Â
C. Â Mitos Mengancam Kesatuan
Â
Ide federalisme kembali muncul pada tahun 1998 ketika reformasi bergulir. Wacana perubahan menjadi sebuah negara federasi begitu derasnya saat itu untuk merespons bentuk negara kesatuan–tepatnya rezim otoriter– yang puluhan tahun telah mengekang kebebasan warga negara dan menyeragamkan semuanya.
Otonomi daerah dan desentralisasi yang diikuti oleh desentralisasi asimetris dianggap belum cukup untuk menjawab keinginan perubahan tersebut. Terlebih, kebijakan desentralisasi (asimetris) malah menampak-kan gejala fragmentasi antardaerah yang tajam dengan rasa bangga yang berlebihan pada suku, agama, ras dan kelompok sendiri.
Â
Isu disintegrasi pun menyeruak, seakan-akan kebijakan desentralisasi asimetris sebagai bentuk implementasi sesanti Bhinneka Tunggal Ika justru mengancam kesatuan nasional. Tentu saja, aspek politis lagi-lagi mendominasi perdebatan wacana ini. Meskipun tidak bisa dimungkiri perdebatan wacana ini secara ilmiah juga berlangsung cukup keras.
Â
Penelitian Syaukani dkk (2003) setidaknya dapat menjadi jawaban atas kegalauan di atas. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena otonomi daerah dan desentralisasi secara umum memiliki beberapa fungsi yang menunjang kelangsungan persatuan dan kesatuan nasional. Setidaknya ada empat fungsi yang dapat menjadi penunjang tersebut yaitu fungsi pendidikan politik, pemberian kembali hak-hak politik warga masyarakat di daerah, membangun demokrasi dari bawah dan fungsi percepatan pem-bangunan.
Â
Fungsi-fungsi ini justru mengarah pada kekuatan integrasi nasional sepanjang dilakukan dengan tepat dan benar disertai dengan komitmen yang tinggi. Dengan desentralisasi maka akan tercipta mekanisme bahwa daerah dapat mewujudkan sejumlah fungsi politik terhadap pemerintahan nasional dan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil. Sehingga, daerah akan memiliki kepercayaan akhirnya akan tetap berintegrasi ke dalam pe-merintahan nasional.