***
Selepas malam, pagi menyembur dengan sinarnya yang hangat. Ia menggeliat dari pembaringannya. "Astaga, kok bisa?" ia kaget, tak sadar, semalam ketiduran di lantai dekat tiang tempat tidur. Ia segera berdiri melangkah menuju kaca yang setengah pecah di sudut kamar. Ia mendapati wajahnya yang kusut. Wajah yang menyiratkan kepiluan yang dalam.
Selesai bersiap-siap, ia menyalakan motornya menuju tempat kerja. Perjalanan yang cukup jauh dan lumayan menguras tenaga.
"Pagi, Ris," sapa Risa, teman sejawatnya.
Ia hanya mengangguk dan tersenyum seperti biasa. Ia buru-buru naik ke lantai dua menemui pimpinan untuk menyerahkan laporan bulanan seperti biasa. Pintu  ditutup. Bisa ditebak, Bu Sifa ada tamu. Ia menunggu dengan perasaan cemas. Was-was laporannya salah. Ia sibuk menata jantungnya yang deg-degan. Ia tahu betul watak pimpinannya: suka mengomel!
Suara pintu berderit. Ada yang keluar. Seorang laki-laki jangkung berkulit putih. Aristi tidak sempat memperhatikan wajah laki-laki itu. Ia buru-buru masuk.
"Perawat baru, Ris," kata Bu Sifa.
Aristi hanya tersenyum. Deg-degannya masih belum hilang. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Ini laporannya, Bu," katanya kemudian.
Di luar ruangan terdengar heboh. Semua perawat jomblo, termasuk bidan-bidan sudah bersuami membicarakannya. Bisa ditebak, pasti yang diperbincangkan memiliki daya pikat luar biasa. Aristi tampak ceria. Laporannya tidak ada yang keliru. Risa senyum-senyum sendiri, seperti ibu-ibu genit yang cari perhatian.
"Kamu kenapa? Kesambet?" Aristi heran.