"Mending jangan, Ris," kata Risa.
      "Ya. Baiknya begitu," jawab Faris memabatalkan niatnya menemui Aristi.
      Kedekatan mereka sudah tersiar di puskesmas. Semua teman sejawat maklum saja, termasuk Risa yang sempat cemberut. Pulang pergi bersama. Jalan-jalan berdua. Semuanya berdua. Semua tahu juga artinya. Hanya makna sebenarnya adalah mereka berdua.
      Waktu berlalu dan berjalan semestinya. Tak ada seorang pun yang bisa menghentikan waktu. Aristi masih terikat dalam lingkaran kisahnya yang pilu. Sementara Faris harus beribu kali bertanya hati. Bertanya hati tentang rasa iba, peduli, perhatian yang mengalir begitu saja. Yang ia sendiri tidak tahu artinya. Naluri kemanusiaannya datang begitu saja, menjadi pahlawan penghibur hati yang lara.
      "Seminggu ini dia habiskan waktu di kamar, Ris," kata Risa membuka keheningan.
      Faris manggut-manggut saja.
      "Aku pernah menghubunginya, Sa. Tidak direspon," kata Faris.
      "Ris, jaga dia, Ris," Risa berkata penuh harap.
      "Aku percaya kamu, Ris," kata Risa lagi.
      Faris manggut-manggut lagi.
***