Indera penciuman sebatas mencium apa yang ada disekitarnya. Pikiran tanpa tubuh sangat sulit untuk mengelompokkan apa yang telah tercium.
Tentang kekuatan hidung yang memiliki fungsi penciuman terletak dalam ketdakhadiran manipulasi aroma.
Hasil pengetahuan yang mengherankan, bahwa hidung sebagai bagian dari tubuh mampu menunjukkan tanda-tanda awal, teridentifikasi aroma sedap atau harum, amis atau busuk, lahan atau gas dalam perbedaan jenis dan kadar.
Perbedaan tanpa konsep tentang aroma menghadapi tubuh pada setiap spesies, ditangkap oleh indera penciuman dan diolah atau dianalis melalui pikiran.
Begitu pula rasa lapar yang berhubungan dengan sensasi. Jika ia mencapai titik klimaksnya bukan lagi pancaran dari 'suara perih' dibalik ketidakhadiran mulut atau lidah untuk memenuhi pangan, melainkan ketidakmampuan kata-kata atau bahasa untuk mengungkapkannya secara panjang lebar hingga malam suntuk.
Hidung atau rasa lapar memverifikasi dirinya sendiri, yang melebihi organnya tanpa tersembunyi dari tanda-tanda huruf vokal dan huruf konsonan.
Disamping alam menghamparkan perbedaan-perbedaan dan membatasi mereka menurut unit fungsionalnya dengan masing-masing kekuatan yang dimilikinya, ia menempatkan jalinan relasi bolak-balik tubuh dengan energi hasrat, fantasi, indera, dan imajinasi bersama penyatuan bahasa dan representasi pengetahuan (bahasa sebagai obyek 'tubuh').
Tanda-tanda alam diantara benda-benda bukanlah permasalahan tentang persetujuan atau penolakan diantara manusia pada bahasa, melainkan bagaimana menyelesaikan dan mewujudkan seluruh kekuatan dan kecenderungannya di tengah batas-batas sifat alami.
Lain halnya, alam materi yang ditundukkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan, dari tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam kehidupan.
Ada ruang untuk beranak pinak, bernyanyi, berbincang, bermimpi, dan bekerja, yang dihubungkan dengan keserasian alam.
Masih tetap dikatakan, fungsi organik dari hidung dan perut 'tidak bisa berdusta' sebagai bagian dari esensi hukum alam yang dianegerahi padanya.