Risa memasang muka masam. Aristi tidak sempat memperhatikannya. Ia terlarut obrolan ringan dengan kenalannya. Aristi terlihat semangat dari hari ke hari. Perubahan yang cukup signifikan untuk ukuran Aristi yang terbelenggu rindu yang berat.
***
Aristi terpaku menatap langit malam yang beku, sebeku hatinya yang kaku. Buliran air mata berjatuhaan. Buncahan dan bongkahan rindu makin membebaninya. Ia ambil handphone-nya, menghubungi yang dirindu.
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk!Â
Berkali-kali ia menghubungi. Berkali-kali ia mendapat jawaban yang sama. Buliran demi buliran air mata berjatuhan bak hujan awal Desember. Jatuh tak terhitung membasahi lantai kamarnya.
"Hai, Ris," sapanya dari seberang.
"Kok suaramu ... ," Faris tidak melanjutkan kalimatnya.
"Biasa, Ris," jawabnya.
"Aku rapuh, Ris. Aku ... ," katanya diiringi isak tangis yang sendu.
Di seberang Faris tidak tahu harus berkata apa-apa. Mulutnya tersumbat sebab ia tidak tahu ceritanya. Ia hanya menebak saja.
"Menangis tidak membuatmu baikan, Ris."