Memang otda tidak sendirinya memosisikan daerah secara lebih baik dalam kerangka negara kesatuan nasional. Justru sebaliknya, otda dapat memperkuat kecenderungan parokialisme dan separatisme serta diabai-kannya kepentingan-kepentingan nasional yang lebih luas daripada ter-ciptanya kepentingan daerah yang dangkal (Smith dikutip oleh Said, 2008). Tetapi jika kita berbicara Aceh dan Papua, itu merupakan wacana klasik yang lebih besar ditumpangi oleh kepentingan politik dan simbolisasi semata ketimbang bagaimana upaya untuk menyejahterakan masyarakat.
Tidak hanya masalah munculnya sifat kedaerahan yang tinggi serta ancaman integrasi nasional dapat disebabkan oleh otda dan desentralisasi asimetris. Tetapi juga masalah penguasaan sumber daya alam, politik dan ekonomi di daerah oleh penguasa daerah menjadi catatan kritis lain atas kebijakan ini. Tetapi itu terjadi hanya jika desentralisasi asimetris tidak dipahami dan dijalankan dengan baik apalagi sunguh-sungguh.
Â
Meskipun potensi dan peluang akan munculnya konsolidasi parameter-paramater primordial yang dapat memunculkan rasa kedaerahan yang berlebihan itu ada dan wajib untuk dicermati. Tetapi, yang perlu digarisbawahi bahwa otda dan desentralisasi itu sendiri bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan dan sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan dan pemujaan terhadap politik kesukuan (Lay 2001).
Â
Isu bahwa desentralisasi asimetris dapat mengancam eksistensi negara kesatuan juga tak lebih dari mitos murahan. Karena faktanya, justru negara penganut federalisme yang kebanyakan runtuh akibat tidak mampu mengelola perbedaan di dalam persatuan dan kesatuannya. Uni Soviet dan Yugoslavia merupakan dua contoh konkret bahwa tidak ada korelasi signifikan antara kebijakan desentralisasi asimetris dengan bentuk negara.
Â
Apalagi, negara kesatuan itu pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua bentuk utama. Yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (Kaho 2012). Dan Indonesia tampaknya memang harus memilih bentuk yang kedua–dengan sistem desentralisasi. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi terutama pada pasal-pasal penjelasan untuk pasal 1 dan pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen. Sehingga, sesungguhnya pempus tetap mem-punyai hak untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Â
B. Â Pendapat-pendapat
Pada uraian di atas, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mem-bentangkan secara komprehensif landasan-landasan teoretis yang akan membingkai tulisan ini untuk menjawab rumusan-rumusan masalah yang diajukan sebelumnya. Untuk memperkuat penjelasan teoretis sebelumnya, pada bagian ini penulis akan memberikan secara singkat pendapat-pendapat tiga orang ahli politik dan pemerintahan Indonesia terkait desentralisasi asimetris.