Sesosok bayangan terlihat dari kejauhan. Lama-lama makin jelas. Rambut terurai dengan wajah kapas. Putih bersih. Nampak ayu dengan baju putih, seputih kulitnya. Faris tersenyum menyambutnya. Mereka duduk bersandingan di bawah pohon itu. Tidak berkata apa-apa. Hanya degupan jantung yang bicara. Faris menarik nafas dalam, begitu pun ia yang tampak deg-degan pagi itu.
"Apa ...," Aristi membelalak. Kalimatnya terputus.
Ia beranjak. Berlari kecil hendak pulang, saat bola matanya menangkap makhluk yang keluar dari pintu dengan dua cangkir kopi di tangannya. Cassana mematung di dekat pintu. Faris menatapnya dalam kebimbangan yang sempurna. Ia putuskan untuk mengejar Aristi yang makin menjauh.
"Ris ... Ris ... ," panggilnya.
Yang diapnggil makin jauh dan menjauh. Faris menghentikan langkah. Menarik nafas dalam-dalam.
***
      Pagi mengalun sepi pagi itu. Faris menikmati kopi sambil bersiap-siap. Wajahnya terlihat kusut. Masih jelas ada sisa-sisa problema di wajahnya. Ia tidak semangat sekali pagi itu. Masih membentang masalah yang perlu ia luruskan. Hati masih kusut juga, masih perlu ia bahagiakan dengan meluruskan yang terjadi dengan perasaannya.
      Motornya melaju santai menuju tempat kerjanya. Senyuman yang kerap muncul di bibirnya kini hilang begitu saja. Ia lesu dalam pertanyaan yang sangat menyiksanya. Ia layu dalam bombardir cerita yang tiada ia mengerti.
      "Ris," sapa Risa.
      Faris hanya diam. Matanya masih berkeliling hendak mencari sesuatu. Hal itu dipahami oleh Risa.
      "Di belakang, Ris," kata Risa.