***
      Sepoi angin laut terasa sejuk mengusir panas yang menggigit. Aristi melebarkan tangannya sepertinya ingin merasakan sepoi angin yang lembut. Ia berteriak-teriak sepanjang jalan yang berkelok. Faris hanya tersenyum. Dari spion, ia mencuri pandang. Tampaklah wajah Aristi yang makin merisaukan hatinya yang entah mengapa.
"Makasih, Ris. Makasih sudah mengajakku jalan. Aku bahagia sekali," katanya sambil memeluk tubuh Faris yang masih diam.
Faris tersenyum dan mengangguk-angguk. Pemandangannya yang sangat aduhai. Hamparan laut yang biru, bak permadani membentang. Kapal-kapal nelayan yang terombang-ambing terbuai ombak. Jalan yang berkelok-kelok, tampak ayu terlihat dari atas bukit. Rerumputan nan hijau yang manja. Sangat mengasyikkan. Lihat saja, Aristi jingkrak-jingkrak, tak beda jauh dengan anak kecil yang kegirangan.
"Makasih, Ris. Makasih sekali lagi," katanya lagi.
Faris masih seperti sebelumnya, yang hanya diam. Diam sambil sesekali ikutan selfie.
"Untuk kenangan, Ris," kata Aristi sambil memencet tombol handphone-nya.
Senyum kamera muncul dengan sendirinya. Serasi sekali mereka berdua. Deg-degan, seperti biasa itulah yang terjadi. Antara ganjil bin aneh dan bahagia. Entahlah! Ada yang beda saja kali ini. Tiba-tiba saja Aristi diam sebentar. Wajahnya mulai sayu. Bunga-bunga yang tadi bermekaran, layu begitu saja.
"Kenapa, Ris?" Faris kebingungan.
Aristi hanya menggeleng.
"Biarkan aku sendiri, Ris," katanya berbisik.