Evaluasi internal yang dilakukan Departemen (Kementerian) Dalam Negeri sendiri menunjukkan banyak daerah yang gagal memenuhi sistem pelayanan yang lebih baik. Studi dan penelitian lain yang dilakukan oleh pemerhati pemerintahan dan masyarakat sipil dari dalam dan luar negeri, juga banyak memberikan catatan kritis atas pelaksanaan otda dan desentralisasi di Indonesia.
Karena itu, kita tampaknya membutuhkan cara berpikir baru yang me-nekankan pada adanya kebutuhan untuk memerhatikan perbedaan antar-daerah dan keunikan masing-masing daerah. Sekaligus kepentingan obyektif Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa untuk merancang kebi-jakan desentralisasi ke depan (Pratikno dkk, 2010).
Cara berpikir atau paradigma ini dikenal dengan asymmetrical decentrali-zation, yang secara legal-konstitusional memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang inheren dalam praktek desentralisasi Indonesia. Apalagi secara empirik, Indonesia telah melaksanakan desentralisasi asi-metris di NAD, DKI Jakarta, DIY dan Papua. Bahkan banyak desain kelem-bagaan yang berangkat dari paradigma asimetri ini, seperti pengem-bangan kawasan ekonomi khusus, pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otorita dan kota-kota mandiri. Masalahnya, praktek-praktek pengaturan daerah atau kawasan secara asimetri di atas belum terintegrasi sebagai bagian dari rezim desentralisasi di Indonesia. Masing-masing hanya menjadi rezim yang berdiri sendiri-sendiri tanpa kaitan satu sama lain.
Dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan, pengaturan pemerintahan daerah yang berbeda selain disebut dengan asymmetrical decentralization. Juga dikenal dengan asymmetrical devolution, asymmetrical federalis atau secara umum asymmetrical intergovernmental arrangements. Beberapa hal yang membuat hadirnya desentralisasi asimetris ini yaitu terkait kapa-sitas pemda, apresiasi terhadap keunikan budaya suatu daerah, faktor sejarah dan keberagaman etnis (Djojosoekarto dkk, 2008).
Perbincangan terhadap desentralisasi asimetris ini semakin hangat dan marak terutama setelah pengalaman menjalankannya di era reformasi ini. Meningkatnya intensitas pembicaran tersebut salah satunya karena muncul wacana bahwa desentralisasi asimetris–berdasar pengamatan atas pengalaman pelaksanaannya–justru dapat mengancam integrasi bangsa dan mengarah pada arah federalisme yang selama puluhan tahun sebelumnya dianggap “haram” untuk didiskusikan.
Proses demokratisasi yang diusahakan sejak 1998 memang benar kembali membangkitkan sifat-sifat kedaerahan. Tapi itu hanya karena daerah-daerah merasa dilahirkan kembali setelah puluhan tahun mati suri berada di bawah cengkeraman rezim yang sentralistik. Sehingga, daerah merasa menemukan ruang yang luas untuk bereskpresi, mengeksplorasi dan mengembangkan budaya daerah agar tetap eksis di era globalisasi ini.