Faris manut. Ia mengambil langkah memasang jarak. Dari kejauhan ia menatapnya dalam senyum yang tak pasti. Iba atau rasa, entahlah!
"Laut itu, Ris. Ya laut itu," katanya.
"Kenapa dengan laut itu?"
"Laut itu luas, Ris. Dalam pula, tak terukur," katanya lagi.
"Kalaupun terukur, pastinya dalam, Ris," lanjutnya.
Aristi hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak mengerti kata-kata itu. Pemikirannya terlalu dangkal untuk mengartikannya.
"Ris, pandanglah langit di atas kepalamu, Ris," katanya lagi.
"Ada apa lagi dengan langit sayang?" Aristi mendongakkan kepalanya. Menatap langit biru yang membentang.
"Langit itu luas juga, Ris. Tinggi pula," katanya.
Aristi lagi-lagi mengangguk. Ia tahu langit itu tinggi. Tapi ia tak tahu makna tersembunyi di balik kata-kata itu.
"Ris, gunung itu, Ris," katanya lagi.