88 Km Merindu
"Apa katamu, Lan? Serius kamu?" Aristi memastikan. Ia tampak serius. Dua bola matanya tidak melepas pandang. Tersirat keseriusan dalam bulatan bola matanya. Seolah menagih jawaban yang pasti dari sang penjaga hati.
Lan merapatkan duduknya. Ia memberikan seutas senyum khasnya. Senyum dari seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keseriusan dalam bercinta.
"Ris, aku serius! Serius, Ris," Lan membelai wajahnya. Satu kecupan amat mesra mendarat di pipinya membuat wajah Aristi memerah.
"Jangan tinggalkan aku, Lan. Aku percaya kamu!" Aristi menunduk pilu. Sebentar lagi, ia tidak merasakan kehangatan. Lan akan pergi. Pergi untuk kembali, entah kapan.
"Boleh aku tidak percaya kamu, Lan?" tanya Aristi dalam kekalutan hatinya.
Alan hening sebentar. Pontang-panting otaknya mencari kosa kata yang tepat untuk menjawab. Ia masih diam. Aristi menanti jawaban dengan bola mata yang diam. Alan menggeser duduknya. Digenggamnya tangan Aristi. Ia menatap matanya dalam-dalam.
"Ris, mutlak percaya itu untuk Tuhan, tidak padaku, Ris!"
"Aku ini manusia, Ris. Jangan begitu saja percaya padaku. Percaya saja pada-Nya!"
Setitik air mata turun di pelupuk. Alan mengusapnya lembut.
"Jangan menangis, Ris!"
Aristi merajuk. Dilepasnya genggaman Alan. Setitik air mata turun lagi.
"Jangan pergi, Lan. Jangan pergi!"
Alan mengeratkan pelukan, mengusap wajahnya berkali-kali.
"Aku cinta kamu, Ris," katanya berbisik.
***
Aristi mengusap peluh yang meleleh di pipinya. Sudah sekilo ia berjalan kaki mencari bengkel. Terbersit di pikirannya, ia kecewa dengan dirinya.
"Kenapa juga sih, aku tidak mengecek motorku," batinnya.
Ia berhenti sejenak mengusap peluh dengan sapu tangan pink-nya.
 "Ah, capeknya! Coba saja kalau hidup ini seperti sinetron, ketika si cewek lagi kesusahan, tiba-tiba saja pangeran datang," khayalnya. Ia tersenyum. "Ah, dasar!" Ia kembali tersenyum. Ia terus berjalan setelah khayal dan capeknya hilang sejenak. Sampai juga ia di sebuah bengkel.
"Ini bukan tempat parkir gratis," seru seseorang dengan baju kumal yang menghampirinya.
Aristi bengong. "Siapa juga yang mau parker?" gumamnya.
Ada rasa sebal meloncat keluar dari nuraninya. Gagal, sebab ia tahu orang itu pasti pekerja bengkel. Aristi memasang senyum indahnya.
"Anu, motorku macet di kampung sebelah," kata Aristi.
Pemuda tampan itu sejenak berpikir. Wajahnya dilumuri oli. Tampak kehitaman di kiri kanan pipinya. Bajunya kumal, warna aslinya hilang total.
"Macet itu banyak, ban kempis, ban bocor, rantai putus, atau apalah begitu," kata pemuda itu.
Aristi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Rantainya putus," katanya kemudian.
"Oh gitu. Ya sudah, dorong saja ke sini ya," kata pemuda itu ketus.
"Apa? Dorong?" Aristi naik pitam. Pemuda itu cuek-cuek saja.
"Ia dorong. Terus kenapa? Apa bisa motornya jalan sendiri?"
"Ya, maksudku, Om ke sana. Jauh kan kalau aku dorong," kata Aristi penuh harap.
"Tadi aku ke sini jalan kaki sendiri, karena memang aku tidak bisa dorong," lanjut Aristi.
"Apa? Om? Memang aku saudara ibumu? Ah, dasar!" kata pemuda itu lagi sedikit dengan nada tinggi.
"Om ... anu, Mas, ya, Mas, ..." Aristi bingung melanjutkan kalimatnya.
Pemuda itu tampat cuek saja. Tidak ada niat sedikit membantu. Aristi menyerah. Peluh masih saja berceceran di wajahnya yang cantik.
"Ya sudah, Mas. Kalau tidak bisa bantu, tidak apa-apa," katanya.
"Ya sudah. Silahkan pergi!"
Pemuda itu sibuk merapikan kunci-kunci yang berserakan. Sepertinya pemuda itu baru saja memperbaiki kendaraan lain. Pak tua yang sedari tadi duduk di pojok bengkel  angkat bicara. Rasa ibanya muncul ketika Faris cuek melayani pelanggan.
"Jangan gitu, Ris. Tidak kasihan sama dia. Jauh-jauh datang kemari minta bantuan. Tidak salah kan kalau kamu bantu? Kan bukan gratis! Pelanggan harus dilayani dengan baik, Ris. Itu rejeki!"
"Ingat pepatah lama, Ris, tamu adalah raja!"
Pemuda yang dipanggil Ris itu tampak kecut. Ia seolah tidak peduli kata si tua. Ia masih asyik membersihkan tangannya di sebuah baskom yang berisi air. Aristi dari tadi berdiri di situ. Sesaat kemudian, ia pergi dengan wajah kusut. Ia menatap ponselnya. "Tidak ada sinyal," katanya. Mungkin saja ia hendak curhat kepada Alan, sang kekasih yang beberapa bulan lalu pamit cari kerja di Jawa. Maklum, sekarang susah benar mendapat pekerjaan, sekalipun sudah mengantongi ijazah sarjana.
"Ayo naik! Di mana motornya?" kata Faris.
Aristi diam sejenak. Ia memandang lelaki itu dengan wajah lesu. Faris Nampak cuek saja, wajahnya masam. Aristi kemudian naik. Tidak ada rasa nyaman di atas motor, lelaki yang tadi berbaju kumal itu masih tampak cuek.
"Tolong dipegang," katanya sambil memberikan beberapa kunci bengkel dalam sebuah kantong plastik.
Motor melaju santai di atas aspal berlubang menuju kampung sebelah. Faris mencuri pandang lewat spion motornya. Ia tersenyum mendapati wajah Aristi yang masih tersisa lelahnya.
Aristi berdiri di samping motornya. Ia tak bisa membantu apa-apa. Bukan tahu juga ia membetulkan rantai motornya yang putus. Faris dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Selang beberapa puluh menit, selesai.
"Sudah. Ongkosnya 20 puluh ribu," kata Faris.
Aristi merogoh saku celana. Bolak-balik ia merogoh saku-saku yang lainnya. Astaga, tidak ada apa-apa di sana, kecuali beberapa bungkus obat hendak diberikan kepada Nia, adik kekasihnya.
"Duh, maaf ya, aku lupa bawa uang!" kata Aristi mencoba untuk dipahami.
Faris hanya diam. Ia memandang wajah Aristi yang nampak bingung dan mulai memerah. Segurat rasa malu terpampang jelas di wajahnya yang polos.
"Tidak apa-apa. Besok atau kapan saja baru dibayar," kata Faris dengan senyuman manisnya.
Aristi tercengang. Pemuda itu nampak ganteng kalau tersenyum. Sejak di bengkel, ia hanya cuek saja. Padahal, ia pemuda baik, ganteng pula.
"Faris," katanya.
"Aristi," jawabnya malu-malu.
"Bidan?"
Aristi mengangguk pelan. Satu senyuman dari bibirnya berhasil membius Faris.
"Suka rela," katanya kemudian.
"Sarjana tidak menjanjikan profesi menjanjikan," kata Faris.
***
      Senja berlalu begitu cepat, ketika ia masih asyik menikmatinya. Sebuah kebiasaan untuk mengenang sang kekasih, Alan. Masih membekas di benaknya ketika Alan masih di sisinya. Hampir setiap sore, menikmati senja.
      Senjanya masih seperti dulu, Lan. Masih anggun di ufuk barat!
Â
Selepas mengirim SMS itu, Aristi tersenyum. Rasa kengennya membuncah di hati. Kangen untuk sekedar menggandeng tangan sang penyejuk hati. Rasa letih mulai mengerubuni raganya. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Rasa kangennya akan sempurna jika di atas pembaringan ia habiskan waktu sekedar menatap wajah Alan di layar ponsel. Baru saja ia hendak melangkah, suara panggilan terdengar dari belakang.
"Hai," sapa Faris.
Aristi tersenyum kecut. Pola pikirnya menjadi tidak karuan. Dalam benaknya, Faris datang menagih utang, Rp 20. 000. Wajahnya mulai memerah lagi. Lagi lagi, ia lupa membawa serta dompetnya.
"Tidak usah dipikirin. Aku tidak datang nagih. Mau mampir saja, menikmati senja," kata Faris santai.
Aristi masih mematung di tempat. Obrolan ringan mulai mengalir senja itu. Mengalir bak air yang memang harus mengalir di tempatnya mengalir. Tidak tersendat sedikit pun. Obrolan tanpa tema itu terasa mengasyikkan. Aristi terlihat bahagia. Hal yang selama ini terhapus dari wajahnya.
"Kamu lucu juga ya," kata Aristi.
Faris hanya tersenyum.
"Ekspresi seseorang pasti berubah jika ia kelelahan. Jadi, menebak watak seseorang dari ekspresinya tidak selalu benar," kata Faris.
"Ia juga sih," Aristi manggut-manggut.
Senja merambat naik. Malam mulai hadir seperti sedia kala. Bintang mulai bertebaran di cakrawala. Satu senyum dari Aristi menjadi tanda perpisahan senja itu.
***
Rasa kangen, ya kangen semakin membuncah dari hari ke hari. Membuncah sampai ada niat untuk bertemu. Apa daya, jarak tidak bisa dijangkau. Baiknya, kangen disimpan saja sampai waktu benar-benar mengerti untuk satukan kangen dalam pelukan yang erat.
Aristi masih sibuk dengan rutinitasnya yang bisa dibilang membosankan. Kerja banyak, melelahkan, honor kecil, bahkan tidak layak disebut honor! Menjadi suka rela di sebuah puskesmas memang tidak mengenakkan. Mau bagaimana lagi, Aristi perlu menekuninya. Pengabdian kepada masyarakat penting untuk dijalani. Laporannya menumpuk. Itu perlu diselesaikan untuk segera diserahkan ke atasan.
Semakin sulit rasanya ketika penat datang tanpa diminta. Kepala terasa berat. Aristi tersenyum tipis. Ia tahu, bagaimana ia menghilangkan kepenatannya.
"Tit ... tit ..." yang ditelepon tidak menjawab panggilan.
Mulanya itu biasa saja, tidak ada tanggapan lain.
"Mungkin sibuk," desisnya.
Ya begitulah, Alan jarang bisa dihubungi. Kerjanya padat, kadang lembur. Itu penjelasannya minggu lalu. Kalau pun teleponnya dijawab, obrolannya hanya sebentar. Seperti waktu itu.
"Apa kabar, Lan?"
Yang sebelah nampak menarik nafas dalam. Nampak seperti orang kelelahan.
"Capek, Ris."
"Baiklah, Lan. Chatt saja ya," kata Aristi sambil mematikan teleponnya.
Chatt pun berjalan tidak sesuai harapan. Banyak unek-unek yang hendak disampaikan. Banyak cerita yang mesti didengar. Namun, itu tidak terjadi. Alan mengeluh kecapean sehabis kerja. Aristi paham saja. Tidak ada bantahan atau dugaan. Ia percaya, Alan menjaga hati untuknya. Ia tahu itu. Tahu betul. Ia mengenalnya sejak lama. Sekalipun dinding whats App Alan terlihat tulisan online, tidak satu pun chatt-nya dibalas. Aristi sejenak berpikir.
"Pasti ketiduran."
Malam semakin pekat. Khayalnya terbang bebas di angkasa malam. Berkelana bersama bintang yang kedip dari kejauhan. Kejenuhan mulai muncul dan menjadi pengganggu. Ia sandarkan tubuhnya ke tiang tempat tidur. Terlelap dalam buliran air mata yang jatuh entah mengapa. Wajahnya tampak kusut dengan kangen yang membebani. Bisa jadi, kangennya terlalu berat untuk sekedar disimpan. Wajahnya semkain kusut dan kusut. Ada seonggok pilu jauh dalam batinnya. Pilu sebab rindu tidak terbalas. Entahlah, malam masih seperti biasa, berjalan dalam kelam yang dingin menusuk. Ia meringkuk dingin. Ia eratkan pelukan ke kakinya yang beku. Buliran air mata masih menetes pelan. Ia masih kusut, kusut dalam malam.
***
Selepas malam, pagi menyembur dengan sinarnya yang hangat. Ia menggeliat dari pembaringannya. "Astaga, kok bisa?" ia kaget, tak sadar, semalam ketiduran di lantai dekat tiang tempat tidur. Ia segera berdiri melangkah menuju kaca yang setengah pecah di sudut kamar. Ia mendapati wajahnya yang kusut. Wajah yang menyiratkan kepiluan yang dalam.
Selesai bersiap-siap, ia menyalakan motornya menuju tempat kerja. Perjalanan yang cukup jauh dan lumayan menguras tenaga.
"Pagi, Ris," sapa Risa, teman sejawatnya.
Ia hanya mengangguk dan tersenyum seperti biasa. Ia buru-buru naik ke lantai dua menemui pimpinan untuk menyerahkan laporan bulanan seperti biasa. Pintu  ditutup. Bisa ditebak, Bu Sifa ada tamu. Ia menunggu dengan perasaan cemas. Was-was laporannya salah. Ia sibuk menata jantungnya yang deg-degan. Ia tahu betul watak pimpinannya: suka mengomel!
Suara pintu berderit. Ada yang keluar. Seorang laki-laki jangkung berkulit putih. Aristi tidak sempat memperhatikan wajah laki-laki itu. Ia buru-buru masuk.
"Perawat baru, Ris," kata Bu Sifa.
Aristi hanya tersenyum. Deg-degannya masih belum hilang. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Ini laporannya, Bu," katanya kemudian.
Di luar ruangan terdengar heboh. Semua perawat jomblo, termasuk bidan-bidan sudah bersuami membicarakannya. Bisa ditebak, pasti yang diperbincangkan memiliki daya pikat luar biasa. Aristi tampak ceria. Laporannya tidak ada yang keliru. Risa senyum-senyum sendiri, seperti ibu-ibu genit yang cari perhatian.
"Kamu kenapa? Kesambet?" Aristi heran.
Risa masih tersenyum-senyum. Aristi makin heran. Bidan-bidan setengah tua itu pun ikut tersenyum. Suasana puskesmas yang harusnya sepi, hening, dan sunyi berubah menjadi pasar rakyat yang heboh.
"Ada apa sih? Aku jadi penasaran!" kata Aristi.
"Itu," kata Risa sambil menunjuk sembunyi-sembunyi.
Aristi menoleh.
"Astaga, Faris," gumamnya.
"Ris?" Aristi memastikan.
Yang dipanggil memasukkan handphone-nya ke dalam saku habis selfie, sekedar upload di medsos tentang rejekinya mendapat pekerjaan sesuai ijazahnya.
"Ris, kamu ...," ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Faris hanya tersenyum. Aristi menggeleng heran, seolah tidak percaya, kok bisa tukang bengkel menjelma menjadi perawat.
"Kamu ... OMG, Ris, Faris ... ," katanya terputus-putus.
Sepertinya Aristi masih tidak percaya.
Risa memasang muka masam. Aristi tidak sempat memperhatikannya. Ia terlarut obrolan ringan dengan kenalannya. Aristi terlihat semangat dari hari ke hari. Perubahan yang cukup signifikan untuk ukuran Aristi yang terbelenggu rindu yang berat.
***
Aristi terpaku menatap langit malam yang beku, sebeku hatinya yang kaku. Buliran air mata berjatuhaan. Buncahan dan bongkahan rindu makin membebaninya. Ia ambil handphone-nya, menghubungi yang dirindu.
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk!Â
Berkali-kali ia menghubungi. Berkali-kali ia mendapat jawaban yang sama. Buliran demi buliran air mata berjatuhan bak hujan awal Desember. Jatuh tak terhitung membasahi lantai kamarnya.
"Hai, Ris," sapanya dari seberang.
"Kok suaramu ... ," Faris tidak melanjutkan kalimatnya.
"Biasa, Ris," jawabnya.
"Aku rapuh, Ris. Aku ... ," katanya diiringi isak tangis yang sendu.
Di seberang Faris tidak tahu harus berkata apa-apa. Mulutnya tersumbat sebab ia tidak tahu ceritanya. Ia hanya menebak saja.
"Menangis tidak membuatmu baikan, Ris."
Buliran masih berjatuhan tak tertahankan. Isak tangis dalam malam yang beku kian membesar. Kelamnya malam menjadi saksi rintihan hati yang rindu berat.
"Kenapa aku harus begini?" tanyanya dalam hati.
Sejenak pikirannya kembali ke masa dulu yang penuh warna. Ia menyelami kembali janji-janji manis yang terungkap. Rayuan-rayuan maut yang mematikan yang sekarang benar-benar mematikannya! Ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Ia tidak menyesalinya, sebab dulu ia hidup bahagia di atas janji-janji dan rayuan yang tidak tahu menjadi begini.
"Apa kabar, Lan? Aku rindu!"
Sehabis mengirim pesan singkat itu, ia akhiri malam dengan linangan air mata yang masih saja mengalir, sekali pun ia memintanya berhenti. Ia harus menerimanya, sebab dulu tidak ada yang memaksanya. Alan pun tidak pernh memaksanya untuk percaya pada janji-janjinya. Ia hanya menuruti hatinya dulu. Begitulah. Aristi masih terisak.
***
      "Ayo! Bagaimana?" tanya Faris penuh harap.
      Aristi sejenak diam. Ia mematung dalam diamnya yang mencoba menyelam realita.
      "Pikirkan dulu. Jangan memaksakan dirimu," lanjut Faris sabar.
      Dalam diamnya, ia mencoba menggali nurani. Antara ia atau tidak. Ia masih diam di tempat. Faris masih menunggu jawaban antara ia dan tidak. Terjadilah hening yang diam. Antara hati dan logika. Hati masih tampak berat menikmati alam dengan dia yang masih asing di hatinya. Dengan logika yang berkata ia dengan hati yang bimbang jalinan asmaranya dengan dia, Alan, yang tak jelas ujungnya!
      Pelan-pelan ia menaiki motor milik Faris. Sibuk pikirannya, antara hati dan logika. Hati terasa berat menumpnag dan berjalan-jalan bahagia dengan Faris yang asing di hatinya. Bahagia, sebab logika memilih dia, Faris, yang bersedia membantunya dalam keterpurukan yang melanda.
      "Bagaimana hatimu?" tanya Faris di tengah perjalanan.
      Aristi diam. Diam yang tak tahu arahnya kemana.
      "Baik-baik saja," katanya setelah sekian lama terdiam.
      Faris memacu kendaraannya di atas aspal yang berkelok-kelok. Sebuah rencana yang Faris pun tidak tahu apakah berhasil. Sebagai teman baik, ia hanya mencoba mengobati hatinya yang kacau dengan mengunjungi tempat wisata. 88 kilo meter jauh perjalanan itu. Tidak banyak tawa sepanjang jalan. Hanya diam, ya, diam yang dominan. Aristi masih terlihat kusut di boncengan. Sejenak, Faris menghenetikan motornya, di sebuah tempat teduh, pinggir jalan.
      "Hei," panggilnya.
      Yang dipanggil hanya tersenyum. Faris menghampirinya.
"Kamu tidak harus larut dalam sedihmu," kata Faris seraya menggenggam tangannya.
Darahnya mendesir. Terjadi gejolak hebat dalam hatinya. Ia pandangi Faris yang terlihat tersenyum di depannya. Detak jantungnya semakin tak terkendali. Ada yang salah terjadi. Ia semakin dalam pandangi wajahnya. Semakin lama, justru wajah Alan yang terlihat. Ia memeluknya dalam isak tangis yang menderu. Faris tidak bergerak. Ia tahu apa yang terjadi. Ia diam saja. Membelai rambutnya. Mengusap banjiran air mata yang meluap.
"Aku kangen, Lan!" desisnya.
Faris merasakan kesedihan hatinya yang mendalam. Rasa kangen yang makin memuncak dan tidak terbalas.
"Tidurlah, Ris. Tidurlah dalam pelukku. Lepaskan sedihmu. Ada aku di sini," gumam Faris.
***
      Sepoi angin laut terasa sejuk mengusir panas yang menggigit. Aristi melebarkan tangannya sepertinya ingin merasakan sepoi angin yang lembut. Ia berteriak-teriak sepanjang jalan yang berkelok. Faris hanya tersenyum. Dari spion, ia mencuri pandang. Tampaklah wajah Aristi yang makin merisaukan hatinya yang entah mengapa.
"Makasih, Ris. Makasih sudah mengajakku jalan. Aku bahagia sekali," katanya sambil memeluk tubuh Faris yang masih diam.
Faris tersenyum dan mengangguk-angguk. Pemandangannya yang sangat aduhai. Hamparan laut yang biru, bak permadani membentang. Kapal-kapal nelayan yang terombang-ambing terbuai ombak. Jalan yang berkelok-kelok, tampak ayu terlihat dari atas bukit. Rerumputan nan hijau yang manja. Sangat mengasyikkan. Lihat saja, Aristi jingkrak-jingkrak, tak beda jauh dengan anak kecil yang kegirangan.
"Makasih, Ris. Makasih sekali lagi," katanya lagi.
Faris masih seperti sebelumnya, yang hanya diam. Diam sambil sesekali ikutan selfie.
"Untuk kenangan, Ris," kata Aristi sambil memencet tombol handphone-nya.
Senyum kamera muncul dengan sendirinya. Serasi sekali mereka berdua. Deg-degan, seperti biasa itulah yang terjadi. Antara ganjil bin aneh dan bahagia. Entahlah! Ada yang beda saja kali ini. Tiba-tiba saja Aristi diam sebentar. Wajahnya mulai sayu. Bunga-bunga yang tadi bermekaran, layu begitu saja.
"Kenapa, Ris?" Faris kebingungan.
Aristi hanya menggeleng.
"Biarkan aku sendiri, Ris," katanya berbisik.
Faris manut. Ia mengambil langkah memasang jarak. Dari kejauhan ia menatapnya dalam senyum yang tak pasti. Iba atau rasa, entahlah!
"Laut itu, Ris. Ya laut itu," katanya.
"Kenapa dengan laut itu?"
"Laut itu luas, Ris. Dalam pula, tak terukur," katanya lagi.
"Kalaupun terukur, pastinya dalam, Ris," lanjutnya.
Aristi hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak mengerti kata-kata itu. Pemikirannya terlalu dangkal untuk mengartikannya.
"Ris, pandanglah langit di atas kepalamu, Ris," katanya lagi.
"Ada apa lagi dengan langit sayang?" Aristi mendongakkan kepalanya. Menatap langit biru yang membentang.
"Langit itu luas juga, Ris. Tinggi pula," katanya.
Aristi lagi-lagi mengangguk. Ia tahu langit itu tinggi. Tapi ia tak tahu makna tersembunyi di balik kata-kata itu.
"Ris, gunung itu, Ris," katanya lagi.
"Ya, tinggi," katanya.
"Aku tak mengerti!" kata Aristi.
      Ia kemudian mendekatkan duduknya. Menggenggam tangannya. Memakaikan mahkota dari rumput-rumput liar yang dari tadi dirangkainya. Memakaikan pula, rangkaian rerumputan berbentuk cincin. Menyematkan bunga liar nan indah di telinganya.
      "Ris, aku cinta kamu. Cinta yang luas, seluas laut, sedalam samudra. Aku cinta kamu setinggi langit di atas kepalamu. Juga cinta kamu bak gunung di belakang punggungmu."
      "Apa kamu melamarku?" Aristi menitikan air mata. Terharu dan terbuai kata-kata manis nan elok yang keluar dari mulutnya.
      "Hei," panggil Faris.
      Aristi menunduk pilu. Mengenang masa dulu yang kian berlalu. Yang membuatnya rapuh dalam menunggu.
"Di sini, Ris. Di sini ia mengucapkan kalimat itu. Ya Faris, aku terbuai karenanya dulu," Aristi terisak.
"Menangislah, Ris. Menangislah kalau memang tangisan membuatmu tenang. Menangislah," kata Faris.
Aristi mengangguk. Faris mengeratkan pelukan. Deburan ombak masih mengalun di laut lepas. Sepoi angin masih manja. Menerbangkan rambutnya yang terurai.
"Makasih, Ris," kata Aristi.
***
      Hanya bisa menangis. Ya, ia hanya bisa menangis. Meratapi kepiluan yang ia tidak harapkan.
      "Ris," panggil Risa, sahabatnya.
      "Ia khianatiku, Sa," katanya dalam tangis yang tak terhenti.
      Risa hanya diam. Ia memeluknya.
      "Yang sabar, Ris. Yang sabar!"
      Aristi masih menangis. Kenangan lalu yang penuh bahagia justru melukainya.
      "Kamu harus bangkit, Ris. Jangan siksa dirimu," kata Risa.
      Betapa kesakitan yang diterima. Aristi tak kuasa menahan api dusta yang ia pelihara. Risa bisa merasakannya. Risa tak mau Aristi, sahabatnya terkurung dalam penantian yang berujung tipuan.
      "Bagaimana keadaannya?" tanya Faris.
      Risa hanya menggeleng. Faris beranjak dari kursi hendak menuju kamarnya.
      "Mending jangan, Ris," kata Risa.
      "Ya. Baiknya begitu," jawab Faris memabatalkan niatnya menemui Aristi.
      Kedekatan mereka sudah tersiar di puskesmas. Semua teman sejawat maklum saja, termasuk Risa yang sempat cemberut. Pulang pergi bersama. Jalan-jalan berdua. Semuanya berdua. Semua tahu juga artinya. Hanya makna sebenarnya adalah mereka berdua.
      Waktu berlalu dan berjalan semestinya. Tak ada seorang pun yang bisa menghentikan waktu. Aristi masih terikat dalam lingkaran kisahnya yang pilu. Sementara Faris harus beribu kali bertanya hati. Bertanya hati tentang rasa iba, peduli, perhatian yang mengalir begitu saja. Yang ia sendiri tidak tahu artinya. Naluri kemanusiaannya datang begitu saja, menjadi pahlawan penghibur hati yang lara.
      "Seminggu ini dia habiskan waktu di kamar, Ris," kata Risa membuka keheningan.
      Faris manggut-manggut saja.
      "Aku pernah menghubunginya, Sa. Tidak direspon," kata Faris.
      "Ris, jaga dia, Ris," Risa berkata penuh harap.
      "Aku percaya kamu, Ris," kata Risa lagi.
      Faris manggut-manggut lagi.
***
      Ia masih terlilit dalam bundaran tidak jelas. Masih ia terikat dalam cerita romansa yang tidak tahu menjadi apa kelak. Sejenak ia berpikir untuk menjauhi narasi tidak berkepntingan ini.
      "Kenapa aku ini?" tanyanya dalam hati.
      Pertanyaan yang ia munculkan sendiri, yang ia sendiri pula tidak tahu jawabannya.
      "Hai," Cassana mengagetkannya.
      "OMG, ternyata kamu, Cass," katanya.
      "Kenapa? Kamu harap orang lain?"
      "Aku jadi cemburu," lanjut Cassana.
      Faris hanya tersenyum tipis. Cassana ikutan tersenyum.
      Lama mereka duduk berdua di bawah pohon rindang di depan rumah. Sebelumnya, lama juga mereka tidak duduk berdua lagi di situ.
Ngobrol apa adanya dari hati ke hati. Membahasa ini itu tanpa rencana.
      "Kamu kok tidak kabar-kabar, Ris."
"Harus begitu kah orang yang berprofesi ganda? Sibuk begitu?" Cassana menagih jawaban.
"Tidak juga. Hanya saja ... , " ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa, Ris? Ada masalah?" desak Cassana.
Faris menggeleng. Terlukis pertanyaan besar dalam hatinya. Pertanyaan yang sampai sejauh ini susah ditebak jawabannya. Kalau pun jawabannya ada, ia takut salah.
"Kamu punya pacar baru, Ris?" desak Cassana lagi.
"Bukan begitu, Cass," jawabnya.
"Terus?"
"Aku ini apa di matamu, Ris?" desak Cassana lagi.
Faris memandangnya dalam ekspresinya yang iba. Ia tersenyum kemudian.
"Kamu tahu aku, Cass," katanya.
Cassana merajuk. Faris tidak bisa berbuat apa-apa.
Sesosok bayangan terlihat dari kejauhan. Lama-lama makin jelas. Rambut terurai dengan wajah kapas. Putih bersih. Nampak ayu dengan baju putih, seputih kulitnya. Faris tersenyum menyambutnya. Mereka duduk bersandingan di bawah pohon itu. Tidak berkata apa-apa. Hanya degupan jantung yang bicara. Faris menarik nafas dalam, begitu pun ia yang tampak deg-degan pagi itu.
"Apa ...," Aristi membelalak. Kalimatnya terputus.
Ia beranjak. Berlari kecil hendak pulang, saat bola matanya menangkap makhluk yang keluar dari pintu dengan dua cangkir kopi di tangannya. Cassana mematung di dekat pintu. Faris menatapnya dalam kebimbangan yang sempurna. Ia putuskan untuk mengejar Aristi yang makin menjauh.
"Ris ... Ris ... ," panggilnya.
Yang diapnggil makin jauh dan menjauh. Faris menghentikan langkah. Menarik nafas dalam-dalam.
***
      Pagi mengalun sepi pagi itu. Faris menikmati kopi sambil bersiap-siap. Wajahnya terlihat kusut. Masih jelas ada sisa-sisa problema di wajahnya. Ia tidak semangat sekali pagi itu. Masih membentang masalah yang perlu ia luruskan. Hati masih kusut juga, masih perlu ia bahagiakan dengan meluruskan yang terjadi dengan perasaannya.
      Motornya melaju santai menuju tempat kerjanya. Senyuman yang kerap muncul di bibirnya kini hilang begitu saja. Ia lesu dalam pertanyaan yang sangat menyiksanya. Ia layu dalam bombardir cerita yang tiada ia mengerti.
      "Ris," sapa Risa.
      Faris hanya diam. Matanya masih berkeliling hendak mencari sesuatu. Hal itu dipahami oleh Risa.
      "Di belakang, Ris," kata Risa.
      Faris berlari kecil menuju tempat yang ditunjuk. Ia mendapati Aristi yang duduk melamun di atas kursi yang berjejer di ruangan belakang.
      "Ris," sapa Faris.
      Yang disapa hanya menatapnya. Lalu tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.
      "Ris, soal kemarin ... ," Faris terdiam.
      "Kenapa soal kemarin? O ya, sorry, kemarin aku mengganggu," ketus Aristi.
      "Bukan begitu, Ris. Kamu salah paham," jelas Faris.
"Salah paham? Mengapa pula kamu cerita ke aku. Pakai maaf segala!" Aristi tampak cuek. Sebulir air mata mulai menitik.
"88 km, Ris. 88 km, aku jadi paham sekarang. Terkadang aku menangis mengenang masa laluku. Kadang pula, aku menangis sebab aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, denganmu!" Aristi terisak.
Faris masih terdiam. Menatap buliran air matanya yang terus mengalir.
"Cassana, Ris. Itu namanya. Bukan siapa-siapa," jelas Faris.
"Aku lama mengaguminya. Lama sekali, sejak kami SMP. Sampai sekarang, aku bahkan menginginkannya. Hanya saja, aku kalah," kata Cassana yang tiba-tiba muncul.
"Aku tahu hatinya. Tahu betul," lanjut Cassana.
Cassana diam dan tersenyum. Aristi terpaku di tempat. Faris melangkah pelan. Berlutut di hadapannya.
"Pertanyaanku terjawab, Ris. Sebelumnya aku bingung apa yang terjadi. Sekarang, aku tahu harus bagaimana, Ris. Aku jatuh hati, Ris. Teriam aku, Ris," kata Faris sungguh-sungguh, berharap hatinya disambut.
Aristi berkaca-kaca. Dia mengangguk pelan.
"88 km, Ris," katanya.
Cassana tersenyum. Mungkin jauh dalam sukmanya ia terluka. Bagaimana pun, ia harus terima itu.
***
Risa sibuk sekali. Handphone-nya berdering. Setelah merapikan meja kerjanya, ia mengangkat telepon.
"Hai, maaf, tadi sedikit sibuk sayang," katanya dari seberang.
"Tidak apa-apa," jawab dari seberang.
"Aku kangen, Sa."
Wajahnya berubah merah. Kata itu, ya, sudah lama ia ingin mendengarnya. Sudah lama sekali.
"Kamu serius kan, Lan. Kamu ... ," Risa menganga.
Merah di wajahnya makin membara. Degupan jantungnya semakin kencang. Ia tertangkap basah. Tak sadar, handphone-nya jatuh.
"Risa ... Sa ... ," suara dari hp-nya.
      Aristi tersenyum. Ia baik-baik saja.
      "Sa, aku sudah tahu. Aku baik-baik saja, Sa," kata Aristi sambil mengambil hp yang tergeletak di lantai.
      "Halo, Lan," sapanya.
      Yang disapa terdiam. Suara itu ia tahu betul milik siapa.
      "Tidak apa-apa, Lan!"
                                                      4 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H