Aku melihat dengan jelas Henry menyodorkan botol itu tepat di depan wajah Mba Lidya yang sedang menunduk. Raut wajah Mba Lidya menampakkan kekagetannya pada sikap Henry. Dia mendongak dan termangu menatap wajah Henry, lelaki yang masih sangat dicintainya hingga kini.
Bagian 8
Aku sempat mengira setelah kejadian terakhir di kedai, sikap Henry akan lebih melunak pada Mba Lidya. Namun kenyataannya, Henry masih bersikap dingin pada Mba Lidya. Sikapnya masih sangat kaku ketika mereka bertemu atau sekedar berpapasan. Menurut Henry, siapapun orangnya yang berada dalam situasi terpojokkan seperti Mba Lidya waktu itu, berhak untuk mendapat pertolongan.
Hari itu, Mba Lidya langsung pergi meninggalkan kedai setelah beberapa menit kondisi pikirannya dapat ditenangkan oleh Henry. Aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan berdua kala itu. Soal itu, Henry tidak mengatakan apapun padaku. Keesokan harinya setelah kejadian itu, aku memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Mba Lidya karena telah membiarkan lelaki bertubuh tinggi itu naik dan masuk ke ruangannya.
Namun Mba Lidya hanya tersenyum dan menggeleng, katanya.. "Ngga apa-apa Mel, bukan salah kamu kok. Dia memang hubungin Saya, katanya ada hal penting, tapi ternyata itu cuma akal-akalan dia aja."
Aku lega mendengarnya kalau memang kejadian itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Aku akan selalu mengingat bahwa sekarang aku dan teman-teman di kedai harus lebih berhati-hati menerima tamu untuk Mba Lidya.
"Mel, boleh makan siang bareng?" Henry baru saja mengirimiku pesan.
"Maaf Mas, aku sudah bawa makan siang dari rumah."
"Oh gitu Mel.. Sekarang kamu selalu bawa ya?"
"Iya, sudah jarang jajan diluar. Biar irit juga, hehe."
Mungkin sebenarnya aku sangat senang dengan ajakan Henry untuk makan siang bersama hari ini. Namun sebaiknya, aku berusaha menolaknya.