergi dari hadapan kami, yang hadir selanjutnya adalah seseorang yang cukup membuatku terkejut. Hmm.. Siapa lagi kalau bukan Henry. Kemarin malam dia sudah mulai datang lagi ke rumahku dan sekarang dia pun muncul di kedai. Aku termangu memandang kehadiran dirinya. Aku sengaja tidak bereaksi apapun. Hingga dia lebih dulu yang bersuara.
"Mel! Bengong?!"
"Woi.. Mas Henry tuh mau pesen, didiemin aje.." Faris meledekku lagi.
"Ini sudah jam istirahat ya?" aku membuka suara pada pada Henry.
Dia menggeleng, "Habis dari luar nemuin orang. Terus pingin mampir aja kesini."
"Mau ngopi ngga?"
"Ngga usah, cuma sebentar."
"Oh.. Cuma pingin lihat Amel ya Mas? Hahaha.. Oh iya, hari Sabtu di minggu depan Saya nikahan, dateng ya sama Amel. Ini undangannya." Astaga ternyata Faris juga sudah menyiapkan satu undangan buat Henry, dia menyerahkan undangan itu ke tangan Henry di depan mataku.
"Wih.. Selamet ya.. Makasih ini undangannya." ucap Henry kepada Faris.
Tiba-tiba saja kami semua dikejutkan oleh suara grasak-grusuk dari tangga pojok kedai. Kami semua kompak menoleh ke arah datangnya suara itu. Kemudian tampak Mba Lidya sedang mendorong-dorong lelaki berbaju biru tadi dari arah belakangnya. Mba Lidya tampak sangat kesal dan meminta lelaki itu untuk segera pergi dari kedai.