"Tit ... tit ..." yang ditelepon tidak menjawab panggilan.
Mulanya itu biasa saja, tidak ada tanggapan lain.
"Mungkin sibuk," desisnya.
Ya begitulah, Alan jarang bisa dihubungi. Kerjanya padat, kadang lembur. Itu penjelasannya minggu lalu. Kalau pun teleponnya dijawab, obrolannya hanya sebentar. Seperti waktu itu.
"Apa kabar, Lan?"
Yang sebelah nampak menarik nafas dalam. Nampak seperti orang kelelahan.
"Capek, Ris."
"Baiklah, Lan. Chatt saja ya," kata Aristi sambil mematikan teleponnya.
Chatt pun berjalan tidak sesuai harapan. Banyak unek-unek yang hendak disampaikan. Banyak cerita yang mesti didengar. Namun, itu tidak terjadi. Alan mengeluh kecapean sehabis kerja. Aristi paham saja. Tidak ada bantahan atau dugaan. Ia percaya, Alan menjaga hati untuknya. Ia tahu itu. Tahu betul. Ia mengenalnya sejak lama. Sekalipun dinding whats App Alan terlihat tulisan online, tidak satu pun chatt-nya dibalas. Aristi sejenak berpikir.
"Pasti ketiduran."
Malam semakin pekat. Khayalnya terbang bebas di angkasa malam. Berkelana bersama bintang yang kedip dari kejauhan. Kejenuhan mulai muncul dan menjadi pengganggu. Ia sandarkan tubuhnya ke tiang tempat tidur. Terlelap dalam buliran air mata yang jatuh entah mengapa. Wajahnya tampak kusut dengan kangen yang membebani. Bisa jadi, kangennya terlalu berat untuk sekedar disimpan. Wajahnya semkain kusut dan kusut. Ada seonggok pilu jauh dalam batinnya. Pilu sebab rindu tidak terbalas. Entahlah, malam masih seperti biasa, berjalan dalam kelam yang dingin menusuk. Ia meringkuk dingin. Ia eratkan pelukan ke kakinya yang beku. Buliran air mata masih menetes pelan. Ia masih kusut, kusut dalam malam.