Pendidikan inklusi merupakan perkembangan baru dari
pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan
kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara
optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga
pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem
penilaiannya.
Keuntungan dari pendidikan inklusi adalah bahwa anak
berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi
secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di
masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai
dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusi mensyaratkan
pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan
individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan
dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang
harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait
dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik.
Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang
harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di
kelas lambat laun harus berubah. Istilah inklusi berimplikasi pada
adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam
sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang
harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan
dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna
membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan
pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat
berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi
untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif
dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan
dalam lingkungan tersebut. Dengan melihat adanya penyesuaian
terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka
dalam setting pendidikan inklusi model pendidikan yang
dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model
pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
1. Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi dalam perkembangannya memiliki
beberapa istilah yang berbeda, diantaranya: Special Education,
Pendidikan Integratif, dan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus. Loreman menyatakan bahwa ada banyak definisi pendidikan
inklusi yang berkembang di masyarakat, dan memiliki interpretasi
yang kadang-kadang salah atau misinterpretation, seperti kelas
segregatif yang didalamnya berisi anak dengan tingkah laku
bermasalah dikatakan telah melaksanakan pendidikan inklusi
(Loreman, 2007 : 23).
Pendidikan inklusi seharusnya terdapat guru pembimbing
khusus (GPK) yang diharapkan berkompetensi untuk mendampingi
dan membimbing anak berkebutuhan khusus untuk dapat lebih baik.
Pelaksanaan pendidikan inklusi tidak terlepas dari partisipasi
keseluruhan tenaga pengajar yang ada di sekolah. Pendidikan inklusi
bertujuan untuk memungkinkan siswa meraih potensi mereka
(Marilyn Friend & William D. Bursuck, 2015:5).
Hallahan et al. (2009:53) mengemukakan pengertian
pendidikan inklusi sebagai pendidikan yang menempatkan semua
peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang
hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab
penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut.
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusi
menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal
lainnya.Â
Pendidikan inklusi juga bisa digunakan untuk
mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang
hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi
memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anakanak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan
interaksi sosial yang ada di sekolah (Smith 2006:45).
Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007: 82), pendidikan
inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik
atau kondisi lainnya. Pendidikan inklusi adalah sebuah pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan
pendidikan khusus di sekolah regular (SD, SMP, SMU, dan SMK) yang
tergolong luar biasa baik dalam arti kelainan, lamban belajar maupun
berkesulitan belajar lainnya.
Menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan
inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukan kelas regular
merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan,
apapun jenis kelainanya. Dari beberapa pendapat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya untuk bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah regular (SD, SMP, SMU, maupun SMK).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya untuk bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah regular (SD, SMP, SMU, maupun SMK). Seperti yang telah
disampaikan bahwa pendidikan inklusi memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan inklusi pada dasarnya memiliki dua model.
Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion), berarti penghapusan pendidikan khusus. Model ini menyertakan peserta
didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran
individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial
(partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik
berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang
berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull
out dengan bantuan guru pendamping khusus.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan
Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan
inklusi yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam
model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang
berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan
dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik
berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik
normal. Model inklusi terbalik agaknya menjadi model yang kurang
lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik
berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang
lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian
demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara
kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau
bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya
tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep
dasar pendidikan inklusi
Model pendidikan inklusi yang diselenggarakan pemerintah
Indonesia yaitu model pendidikan inklusi moderat. Pendidikan
inklusi moderat yang dimaksud yaitu pendidikan inklusi yang
memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini
dikenal dengan model mainstreaming. Model pendidikan
mainstreaming merupakan model yang memadukan antara
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)
dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus
digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu
saja. Salah satu usaha awal dalam menawarkan suatu model
mainstreaming menurut Berry, menekankan tiga unsur yang harus
mempunyai ciri-ciri itu: suatu rangkaian jenis-jenis layanan
pendidikan bagi siswa-siswa yang memiliki hambatan, pengurangan
jumlah anak-anak yang "ditarik keluar" dari kelas-kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam
kelas-kelas reguler ketimbang di luar kelas-kelas tersebut.
SD Bina Harapan Semarang merupakan salah satu SD di
Semarang Kota yang menyelenggarakan pendidikan inklusi
meskipun belum mempunyai SK Penunjukan Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusi Tingkat SD, secara formal perizinan SD Bina
Harapan adalah Sekolah Inklusi namun pada kenyataannya yang
kami temukan di lapangan adalah bahwa SD Bina Harapan
didominasi oleh siswa ABK sedangkan kurikulum yang digunakan
adalah kurikulum reguler. Berdasarkan pernyataan Kepala Sekolah
di atas tampak bahwa Kepala SD Bina Harapan Semarang sudah
memahami bahwa bahwa konsep pendidikan inklusi memiliki lebih
banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi 'Pendidikan untuk
Semua', dan 'Peningkatan mutu sekolah'.
Selanjutnya disampaikan pula, bahwa pendidikan inklusi
merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu kelompok
tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan
untuk belajar dan berprestasi. Pendidikan inklusi adalah sistem
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama
teman seusianya. Namun kenyataannya setiap tahun siswa yang
mendaftar pada SD Bina Harapan Semarang justru selalu anak-anak
berkebutuhan khusus, sehingga yang diterima hanyalah siswa ABK
yang ketunaannya masih ringan dengan harapan guru-guru regular
mampu menangani.
Data dilapangan menunjukkan bahwa di SD Bina Harapan
mayoritas justru anak berkebutuhan khusus (ABK) maka hal ini
tentu saja tidak sesuai dengan konsep pendidikan inklusi yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di
sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar murid-murid berhasil secara
optimal.
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menyertakan
semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai
dengan kebutuhan individu siswa tanpa membeda-bedakan anak
yang berasal dari latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi,
politik, keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal,
jenis kelamin, agama, dan perbedaan kondisi fisik atau mental.
Sedangkan di SD Bina Harapan Semarang tidak demikian
keadaannya.
2. Tujuan Pendidikan Inklusi
Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (
dalam Lay Kekeh Marthan, 2007:189-190), terbagi menjadi 3 yakni
bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan
bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut: a) Bagi anak
berkebutuhan khusus; 1) Anak akan merasa menjadi bagian dari
masyarakat pada umumnya, 2) Anak akan memperoleh bermacammacam sumber untuk belajar dan bertumbuh., 3) Meningkatkan
harga diri anak, 4) Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan
menjalin persahabatan bersama teman yang sebaya, 5) Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai
dengan kebutuhannya. b) Bagi pihak sekolah; 1) Memperoleh
pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan dalam satu kelas,
2) Mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki keunikan
dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, 3) Meningkatkan
kepekaan terhadap keterbatasan orang lain dan rasa empati pada
keterbatasan anak, 4) Meningkatkan kemampuan untuk menolong
dan mengajar semua anak dalam kelas. c) Bagi guru; 1) Membantu
guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan mengakui
bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki kemampuan, 2)
Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, 3) Guru akan merasa
tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam
pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam memecahkan
masalah, 4) Meredam kejenuhan guru dalam mengajar. d) Bagi
masyarakat; 1) Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian
dalam masyarakat, 2) Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan
mengajarkan setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi, 3) Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan
antar anggota masyarakat.
Layanan pendidikan inklusi bagi siswa ABK di SD Bina
Harapan Semarang belum bisa maksimal, sebab mekanisme
manajemen yang digunakan masih menggunaan mekanisme
manajemen sekolah regular sedangkan mayoritas siswa di SD Bina
Harapan Semarang adalah siswa ABK. Padahal dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi harus menggunakan manajemen
pendidikan inklusi baik dari segi kesiswaan, kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, keuangan/ dana, lingkungan
(hubungan sekolah dan masyarakat) serta layanan khusus.
Dalam hal penerimaan siswa baru, Kepala sekolah SD Bina
Harapan Semarang akan menentukan apakah siswa yang
bersangkutan diterima atau tidak berdasarkan tingkat kebutuhan
khusus yang dimiliki oleh siswa dalam kategori ringan dan sedang,
karena pada kenyataannya yang mendaftar tiap tahun adalah
kategori anak berkebutuhan khusus bukan siswa reguler. Apabila
termasuk dalam kategori ringan sampai sedang maka akan diterima,
tetapi apabila dalam kategori berat akan disarankan sekolah di SLB.
Dikarenakan SD Bina Harapan Semarang bukan sekolah
inklusi berdasarkan SK Penunjukkan Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusi maka penerimaan siswa ABK dilakukan berdasarkan
kebutuhan di masyarakat. Apabila merujuk pada Permendiknas No. 1
Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan untuk Tunanetra,
Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa dan Tunalaras, bahwa
penerimaan siswa berkebutuhan khusus pada setiap satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah, satuan
pendidikan tersebut harus mengalokasikan kursi siswa (quota)
paling sedikit satu (1) siswa yang memiliki kelainan dalam satu
rombongan belajar yang akan diterima dan paling banyak
disesuaikan dengan kekuatan dan daya dukung sekolah.
Program bimbingan dan penyuluhan diadakan berdasarkan
kebutuhan siswa. Yakni SD Bina Harapan Semarang telah
bekerjasama dengan UNIKA untuk untuk mengadakan tes psikologi
dan USM pada setiap semester akan diadakan pembekalan bagi guru SD Bina Harapan terkait dengan kebutuhan dalam melayani siswa
ABK di Sekolah.
Di SD Bina Harapan Semarang, kurikulum yang dimiliki masih
menggunakan kurikulum reguler, sehingga kebutuhan dan
penanganan siswa ABK belum bisa terakomodir dengan baik padahal
semua siswa termasuk siswa ABK.
Manajemen tenaga kependidikan antara lain adalah 1)
inventarisasi pegawai, 2) pengusulan formasi pegawai, 3)
pengusulan pengangkatan, 4) mengatur usaha kesejahteraan, 5)
mengatur pembagian tugas. Tenaga kependidikan bertugas
menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola dan/atau meberikan pelayanan teknis
dalam bidang pendidikan. Tenaga kependidikan di sekolah inklusi
sebagian besar sama dengan sekolah regular meliputi guru, laboran,
dan teknis sumber belajar.
Lebih khusus, tenaga kependidikan yang dimiliki sekolah
inklusi adalah guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendamping
khusus (GPK). Di SD Bina Harapan Semarang semua hal tersebut
belum dilakukan karena keterbatasan banyak hal. Manajemen tenaga
pendidikan dilakukan sesuai dengan standar reguler. Serta
keterbetasan guru regular pada pemahaman siswa ABK hanya
diperoleh berdasarkan keseharian dalam menangani siswa ABK
(Otodidak).
Untuk menambah wawasan guru-guru regular maka sekolah
sesekali secara rutin sesuai alokasi anggaran yang dimiliki akan
mengirim 2 guru tiap 3 bulan sekali untuk mengukuti pelatihanpelatihan dan pendampingan ABK pada pendidikan inklusi.
Serta pihak sekolah telah bekerjasama dengan fakultas
psikologi USM dan UNIKA, dalam 6 bulan sekali dari pihak kampus
akan mengadakan pelatihan dan pendampingan bagi guru-guru dan
karyawan atau staf TU yang ada di SD Bina Harapan Semarang.
Sehingga jika sewaktu proses pembelajaran dikelas guru
membutuhkan bantuan pendamping maka staf TU akan membantu
mendampingi beberapa siswa di kelas.
Sarana dan prasarana di SD Bina Harapan Semarang belum
memenuhi standar sarpras yang sebagaimana tercantum dalam
Permendiknas, hal ini desebabkan karena tidak adanya alokasi dana untuk penyediaan sarpras bagi siswa ABK. Serta peralatan sarpras
ABk yang tergolong mahal menyulitkan sekolah untuk memenuhinya.
Beberapa kali SD Bina Harapan Semarang mendapatkan BOP dan
beasiswa pendidikan inklusi, dan dari pembayaran SPP dialokasikan
untuk pemenuhan sarpras.
Kepala SD Bina Harapan Semarang selalu berupaya untuk
melibatkan masyarakat termasuk orangtua wali siswa yang
tergabung dalam Komite Sekolah, termasuk untuk menangani siswa
ABK. Tetapi meskipun demikian karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah,
banyak diantara anggota komite yang ikut serta mempercayakan saja
semua keputusan pada pihak sekolah.
3. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah sebagai pengganti
istilah lama anak cacat atau penyandang cacat. Sebenarnya istilah
Anak Bekebutuhan Khusus adalah untuk menunjuk mereka yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial. Pemerintah memahami pada kondisi yang memiliki
kekurangan dan kelebihan kemampuan khususnya dalam bidang
pendidikan. Itulah Anak Berkebutuhan Khusus.
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak anak yang wajib dipenuhi
diantaranya adalah hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran. Anak berkebutuhan khusus usia dini juga berhak
mendapatkan layanan pendidikan.
Anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan perlakuan
yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu.
Agar anak berkebutuhan khusus mendapat pengajaran yang benar
maka perlu diiperhatikan jenis-jenis berkebutuhan khusus (ABK).
Tunanetra, anak yang mengalami gangguan daya
penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan
walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus
masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunarungu,
anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya
sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan
walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengarmasih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunalaras,
anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan
bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada
umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain.
Tunadaksa, anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap
pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunagrahita, anak yang
secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental jauh di bawah rata-rata (IQ dibawah 70)
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan
pendidikan khusus. Hambatan ini terjadi sebelum umur 18 tahun.
Cerebral palsy, gangguan /hambatan karena kerusakan otak
(brain injury) sehingga mempengaruhi pengendalian fungsi
motorik. Gifted, anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi),
kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di
atas anak-anak seusianya (anak normal). Autistis atau autisme,
gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan
dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
Asperger Disorder atau AD, gangguan pada anak Asperger
lebih ringan dibandingkan anak autisme dan sering disebut dengan
istilah High-fuctioning autism. Rett's Disorde, jenis gangguan
perkembangan yang masuk kategori ASD. Aspek perkembangan pada
anak Rett's Disorder mengalami kemuduran sejak menginjak usia 18
bulan yang ditandai hilangnya kemampuan bahasa bicara secara
tiba-tiba. Koordinasi motorinya semakin memburuk dan dibarengi
dengan kemunduran dalam kemampuan sosialnya. Rett's Disorder
hampir keseluruhan penderitanya adalah perempuan.
Attention deficit disorder with hyperactive atau ADHD, bisa
juga disebut anak hiperaktif, oleh karena mereka selalu bergerak dari
satu tempat ketempat yang lain. Tidak dapat duduk diam di satu
tempat selama 5-10 menit untuk melakukan suatu kegiatan yang
diberikan kepadanya. Rentang konsentrasinya sangat pendek, mudah
bingung dan pikirannya selalu kacau, sering mengabaikan perintah
atau arahan, sering tidak berhasil dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Sering mengalami kesulitan mengeja atau menirukan
ejaan huruf.
Lamban belajar atau slow learner, anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk
tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau
keterlambatan berpikir, merespons rangsangan dan adaptasi sosial,
tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita.
Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, anak yang
secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik
khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan
berhitung atau matematika). dari jenis-jenis anak berkebutuhan
khusus tersebut kita dapat mengetahui kendala dan kekurangan
mereka. Sebagai orang awam pun kita dapat memahami dan
mengerti apa yang menjadi kendala dari mereka.
Jika dikaji bentuk perhatian pemerintah, pemerintah peduli
dengan anak berkebutuhan khusus ini dengan bukti di tiap daerah
mulai didirikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Tak tanggung-tanggung,
universitas-universitas memiliki jurusan untuk menjadi guru SLB.
Inilah bukti pemerintah telah peduli kepada semua masyarakat,
terkhusus anak-anak, karena anak-anak merupakan harapan bangsa.
Namun, upaya pemerintah tidak akan berhasil jika para
orangtua tidak memanfaatkan fasilitas yang telah diberikan
pemerintah. Adalah hak dan kewajiban setiap warga negara
menempuh pendidikan, tidak terkecuali bagi mereka anak-anak
berkebutuhan khusus. Jika anak-anak berkebutuhan khusus sudah di
didik dari tingkat sekolah sejajar dengan teman mereka lainnya,
maka mereka akan mengerti dan memahami pembelajaran seperti
yang lainnya, walaupun tentu dengan kadar yang berbeda.
Hendaknya para orangtua mulai memperhatikan betapa pentingnya
pendidikan bagi anak-anak baik yang normal maupun anak dengan
kebutuhan khusus.
Konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan
menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang
bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang
besifat menetap (permanent) a. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara
(temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan
hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma
akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman
traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak
memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi
permanent.
b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap
(Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah
anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan
perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari
kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi
penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan
kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi,
gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan
anak penyandang kecacatan.
Heward (2003) mendefinisikan ABK sebagai anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya
tanpa selalu menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi ,
atau fisik. Suran dan Rizzo (dalam Semiawan dan Mangunson,2010)
ABK adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa
dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang
secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terlambat dalam
mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara
maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, gangguan bicara, cacat
tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, juga anak-anak
berbakat dengan inteligensi tinggi termasuk kedalam kategori anak
berkebutuhan khusus karena memerlukan penanganan dari tenaga
profesional terlatih.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diberikan oleh para
tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa ABK adalah individu yang
memiliki karakteristik fisik, intelektual, maupun emosional, di atas
atau di bawah rata-rata inividu pada umumnya. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru
yang digunakan dan merupakan terjemahan dari children with special
need yang telah digunakan secara luas di dunia internasional. Ada
beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut anak
berkebutuhan khusus. antara lain anak cacat, anak tuna, anak
berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa. Selain itu, WHO
juga merumuskan beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut
anak berkebutuhan khusus, yaitu: a) Impairement: merupakan suatu
keadaan atau kondisi dimana individu mengalami kehilangan atau
abnormalitas psikologi, fisiologi atau fungsi struktur anatomi secara
umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang yang mengalami
amputasi satu kaki, maka ia mengalami kecacatan kaki, b) Disability:
merupakan suatu keadaan dimana individu menjadi "kurang
mampu" melakukan kegiatan sehari-hari karena adanya keadaan
impairement, seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh, pada
orang yang cacat kaki, dia akan merasakan berkurangnya fungsi kaki
untuk mobilitas, c) Handicaped: suatu keadaan dimana individu
mengalami ketidak mampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan
dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh orang yang
mengalami amputasi kaki, dia akan mengalami masalah mobilitas
sehingga dia memerlukan kursi roda (Purwanti,2012).
Manajemen layanan khusus di SD Bina Harapan Semarang
dilakukan dalam hal-hal khusus. Contohnya: untuk membantu siswa
ABK dalam kebutuhan khusus maka akan diberikan layanan dan
treatment khusus pada siswa yang bersangkutan oleh psikolog yang
hadir ke sekolah dalam seminggu sekali, terjadwal siapa saja siswa
yang akan mendapatkan pelayanan dan treatment khusus pada
minggu itu maka psikolog yang ada akan memberikan layanan
tersebut sesuai ketunaan siswa.
Layanan khusus pada penyelenggaraan pendidikan inklusi
dilakukan berdasarkan kebutuhan siswa ABK. Sehingga pelaksanaan
di setiap sekolah inklusi akan berbeda-beda sesuai kebutuhan akan
ketunaannya.
4. Pendekatan Islami di Kelas Inklusi
Bimbingan islami adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah,sehinngga dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan
akhirat. Dengan demikian bimbingan islam merupakan proses
bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, tetapi dalam
seluruh seginya berlandaskan Al-quran dan sunnah rasul.
Bimbingan islam merupakan proses bimbingan
bantuan,artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan,
melainkan sekedar membantu individu.Individu dibantu, dibimbing,
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah.
Landasan (fondasi atau dasar pijak) utama bimbingan dan
konseling islami adalah al-quran dan sunnah rasul, sebab keduanya
merupakan sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat
Islam,seperti disebutkan Nabi Muhammad saw sebagai berikut yang
artinya: "Aku tinggalkan sesuatu bagi kalian semua yang jika kalian
selalu berpegang teguh kepadanya niscaya selamanya-selamanya
tidak akan pernah salah langkah tidak akan pernah salang langkah
tersesat jalan, sesuatu itu yakni kitabullah dan sunah Rasulnya."
Sejalan dengan bimbingan dan konseling konvensional,
bimbingan dan konseling Islami mengandaikan adanya hubungan
personal antar manusia, satu pihak yang ingin memecahkan masalah,
dan pihak lain yang membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam hal ini, MD. Dahlan mengungkapkan bahwa bimbingan dan
konseling Islami adalah "bimbingan kehidupan yang pada intinya
tertuju pada realisasi doa rabanna atina fi ad-dunya hasanah wa fil
akhirati hasanah wa qina adzaba an-nar. Berisikan rintisan jalan ke
arah penyadaran kepribadian manusia sebagai makhluk Allah dan
dapat menumbuhkan rasa tentram dalam hidup karena selalu
merasa dekat dengan Allah dan ada dalam lindungan-Nya."
Secara garis besar atau secara umum, tujuan bimbingan dan
konseling Islami itu dapat dirumuskan sebagai "membantu individu
mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat"
Salah satu tujuan dari bimbingan dan konseling Islam adalah
mengarahkan kepada individu untuk mempunyai mental atau jiwa
yang sehat. Untuk mencapai tujuan bimbingan dan konseling Islam,
maka dibutuhkan sebuah langkah operasional untuk mengarahkan
individu untuk mempunyai mental atau jiwa yang sehat. Salah satu tokoh dalam Islam yang membahas tentang
problematika jiwa adalah Al-Ghazali. Ia secara terperinci telah
menjelaskan tentang jiwa dan bagaimana mengobati problematika
yang berkaitan dengan jiwa. Kedua masalah tersebut dibahas dalam
bab keajaiban hati dan riydhah al-nafs. Di dalam kajian tersebut AlGhazali tidak hanya menjelaskan tentang perilaku manusia, tetapi
juga memberikan terapi penanggulangan permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Hakekat bimbingan dan konseling Islami adalah upaya
membantu individu belajar mengembangkanfitrah dan atau
kembalikepada fitrah, dengan cara memberdayakan (empowering)
iman, akal, dan kemauan yang dikaruniakan Aloh SWT. Kepadanya
untuk mempelajari tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fithrah yang
ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai
tuntunan Allah SWT.
Dari rumusan di atas nampak, bahwa konseling Islami adalah
aktifitas yang bersifat "membantu", dikatakan membantu karena
pada hakekatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai
tuntunan Allah (jalan yang lurus) agar mereka selamat. Karena posisi
konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya individu sendiri
yang harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan
tuntunan Islam (Al-Quran dan sunnah rasul-Nya). Pada akhirnya
diharapkan agar individu selamat dan memperoleh kebahagiaan
yang sejati di dunia dan akhirat, bukan sebaliknya kesengsaraan dan
kemelaratan di dunia dan akhirat.
Pihak yang membantu adalah konselor, yaitu seorang mu'min
yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang tuntunan Allah
dan mentaatinya. Bantuan itu terutama berbentuk pemberian
dorongan dan pendampingan dalam memahami dan mengamalkan
syari'at Islam. Dengan memahami dan mengamalkan syari'at Islam
itu diharapkan segala potensi yang dikaruniakan Allah kepada
individu bisa berkembang optimal. Akhirnya diharapkan agar
individu menjadi hamba Allah yang muttaqin mukhlasin, mukhsinin,
dan mutawakkilin; yang terjauh dari godaan syetan, terjauh dari
tindakan ma'siat, dan ikhlas melaksanakan ibadah kepada Allah.
Individu yang dibantu adalah manusia-bukan binatang yang
setelah meninggal sudah tidak ada tanggung jawab lagi, individu dipandang sebagai "hamba Allah" yang harus selalu tunduk dan
patuh kepada-Nya. Manusia diciptakan bukan hanya untuk
bersenang-senang, tetapi di sana ada perintah yang harus dilakukan
dan larangan yang harus dijauhi, da nada peraturan yang harus
ditaati. Oleh sebab itu dalam kegiatan bimbingan, individu perlu
dikenalkan siapa sebenarnya dia, dan aturan yang harus dipatuhi dan
larangan yang harus dijauhi, seta tanggung jawab dari apa yang
mereka kerjakan selama hidup di dunia. Dalam belajar memahami
diri dan memahami aturan Allah yang harus dipatuhi tidak jarang
mereka mengalami kegagalan, oleh sebab itu mereka membutuhkan
banuan khusus yang disebut "konseling islami" atau bisa disebut juga
dengan pendekatan islami.
Pendekatan islami di kelas inklusi atau layanan bimbingan
islami adalah salah satu kegiatan layanan bimbingan untuk siswa
agar dapat menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME, mantap dan mandiri serta sehat
jasmani dan rohani mandiri serta mampu mengoptimalkan potensi
yang dimiliki sesuai dengan ajaran agama Islam.
Bagi anak berkebutuhan khusus, layanan bimbingan pribadi
Islami dilaksanakan diantaranya adalah agar semua siswa mampun
mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah,
memahami perasaan diri dan mampu mengekspresikannya secara
wajar, mengembangkan potensi diri melalui berbagai aktivitas yang
positif, menghayati nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam
berperilaku.
Pendekatan islami dapat di impelemtasikan dalam kegiatan
sehari-hari bagi siswa berkebutuhan khusus, diantaranya
pendampingan saat siswa berdo'a sebelum dan sesudah
pembelajaran, pembimbingan untuk senantiasa mengucapakan
kalimat-kalimat toyibah selama mengikuti kegiatan pembelajaran
seperti mengucap bismillah ketika akan melakukan sesuatu
membaca alhamdulillah ketika selesai melakukan sesuatu, bimbingan
tata cara ibadah harian, dan lain-lain.
Layanan bimbingan dengan pendekatan Islami yang
dilaksanakan di sekolah inklusi tentu tidak dapat berjalan dengan
mulus tanpa adanya hambatan, ada banyak hal yang menjadi
persoalan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dengan pendekatan islami yang dilaksanakan. Hal itu disebabkan oleh
kompleksnya permasalahan yang ada di kelas inklusi. Kelas dimana
siswa dengan bermacam-macam kemampuan dan keunikan
kebutuhan yang dimiliki. Selain itu, banyak permasalahan yang
dihadapi dalam melaksanakan layanan bimbingan pribadi Islami
adalah karena siswa ABK cenderung memiliki emosi yang labil,
memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk, dan kekurangmampuan dalam
berkomunikasi sehingga dalam pelaksanaan bimbingan dengan
pendekatan Islami yang dilaksanakan cenderung tidak dapat berjalan
dengan baik dan sebagaimana harapan.
Umumnya sekolah inklusi adalah sekolah yang
menggabungkan siswa reguler (normal) dengan siswa berketunaan
(ABK) namun di SD Bina Harapan semua siswa adalah siswa
berkategori ABK. Tidak ada siswa reguler. Kepala sekolah SD Bina
Harapan Semarang yang menentukan apakah siswa yang
bersangkutan diterima atau tidak berdasarkan tingkat kebutuhan
khusus yang dimiliki oleh siswa dalam kategori ringan dan sedang,
karena pada kenyataannya yang mendaftar tiap tahun adalah
kategori anak berkebutuhan khusus bukan siswa reguler. Apabila
termasuk dalam kategori ringan sampai sedang maka akan diterima,
tetapi apabila dalam kategori berat akan disarankan sekolah di SLB.
Sedangkan guru-guru yang ada adalah guru regular yang
minim pengetahuan tentang ABK, adapun pengetahuan dan
pelayanan guru yang diberikan kepada siswa ABK di SD Bina
Harapan Semarang bersifat otodidak karena penanganan
keseharian/kebiasaan menangani siswa ABK sehari-hari saja. Lebih
khusus, tenaga kependidikan yang dimiliki sekolah inklusi adalah
guru kelas, guru mata pelajaran. Sehingga penggunaan pendekatan
islami di kelas inklusi pada SD Bina Harapan Semarang tidak
diterapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H