Mohon tunggu...
Angel Graceline
Angel Graceline Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pelajar dengan minat tulisnya.

Pelajar SMA Kelas XII Jurusan IPS Sekolah Dian Harapan, Lippo Cikarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendekar Tanah Airku

12 Mei 2020   09:13 Diperbarui: 12 Mei 2020   09:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: instagram ykhaamelz

"Kaia, kopimu tumpah kemana-mana!"

"Astaga! Maaf, aku tidak sadar."

"Mengapa kamu melamun terus dari tadi pagi? Tidak biasanya kamu seperti itu."

"Tidak apa-apa, Kak Latief. Pikiranku hanya sedikit penuh, itu saja."

"Baiklah, mari berangkat ke base camp. Aku dengar ada pembobolan tembok di SEKTOR 4."

Namaku Kaia Prisa, salah satu anggota dari Pendekar Lima Bumi. Saat ini negeriku sudah tidak seindah dahulu kala. Aku lahir di tahun 2003, era paling menyedihkan untuk tanah airku. Mungkin saat ini kalian bertanya-tanya, apa itu Pendekar Lima Bumi? Pendekar Lima Bumi adalah perkumpulan para pendekar tanah air yang memiliki visi dan misi yang sama, yaitu menjaga Indonesia yang sudah tidak seaman dulu. Beberapa dari kami berbeda dari yang lain. Mungkin bisa dibilang memiliki kekuatan di luar nalar manusia. Kami, manusia dengan kekuatan diluar nalar manusia, disebut sebagai panglima.

Kenapa namanya Pendekar Lima Bumi? Aku tau kalian akan menanyakan itu. Di duniaku, Indonesia telah dibagi menjadi 5 bagian pada tahun 2007. Setiap bagian akan dikelilingi tembok pagar tinggi yang tidak dapat dilewati siapapun. Namun, kelima bagian menyetujui pembentukan Pendekar Lima Bumi yang beranggotakan 10 pendekar terpilih dari berbagai wilayah. Hanya kami ber-sepuluh yang diperbolehkan keluar dan masuk dari kelima bagian.

5 wilayah? Iya, 5 wilayah. Di duniaku, Indonesia memiliki 5 wilayah berbeda dengan pemimpin yang berbeda. 

Sumatra, atau bisa disebut SEKTOR 1. Sumatra berbeda dengan lainnya, sektor ini terkenal sangat kuat. Pagar pembatasnya terbuat dari Tungsten, salah satu besi terkuat di bumi. Dipimpin oleh Jenderal Besar Bimasena, pemimpin gagah yang tidak kenal takut. Tidak banyak diketahui mengenai sektor ini. Yang pasti, wilayahnya begitu kuat dan dipenuhi panglima yang berani. Teman-temanku, Mahawira dan Mahesa  adalah representatif Sumatra untuk Pendekar Lima Bumi. Mereka tidak memiliki kekuatan spesial diluar nalar manusia, namun kemampuan bela diri dan keberanian mereka lebih besar dari siapapun.

Kalimantan, SEKTOR 2. Wilayah ini adalah rumahku. Dikelilingi oleh pepohonan lebat yang kami gunakan sebagai pagar, hewan-hewan liar adalah teman-teman pertamaku. Kami mencintai alam dan memercayai bahwa alam wajib dilestarikan. Wilayah ini dipimpin oleh Wasa Karunanidi, pemimpin tanpa pangkat satu-satunya dari kelima bagian. Temanku Arya, adalah salah satu anggota Pendekar Lima Bumi asal Kalimantan selain diriku. Kekuatannya adalah Bumi, dimana ia bisa menumbuhkan tanaman dengan sangat cepat dan menggetarkan tanah yang kita pijak. Sedangkan aku? Kekuatanku adalah memanipulasi angin. 

Indonesia Timur (Sulawesi dan Maluku), SEKTOR 3. Aku sangat senang membantu di sektor ini dikarenakan wilayahnya yang begitu indah dan dipenuhi laut yang jernih. Sektor ini dipimpin oleh salah satu sahabatku, Laksamana Jendral Latief Tanwira. Salah satu anggota Pendekar Lima Bumi. Mungkin beberapa orang akan menganggap ia menakutkan dan tegas, tapi setelah berteman dengannya, kamu akan tersadar bagaimana Latief adalah salah satu teman terhebat yang pernah kalian miliki. Mungkin kalian sudah bisa tebak, kekuatannya adalah air. Tak lupa Nami, representatif Indonesia Timur untuk Pendekar Lima Bumi Lainnya. Berbeda dengan Latief yang dapat mengontrol air, Nami dapat berkomunikasi dan masuk ke dalam pikiran sesama manusia. 

Indonesia Selatan (Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara), dikenal sebagai SEKTOR 4. Sektor terpadat dari kelima bagian. Dengan dipenuhi gedung-gedung tinggi dan pembangunan futuristik, wilayah ini lebih maju dari yang lain. Tembok pagar Indonesia Selatan terbuat dari perkembangan arus listrik berkekuatan tinggi. Tidak diperlukan besi maupun materi padat, SEKTOR 4 mengamankan wilayahnya dengan kekuatan ilmu. Ganeeta Hiroki, pemimpin SEKTOR 4 yang adalah satu satu anggota Pendekar Lima Bumi dan sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Kekuatannya? Kepintaran. Tidak ada satupun yang lebih pintar darinya di negeri ini. Ganeeta memiliki seorang adik laki-laki yang juga seorang anggota Pendekar Lima Bumi. Ia bernama Manendra Hiroki yang menguasai dunia sains dan mesin.

Terakhir, SEKTOR 5, Papua. Sektor terkaya dari kelima bagian. Tembok pelindungnya terbuat dari tembaga yang dibaluti emas dan berlian. Papua dipimpin oleh 2 pemimpin kuat, yaitu Nakula Sadewa dan Tanaka Sadewa.  Mereka adalah saudara kembar yang begitu bijaksana dan bermoral tinggi. Seluruh pertambangan Papua dikelola dengan baik sehingga membuahkan hasil untuk wilayah ini. Nakula dan Tanaka memiliki kekuatan di luar nalar manusia, yaitu manipulasi waktu. Mereka berdua adalah representatif Papua untuk Pendekar Lima Bumi.

Base Camp, Kepulauan Natuna, SEKTOR 1.

Pukul 21.05, 15 Agustus 2020.

"Jadi bagaimana wilayahmu bisa dibobol, ta?", tanya Latief.

"Itu masalahnya, aku dan Manendra belum dapat menemukan jejak pembobolnya. Ini sangat aneh.", jawab Ganeeta.

"Astaga, jika kamu dan Manendra saja kebingungan, berarti masalah ini sangat serius!", ujar Nakula dengan panik.

"Tadi Kak Ganeeta menyuruhku untuk mengecek setiap kamera pengawas di tembok pembatas. Ini hasilnya, coba kalian lihat.", potong Manendra dengan cepat.

"Hah?! Cahaya apa itu? Kenapa dia bisa muncul secara tiba-tiba setelah cahaya itu bersinar?", tanya Tanaka sambil menunjuk ke arah layar.

"Betul kan? Berarti bukan aku yang gila. Ini sangat aneh!", ujar Manendra.

"Apakah dia salah seorang panglima? Dengan kekuatan seperti itu, sudah pasti dia seorang panglima!", ujarku dengan pasti.

"Bagaimana menurutmu, Mahes? Apakah mungkin dia seorang panglima dari Sumatra?", tanya Ganeeta.

"Tidak mungkin, setelah menguji seluruh panglima di Sumatra, tidak ada yang berkekuatan seperti itu. Betulkan, Wir?", jawab Mahesa.

"Aku tidak yakin. Mungkin saja dia panglima yang melarikan diri? Coba scan wajahnya dari hasil video kamera pengawas.", saran Mahawira.

"Jangan terkejut. Coba kalian lihat hasil yang aku dapatkan.", jawab Manendra.

"TIDAK DIKETAHUI?!", celetuk Nami dengan terkejut.

Setelah mengetahui hasil pemindaian, kami hanya bisa berdiam diri di ruangan  base camp. Apakah ini yang membuatku begitu resah tadi pagi? Aku sudah yakin akan terjadi sesuatu hari ini. 

"Baiklah, mari kita kembali ke sektor masing-masing. Besok kita cari solusinya.", ujar Ganeeta.

"Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok.", jawabku sambil meninggalkan ruangan.

Pontianak, Kalimantan, SEKTOR 2.

00.30, 16 Agustus 2020.

Aku kembali membolak-balikkan tubuhku. Setelah memejamkan mata begitu lama, aku masih belum bisa tertidur. Aku terus-menerus memikirkan lelaki pembobol tembok SEKTOR 4. Tak lama setelah aku mencoba menerka pelaku di balik pembobolan tembok, aku mendengar suara dentuman keras dari luar kamar.

"Astaga, suara apa itu?!", ucapku sambil berjalan keluar dari kamar.

Aku memijakkan kaki secara perlahan. Jantungku berdegup begitu kencang. Siapa yang datang kerumahku tengah malam seperti ini? Aku menyadari lampu dapurku yang mengedip. Ini sangat aneh. Setelah berdiam cukup lama, aku merasakan tepukan kecil di pundakku. Secara spontan, aku melawan dan memutar tangan pelaku itu hingga ia merintih kesakitan.

"Ampun, ampun, tolong lepaskan tanganku! Aku hanya ingin meminta bantuan!"

"Siapa kamu! Jangan macam-macam!", ujarku sedikit berteriak.

"Namaku Daan Mogot, dan aku membutuhkan bantuan kalian!", jawabnya sambil menahan sakit.

"Bantuan? Apa yang kamu bicarakan?", tanyaku.

"Mungkin ini akan terdengar gila, tetapi aku berasal dari tahun 1945. Aku butuh bantuan kalian untuk melindungi Indonesia dari tangan Jepang!", ujarnya dengan cepat.

"Jangan main-main! Omong kosong apa yang kamu bicarakan?", tanyaku dengan kesal.

"Aku serius! Bawa aku ke pertemuanmu hari ini dan akan kujelaskan semuanya.", jelasnya dengan hati-hati.

"Awas kalau semua ini ternyata hanya permainanmu!", ujarku dengan marah.

Base Camp, Kepulauan Natuna, SEKTOR 1.

Pukul 10.12, 16 Agustus 2020.

"Dimana Kaia? Tidak seperti biasanya dia telat.", ucap Arya dengan bingung.

"Kamu tidak berangkat dengannya, Ar?", ujar Latief.

"Tidak, tadi Kaia bilang dia akan berangkat sendiri.", jawab Arya.

"Baiklah, coba kamu cari di-" 

"Tenang, tenang! Aku disini.", ujarku sambil berjalan memasuki ruangan.

"Siapa itu bersamamu?", tanya Ganeeta.

"Perkenalkan, dia pembobol SEKTOR 4 yang kita cemaskan kemarin.", jawabku dengan santai.

Raut wajah teman-temanku terlihat terkejut. Aku pun awalnya sangat terkejut ketika Daan menjelaskan bagaimana ia bisa sampai ke negeriku. Memang awalnya terdengar seperti gurauan belaka, tapi kini aku yakin dia tidak main-main.

"Teman-teman, Daan ingin menjelaskan semuanya kepada kalian.", ujarku.

"Halo semuanya, namaku Daan Mogot. Mungkin kalian pernah mendengar namaku. Aku butuh bantuan kalian untuk melawan Jepang.", ujar Daan dengan ragu.

"Bantuan? Begini, daripada langsung meminta bantuan, lebih baik jika kamu menjelaskan semuanya dari awal. Aku yakin itu akan membuat kami semua lebih tenang.", celetuk Tanaka.

"Baiklah, seperti yang aku sampaikan ke Kaia, mungkin ini terdengar gila. Tapi, aku berasal dari tahun 1945. Kami sedang kesulitan melawan Jepang, hingga tiba-tiba aku menemukan 3  permata yang dapat mengantarku kemana pun aku inginkan tanpa batas waktu ataupun wilayah.", Jelas Daan Mogot.

"2 permata?", tanya Nami.

"Ketika aku sedang melucuti senjata Jepang, aku menemukan 2 permata tersembunyi di pinggir ruangan. Aku kira permata-permata itu hanyalah permata biasa, tapi aku salah. Aku menginjak salah satu permata hingga hancur, dan kini aku bersama kalian.", ujar Daan Mogot.

"Lalu, mengapa kamu memutuskan untuk datang ke tahun ini?", tanya Tanaka dengan heran.

 "Aku menggunakan permata pertama tanpa menentukan tempat ataupun waktu yang aku inginkan. Akibatnya, aku dikirim kesini. Aku pun tidak tahu mengapa ke tempat ini dan di tahun ini. Yang jelas, aku butuh bantuan kalian. Kata orang-orang yang aku temui, kalian penjaga di daerah ini.", ucap Daan dengan memohon.

Aku dan anggota Pendekar Lima Bumi lainnya merembukkan situasi yang terjadi sekarang. Apakah kita harus membantu Daan melawan Jepang? Misi ini akan mempertaruhkan nyawa seluruh anggota. Namun, melihat ucapan Daan yang begitu ikhlas, hatiku akan teriris apabila kami akhirnya memutusnya untuk tidak membantunya. 

1 jam berlalu, kami pun akhirnya telah memutuskan keputusan akhir untuk Daan. Semoga ini yang terbaik untuknya.

"Daan..", ujar Ganeeta dengan memelas.

"Apakah kalian sudah memutuskan?", tanya Daan dengan gugup.

"Kami akan membantumu. Tapi, bagaimana caranya agar kami bisa kembali ke tahun 1945?", tanya Ganeeta.

"Sebentar, aku yakin ada satu permata lagi dikantungku....ASTAGA!", ujar Daan dengan kaget.

"Kenapa?", tanya Mahesa.

"Aku baru ingat, permata terakhirku sudah kupakai untuk berpindah dari Jakarta ke Kalimantan! Astaga, bagaimana ini?! Tadi aku hanya menginjak permata kedua dan meminta untuk diantarkan ke orang yang dapat membantuku karena aku putus asa. Yaampun, apakah artinya aku tidak bisa pulang...? Kalian juga akhirnya tidak bisa membantuku... SEMUA INI SALAHKUU!", ujar Daan Mogot dengan panik.

"Tenang-tenang, aku yakin ada solusinya.", ucap Manendra.

"Oh! Bagaimana jika Tanaka dan Nakula mengirim kita kesana? Apakah kalian sanggup?", tanyaku dengan girang.

"Um, kami sudah biasa mengirim manusia dalam kurun jam ataupun hari. Paling lama pun beberapa minggu, yang kamu bicarakan ini berpuluh-puluh tahun!", jelas Tanaka.

"Aku yakin kalian akan lebih kuat jika bekerja berdua, yakan? Kalian lebih kuat dari yang kalian kira, pasti bisa!", ujarku dengan pasti.

"Baiklah, tapi sangat tidak mungkin kami mengirim 11 orang ke tahun itu. Kami hanya bisa mengirim Daan dan salah satu dari kita.", jelas Nakula.

"Aku saja! Aku kuat dan siap untuk peperangan, pasti bisa melawan Jepang.", ujar Mahawira.

"Ini bukan hanya mengenai kekuatan. Untuk melawan Jepang, kalian membutuhkan hati yang kuat, fisik yang tak kalah kuat, jiwa yang berani, dan pribadi yang tulus.", jelas Daan.

"Siapa menurutmu yang harus pergi, Kak?", tanya Manendra

"Ketika Daan menginjak permata terakhir dan meminta untuk membawanya ke orang yang dapat membantu dia, permata tersebut mengirim Daan ke Kaia. Menurutku Kaia yang harus pergi.", ucap Ganeeta dengan bijak.

"Aku setuju dengan Ganeeta. Mungkin permata itu mencoba untuk menunjukkan sesuatu.", ujar Nakula dengan pasti.

"Aku? Apakah kamu yakin, Kak Ganeeta?", tanyaku dengan heran.

"Sangat yakin! Yuk kita mulai bersiap. Nanti malam pukul 00.00 Kaia harus berangkat.", ujar Ganeeta dengan semangat.

Base Camp, Kepulauan Natuna, SEKTOR 1.

Pukul 00.00, 17 Agustus 2020.

Jam demi jam kami habiskan untuk mempersiapkan perjalananku dan Daan ke tahun 1945. Aku tidak menyangka aku akan sesemangat ini. Aku penasaran dengan negeriku dahulu kala sebelum semua perpecahan ini. Sebelum waktuku untuk pergi, kami semua berpamitan.

"Jaga diri, Kai! Kamu tidak tahu bakal terjadi apa disana.", ujar Arya dengan khawatir.

"Iya, benar itu. Pikir dulu ya sebelum memutuskan apa pun. Pastikan itu hal yang benar.", tambah Latief.

"Iya, tenang aja. Aku dan Daan akan baik-baik saja.", jawabku dengan yakin.

"Kaia, energi yang kami keluarkan hanya dapat menahanmu dan Daan  selama 72 jam. Lewat dari itu, semakin sulit bagimu untuk kembali kesini. Jika kamu perlu berpindah waktu, carilah tempat sepi dan coba untuk tidur. Tidur dengan memikirkan waktu dan tempat tujuanmu, kamu akan bangun disana. Saat waktunya pulang, kamu juga harus menggunakan cara yang sama. Ingat ini, jam dan menit akan tetap sama walaupun hari tidak. Walaupun hari dan tahun tujuanmu berbeda, waktu dalam jam dan menit akan tetap sama.", jelas Tanaka.

"Oiya, jangan lupa bahwa kamu harus pulang pada tanggal 19 Agustus dan jangan sampai melewati pukul 23.59. Ingat Kaia, 72 jam. Oiya, sekecil apapun perbuatanmu, itu dapat mengubah sejarah. Jika kamu berhasil mengubah sejarah, semua ini akan hilang. Setelah semuanya, hanya kamu yang akan mengingat seluruh proses ini. Berhati-hatilah.", ujar Nakula memastikan.

"Iya, aku mengerti. baiklah aku siap.", ujarku dengan pasti.

"Baiklah, sampai jumpa. Semoga semua berjalan lancar.", ucap Tanaka.

Aku dan Daan berdiri di tengah ruangan dengan gugup. Nakula dan Tanaka mencoba untuk membuat portal sambil mencari titik fokus mereka bersama. Setelah terbuka, aku melihat kursi usang dan beberapa tumpukan kertas di ujung portal. Daan pun menarik tanganku dan mengajakku masuk. Dengan sedikit gugup, aku menginjakkan kaki di tahun 1945. Dalam hitungan detik, portal pun tertutup dan aku benar-benar sampai.

Jakarta, Indonesia.

00.05, 17 Agustus 1945.

"Dimana kita?", tanyaku kepada Daan.

"Kita berada di Markas Besar PETA. Tempat aku bekerja.", ujar Daan menjelaskan.

"PETA? Astaga sudah lama sekali aku tidak mendengar kata itu.", ujarku tanpa sadar.

"Memang kamu tidak belajar sejarah? Hahaha.", canda Daan.

"Kita sudah tidak belajar sejarah mengenai Belanda, Jepang, dan sebagainya sejak tahun 2007. Kita hanya mempelajari sejarah saat dan setelah tahun itu. Aku mengetahui kata itu pun karena aku belajar secara diam-diam di perpustakaan keluargaku.", ujarku menjelaskan.

"Apa yang terjadi di Indonesia?", tanya Daan dengan lesu.

"Sudah, sudah. Waktu kita tidak banyak, lebih baik kita fokus ke misi ini dahulu.", ujarku sambil berjalan keluar.

"Hei, Kaia! Sebentar dulu, tadi aku meminta Nakula dan Tanaka untuk mengirim kita kesini karena semua perlengkapan untuk melawan Jepang ada disini. Ayo, kita ambil beberapa senjata.", ujar Daan dengan sedikit membisik.

Aku dan Daan pun mengambil beberapa perlengkapan dan berjalan keluar dari markas. Saat tengah malam, jalanan di Jakarta akan semakin berbahaya. Daan memperingatkanku untuk berhati-hati terhadap setiap prajurit Jepang yang kami lihat. Kami berjalan menyusuri jalanan yang gelap. Aku mengikuti Daan tanpa mengetahui tujuan kami.

"Pasti Soekarno dan Hatta sudah sampai Jakarta. Semoga mereka selamat. Hari ini mereka berencana memproklamirkan Indonesia pukul 12.00 siang nanti. Keadaan disini semakin ricuh, Kai.", jelas Daan sambil berjalan.

"Ah iya, Peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus 1945! Aku membaca mengenai peristiwa itu di buku sejarah. Semua akan berjalan lancar kok.", ujarku sambil tersenyum.

"Sebelum kita melindungi Soekarno dan lainnya pukul 12.00 nanti, bantu aku membebaskan temanku di suatu tempat.", ujar Daan sambil menatapku dengan gugup.

"Membebaskan?", tanyaku dengan bingung.

" Tapi sebelum itu, ganti pakaianmu dengan ini.  Di sebelah kananmu ada lorong buntu, kamu bisa berganti disana. Aku akan menutupimu, tenang saja.", ujar Daan sambil menyodorkan beberapa pakaian.

"Tapi, ini kan pakaian laki-laki?", tanyaku sambil berjalan ke belakang lorong.

"Aku akan menjelaskannya nanti. Cepat, waktu kita tidak banyak.", ucap Daan dengan cepat.

"Baiklah, jangan mengintip!", ujarku dengan berteriak kecil.

"Aku akan usahakan.", ujar Daan dengan bercanda.

Aku mengganti bajuku dan memasukkan rambutku ke dalam topi yang diberikan Daan. Mengapa dia menyuruhku berpenampilan sebagai laki-laki? Setelah berganti, aku menepuk kecil pundak Daan dan mengajaknya berjalan menuju tempat yang ia maksud.

"Kamu benar-benar terlihat seperti laki-laki. Hahaha.", canda Daan.

"Diam kamu. Kita mau kemana memangnya?", ucapku dengan sedikit kesal.

"Lihat di depanmu. Kamu lihat tempat itu?", tanya Daan sambil menunjuk ke sebuah rumah.

"Iya, temanmu di sekap disana?", tanyaku sambil berjalan mendekati rumah itu.

"Astaga, Kaia! Kamu benar-benar tidak ada rasa takut. Kamu tidak bisa langsung mengetuk pintu rumah itu dan membebaskan temanku.", jelas Daan sambil memberhentikanku.

"Kita bisa masuk dan melawan mereka kan? Apa kamu takut? Hahaha.", candaku sambil menyenggol tangan Daan.

"Aish, bukan itu. Lebih baik jika kita tidak menimbulkan kerusuhan, ini tengah malam!", jelas Daan sambil menepuk jidatnya.

"Baiklah, baiklah. Kita harus lewat mana?", tanyaku kepada Daan.

"Ayo, kita masuk lewat pintu belakang. Aku sudah meminta temanku untuk diam-diam melepas kunci pintu belakang setiap harinya di minggu ini.", ujar Daan sambil berjalan.

"Kami berjalan dengan hati-hati menuju belakang rumah tersebut. Setelah sampai, Daan membobol masuk pagar yang melingkari rumah. Dari luar, aku melihat beberapa perempuan cantik yang mengintip dari jendela. Tanpa aku hiraukan, aku lanjut berjalan dan mencoba masuk ke dalam rumah itu. Di dalam, aku melihat beberapa prajurit Jepang yang tertidur lelap . Wangi alkohol yang aku hirup menusuk dengan tajam. Saat itu, aku pun tersadar.

"Daan, jangan bilang....", ucapku dengan ragu-ragu.

"Iya, ini rumah penampungan jugun ianfu. Disini, temanku di sekap dan di paksa melayani prajurit Jepang. Kita harus cepat, tidak biasanya tempat ini sekosong ini. Pasti karena berita kekalahan Jepang, seluruh prajurit sedang sibuk.", jelas Daan dengan berbisik.

Ucapan Daan menjelaskan siapa perempuan-perempuan cantik yang tadi aku lihat di luar. Kami pun perlahan-lahan membuka kamar demi kamar di rumah itu. Daan menyuruh seluruh perempuan untuk keluar  dengan diam dan tidak bersuara. Aku menyadari bagaimana Daan mencoba mencari seseorang setiap kali dia memasuki kamar-kamar.

"Kamu mencari temanmu? Seperti apa wajahnya, aku ingin membantu.", ucapku kepada Daan.

"Iya, namanya Ayu Diah. Rambutnya hitam panjang, dan dia memiliki bekas luka di jidatnya.", ujar Daan.

"Aku tidak melihat satu pun perempuan dengan luka di jidatnya. Semua pintu sudah di buka?", tanyaku memastikan.

"Iya, aku sudah membuka semua pintu. Dimana dia..?", ucap Daan dengan gugup.

Aku berjalan menyusuri lorong dan menydari satu pintu yang tidak terlihat. Tidak ada gagang dan warnanya di cat sama seperti tembok disampingnya. Namun, aku melihat lubang kunci di bagian kiri pintu. Aku menyadari terdapat suara perempuan dari dalam kamar, aku pun memanggil Daan dengan melambaikan tanganku.

"Daan, coba kamu bobol kamar ini. Kamu pandai membobol kunci kan?", ujarku sambil menunjuk lubang kunci.

"Tentu. Aku butuh 2 menit.", jelas Daan sambil melihat ke arah lubang.

Daan masih mencoba untuk membobol masuk ruangan itu. Aku pun mengumpulkan seluruh perempuan ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar, aku menyuruh mereka untuk mengganti pakaian menggunakan baju laki-laki. Aku pun tak lupa untuk menanyakan mengenai kegunaan ruangan yang aku temukan.

"Agar kalian lebih aman saat keluar rumah nanti, gantilah pakaian kalian dengan ini.", ujarku sambil menyodorkan beberapa tumpukan pakaian usang.

"Oiya, kenapa ruangan di ujung lorong seakan-akan disembunyikan?", tanyaku kepada seorang perempuan.

"Ruangan itu ruangan khusus dan tidak semua prajurit dapat menggunakannya. Ruangan itu adalah kamar paling kedap suara disini dan yang dapat menggunakannya hanya beberapa prajurit yang memiliki pencapaian tinggi. Kak Diah sedang berada di dalam kamar itu sekarang, dia di paksa melayani padahal hari ini adalah hari kosongnya.", jelas perempuan itu.

"Baiklah, terima kasih. Jangan ada yang keluar sebelum aku dan Daan datang, ya. Kami akan mencoba mengeluarkan Diah dari kamar itu.", ujarku sambil tersenyum.

Aku berjalan ke arah Daan yang terlihat baru saja berhasil membuka pintu. Aku mensinyalkan Daan untuk berdiri dengan pelan-pelan. Setelah melihat Daan mengacungkan jempolnya, aku pun kembali ke kamar tempat para perempuan berkumpul.

"Ternyata Daan sudah berhasil membuka kunci. Ayo, ikuti aku pelan-pelan dan jangan bersuara.", ucapku sambil berjalan keluar menuju pintu belakang.

Perempuan-perempuan yang berhasil kami selamatkan mengikutiku dari belakang. Aku mengarahkan pandanganku ke tempat aku melihat beberapa prajurit tertidur. Setelah memastikan keadaan sudah aman, aku menggiring mereka keluar dari rumah tersebut. 

"Baiklah, cepat kalian bersembunyi di balik pepohonan lebat disana. Aku dan Daan akan segera kembali.", ucapku memastikan.

Aku kembali masuk ke dalam rumah dan memberikan sinyal kepada Daan bahwa semuanya aman. Tanpa basa-basi, Daan membuka pintu kamar dan segara  membungkam mulut prajurit yang berada di dalam dengan kain. Aku menarik Diah dan berlari keluar dari ruangan itu. Kegaduhan mulai tercipta dan prajurit di depan pun mulai terbangun.

"Daan, cepat lepaskan prajurit itu dan keluar dari rumah ini! Dia mabuk berat pasti semakin sulit untuk mengejar kami!", ujarku dengan sedikit berteriak.

"Baiklah, kamu keluar duluan!", ujar Daan sambil memukul kepala prajurit tersebut dengan senapan.

"Cepat, Daan! Prajurit di depan sudah terbangun!", ujarku memperingatkan.

Aku, Daan, Diah, dan perempuan-perempuan lainnya berhasil keluar dari rumah tersebut. Kami terus berlari tanpa tujuan yang pasti. Aku yang mulai khawatir pun memastikan tujuan kami kepada Daan.

"Daan! Kemana tujuan kita?!", tanyaku sambil berlari cepat.

"Beberapa blok lagi akan terlihat rumah berwarna coklat yang besar! Di belakang rumah itu terdapat rumah kecil berwarna putih. Rumah persinggahan PETA, itu tujuan kita! Astaga, terlalu banyak prajurit!", ujar Daan sambil menembakan senapannya kepada beberapa prajurit. 

"Daan, lebih baik kamu tuntun perempuan-perempuan ini kesana dan aku akan mengecoh para prajurit!", ujarku sambil mencoba membuat angin di sekitar prajurit terhembus keras.

"Baiklah, aku percaya kepadamu, Kaia!", ucap Daan sambil berlari menjauh.

"Nē, ianfu wa dasshutsu shite iru! (Hei, para jugun ianfu kabur!)", ujar salah seorang prajurit yang berlari mengejar kami.

"Sorera o kyatchi! (Tangkap mereka!)", tambah prajurit tersebut.

Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan seluruh tenagaku. Angin disekitarku mulai berguncang dan berhembus begitu keras. Pohon dan mobil disekitarku mulai berterbangan. Aku mengarahkan seluruh benda-benda asing ke arah prajurit Jepang. Setelah kondisi cukup aman, aku berlari dengan cepat menuju rumah yang disebutkan oleh Daan.

Setelah berlari cukup lama, aku melihat sebuah rumah coklat besar. Aku pun langsung berlari ke arah belakang rumah tersebut dan melihat Daan bersama perempuan-perempuan yang telah kami selamatkan.

"Kaia! Kamu tidak apa-apa?", tanya Daan dengan khawatir.

"Aku ti-tidak apa-apa...", ujarku terbata-tabata karena kelelahan.

"Baiklah, mari kita semua masuk ke dalam rumah.", ucap Daan dengan tenang

Kami menyelamatkan dengan total 12 jugun ianfu yang melayani di rumah itu. Hari sudah mulai pagi, aku duduk termenung di teras sambil memandangi matahari yang baru saja terbangun. Pikiranku dipenuhi dengan kecemasan yang meruak.

"Kai?", panggil Daan.

"Kenapa, ada suatu masalah? Astaga, kita kan harus berangkat menjaga wilayah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan! Maaf, aku lupa.", ujarku sambil mencoba untuk berdiri.

"Bukan, bukan itu. Aku hanya ingin berterima kasih sudah membantuku. Diah dan perempuan-perempuan ini adalah jugun ianfu dari rumah terakhir. Aku sudah berhasil membobol dan membebaskan perempuan lainnya di daerah ini. Diah adalah sahabat kecilku dari Manado. Ia diiming-imingi akan menjadi suster di Jakarta, impian masa kecilnya. Ternyata semua itu kebohongan.", jelas Daan sambil menarik tanganku untuk kembali duduk.

"Tidak masalah, Daan. Aku senang dapat membantu. Tapi, kenapa wajahmu murung?", tanyaku kepadanya.

"Aku tidak mengerti mengapa pemimpin-pemimpin dimasamu begitu bodoh dan membiarkan Indonesia terpecah belah. Jika tahu semua itu akan terjadi, aku tidak akan memperjuangan kemerdekaan ini dengan begitu keras.", ujar Daan dengan lesu.

"Aku memperjuangkan tanah ini dengan darah dan keringatku. Mengapa semuanya harus hilang di masa depan?", tambah Daan dengan sedikit terisak.

"Daan, biarkan aku menjelaskan sejarah Indonesia di tahun 2005.", ujarku sambil menggenggam erat tangan Daan.

"Baiklah, aku mendengarkan.", ucap Daan sambil memandangku dengan dalam.

"Jadi, aku lahir di tahun 2003, di tahun itu seorang Jenderal Besar bernama Bimasena mulai memimpin dan berkuasa. Dia mencintai bangsanya, tetapi dia membenci Belanda, Jepang, Amerika, dan seluruh negara lainnya. Katanya, negara-negara tersebut hanya akan mempergunakan kekayaan Indonesia dan kita akan kembali ke zaman penjajahan. Maka, dia memerintah seluruh bawahannya untuk membangun tembok dan melarang setiap orang keluar maupun masuk. Semua ini dilandaskan keegoisannya.", ujarku menjelaskan.

"Bagaimana bisa orang seperti itu memimpin Indonesia! Dia mengubah Indonesia menjadi negara otoriter!", ujar Daan dengan kesal.

"Awalnya, semua berjalan dengan lancar sesuai rencana Bimasena. Namun, konflik mulai terjadi di tanah air. Bimasena melaksanakan percobaan terhadap 10 balita dari berbagai wilayah di Indonesia. Aku salah satu hasil dari percobaannya. Keluarga kami bersepuluh diiming-imingi edukasi gratis dan kehidupan yang layak. Akhirnya, mereka mendapatkan kami bersepuluh, Pendekar Lima Bumi.", ujarku dengan sedih.

"Percobaan apa maksudmu?", tanya Daan dengan bingung.

"Dasar kamu Daan, apa kamu pikir aku dan teman-temanku lahir dengan kekuatan seperti ini? Hahaha.", ujarku dengan sedikit tertawa.

"Saat kami dikirim ke Natuna untuk dilakukan percobaan, kami berusia 2 sampai 5 tahun. Aku tidak ingat apa saja yang mereka lakukan kepadaku, tetapi kabar sudah semakin meluas, hingga percobaan ini diketahui seluruh masyarakat. Ia dikecam, di sebut tidak manusiawi, dan lain-lain. Beberapa wilayah di Indonesia juga memberontak dan mengancam untuk memisahkan diri jika ia tidak mengembalikan kami.", tambahku.

"Lalu, mengapa dia masih dapat berkuasa disana? Mengapa dia tidak mengembalikan kalian saja?", tanya Daan kepadaku.

"Pengikut dia sangat banyak, Daan. Jadi, tentu saja Bimasena tidak mengembalikan kami tetapi dia membuktikan bahwa percobaannya berhasil. Saat umurku 4 tahun, aku sudah mulai berlatih untuk melindungi negaraku. Beberapa wilayah Indonesia yang menentang Bimasena pun mengakui keberhasilannya. Namun, mereka ingin membangun tembok wilayahmereka masing-masing dan terpisah dari kekuasaan BImasena", ujarku menjelaskan.

"Apakah kamu sadar bahwa menyimpan dendam dan amarah terhadap masa lalu adalah perbuatan yang sia-sia? Tidak ada gunanya, Kai. Kamu harus mengerti bagaimana hidup dalam perdamaian akan lebih tentram. Dimasamu, Indonesia sudah diproklamirkan. Yang harus kalian lakukan hanyalah mempertahankannya dengan persatuan.", ujar Daan.

"Tetapi semua sudah terlambat, Daan.", ucapku dengan lesu.

"Tidak. Kamu masih dapat memperbaikinya dengan berpindah waktu. Kamu dapat mengubah sejarah dengan semangat perdamaian dan kesatuanmu.", ujar Daan menyemangatiku.

"Kamu pintar juga! Baiklah, aku akan memikirkannya setelah proklamasi selesai.", ujarku kepada Daan.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi menjelang siang di Jakarta. Aku dan Daan meninggalkan para jugun ianfu dan bergegas ke Jalan Pegangsaan Timur No. 1, Jakarta. Kami berjalan menyusuri jalanan dengan cepat dan hati-hati. Seluruh tentara Jepang yang melihat kami, terlihat sangat sinis dan mengancam. Beberapa blok dari rumah Soekarno, Daan menahan tanganku.

"Disini saja. Kita pantau dari luar.", ujar Daan.

"Kalian selalu bekerja di bawah terik matahari seperti ini? Berjam-jam?", tanyaku dengan bingung.

"Tentu saja. Apa pun akan kami lakukan demi tanah ini.", ujarnya sambil tersenyum.

"Astaga, aku tidak menyadari bagaimana ketulusan perjuangan kalian semua. Aku berjanji akan membebaskankan Indonesia dari kebencian dan dendam!", ujarku sambil mengacungkan jariku ke langit.

"Sejak kapan kamu menjadi begitu lucu? Hahaha.", ujarnya sambil mencubit kedua pipiku.

Waktu terus berjalan dan proklamasi pun berhasil dibacakan. Berita sudah mulai disebarkan ke seluruh Indonesia. Dengan tubuh dipenuhi keringat, aku dan Daan kembali ke rumah persinggahan. Aku membersihkan tubuhku dan beristirahat sejenak.

"Daan?", ucapku memanggil.

"Mengapa?", tanya Daan sambil mengganti bajunya.

"Mengapa kamu tidak membenci negara lain yang telah menjajah kami?", tanyaku dengan penasaran.

"Baiklah. Sebenarnya jika kamu pikir-pikir, negara-negara penjajah itu telah mengajarkan banyak hal kepada kami. Daripada menyimpan dendam dan kedengkian, lebih baik kita menanamkan perdamaian dan hidup tanpa cemas. Bersyukur tidak sulit kan? Mereka juga berkontribusi banyak dalam perkembangan negara ini.", ujarnya dengan yakin.

"Bagaimana kamu bisa hidup seperti ini? Apakah kamu selalu sepositif ini?", ujarku dengan sedikit tertawa.

"Kepositifan itu akan membuahkan pembelajaran-pembelajaran besar yang dapat membentuk jati diri kita di masa depan. Hidup semua orang membutuhkan sedikit kepositifan, bukan?", balasnya dengan tersenyum.

"Betul juga kata-katamu.", jawabku dengan setuju.

"Apa rencanamu untuk besok?", tanya Daan.

"Aku akan pergi ke tanggal 07 Juli 2007. Acara 'National Meeting on Inside Borders' dilaksanakan hari itu di Natuna. Hari dimana Pendekar Lima Bumi disahkan, hari dimana negara kita dipecahkan. Kamu mau kan menemaniku mengubah sejarah?", tanyaku kepada Daan dengan semangat.

"Tentu saja. Mari kita beristirahat agar besok berjalan lancar.", ujar Daan sambil berjalan memasuki kamar.

Malam itu, aku diselimuti kegugupan yang menyeruak. Aku takut tindakan aku ini hanya akan mengubah sejarah menjadi lebih buruk. Sebentar lagi aku akan pulang, semua yang aku lakukan harus kupikirkan dengan matang. Setelah merenung cukup lama, aku pun terlelap dan memasuki alam mimpi.

Jakarta, Indonesia.

14.00, 18 Agustus 1945.

Aku terbangun dengan badan yang begitu lelah dan mata yang begitu sayu. Aku tidak pernah merasakan kelelahan sebesar ini. Dengan cepat, aku mengecek jam beker yang terletak di meja sebelah kasurku.

"JAM 2 SIANG?!", ujarku sambil berteriak.

"Astaga, mengapa kamu berteriak? Kupingku sakit!", ucap Daan sambil memasuki kamarku.

"Ha, mengapa kamu sangat rapih?", tanyaku sambil memperhatikan penampilan Daan.

"Tadi pagi aku menghadiri acara pembubaran PETA. Lebih baik kami mengoperasikan organisasi yang didirikan oleh Indonesia.", balas Daan kepadaku.

"Baiklah, aku kira kamu begitu bersemangat untuk berpindah tahun. Oiya, acara akan dimulai pukul 3 sore. Ayo, kita harus bergegas!", ujarku sambil berdiri dari kasur.

"Baiklah, mari kita mengikuti perkataan Nakula; memikirkan tempat dan tanggal tujuan kita dan mencoba untuk terlelap. Ayo, Kai!", ajak Daan dengan semangat.

Aku dan Daan menidurkan badan kami diatas kasur dan mengikuti instruksi Nakula. Aku memejamkan mata dan mulai memikirkan tempat dan tanggal tujuanku. Aku tidak yakin ini berhasil. Here we go, Kepulauan Natuna, 07 Juli 2007.

Kepulauan Natuna, Indonesia.

14.30, 07 Juli 2007.

Tak lama setelah itu, aku pun membuka kedua mataku. Aku melihat pohon-pohon indah di depan mataku. Aku terbangun di sebuah meja kecil taman kota. Acara diadakan di seberang taman ini. Setelah mencoba untuk berdiri, aku pun tersadar bahwa Daan tidak ada. Apakah dia tidak berhasil? Aku begitu khawatir.

"Kaia, taman ini sangat indah!! Hahahahah,", teriak Daan dari ujung taman.

"Astaga Daan, aku kira kamu tidak berhasil kesini!", ujarku dengan khawatir.

"Tentu aku berhasil! Tadi kamu masih terlelap ketika aku tersadar.", jelas Daan kepadaku.

"Baiklah, ayo kita masuk ke gedung di depan taman ini. Acaranya dilaksanakan di dalam sana.", jelasku sambil berlari masuk.

Aku dan Daan berhasil memasuki gedung. Aku pun langsung melihat podium yang tinggi dan kerumunan orang dimana-mana. Aku melihat sebuah jas dan name tag yang tersengger di sebuah kursi. Tanpa pikir panjang, aku mengambil dan mengenakannya. Acara segera dimulai, aku meminta Daan untuk menungguku di sekitar penonton. Aku berlari ke arah podium dan menunggu kedatangan Bimasena. Aku berpura-pura menjadi salah seorang staff dan berdiri di sekitar podium.

Tak perlu waktu lama, Bimasena datang bersama beberapa anak-anak balita. Aku melihat seorang balita kecil dengan dress cantik berwarna putih. Rambut berwarna coklat terurai panjang dari kepalanya. Senyum yang lebar pun tercipta di bibirnya. Dia tidak mengerti bahwa setelah hari ini, hidupnya akan berbeda. Balita itu adalah diriku.

"Selamat sore semua hadirin. Selamat datang di acara 'National Meeting on Inside Borders' . Dimana the truth will be told!", ujar Bimasena dengan lantang.

"Hari ini kita akan melindungi bangsa ini dari kejamnya dunia luar!", tambahnya.

Setelah Bimasena mengucapkan beberapa kalimatnya, aku berusaha untuk membuat angin di sekitar podium berhembus keras. Beberapa kursi dan pamphlet terlihat berterbangan. Aku melihat Bimasena yang kesulitan untuk melanjutkan pidatonya. Beberapa staff mendatangi dan mencoba untuk membawa Bimasena ke ruang tunggu. Ini adalah kesempatanku.

"Para hadirin, dimohon untuk tetap di tempat anda dan jangan panik.", ujarku di depan podium.

"Kalian tidak perlu mengetahui nama saya atau darimana saya berasal. Tetapi, apakah kalian tersadar? Semua perbuatan kalian atas Indonesia hanyalah sebuah tindakan kebencian. Para pejuang bangsa rela bertumpah keringat, tangis, dan bahkan darah agar kita dapat mencintai dan membanggakan persatuan yang mereka perjuangkan. Memang benar bahwa negara tidak secara pasti terbebas dari ancaman internasional. Tetapi, hal yang sepatutnya kita lakukan adalah berdiri bersama dan menjaga tanah ini.", jelasku kepada hadirin.

"Untuk Jenderal Besar Bimasena, aku tahu semua cerita mengenai hidupmu dikarenakan aku dididik olehmu. Aku mengerti bagaimana hampir seluruh keluarga anda di bunuh oleh Jepang dan Belanda guna memperjuangkan tanah ini. Anda melampiaskan kekejian dengan kekejian. Jika keluarga anda begitu berarti, jagalah tanah yang sudah mereka rebut dengan darah mereka. Hari ini, semua keputusan berada di tangan kalian. Untuk mencintai tanah ini dengan perdamaian, atau menghancurkan negeri ini diatas nama perjuangan yang kalian percayai. Terima kasih.", ujarku sambil meninggalkan podium.

Aku menuruni tangga podium dan melirik ke arah diri kecilku yang sedang duduk manis disana. Aku mengedipkan salah satu mataku dan tersenyum lebar. Setelah itu, aku berlari kencang ke arah Daan dan menarik tangannya untuk keluar. Kami berlari ke arah taman dan duduk beristirahat.

"Tadi kamu sangat keren!", puji Daan kepadaku.

"Semoga ucapanku dapat mengubah pikiran mereka. Aku takut semua akan sama saja setelah aku kembali.", ujarku dengan khawatir.

"Tenang saja. Kamu hebat diatas sana, pasti kamu berhasil.", ujar Daan sambil memegang tanganku.

"Terima kasih! Oiya, hari ini adalah hari terakhir kita. Lebih baik kita kembali nanti malam karena tidak ada tempat untuk  kami beristirahat hari ini. Bagaimana jika sebelum itu aku mengajakmu berkeliling di sekitar sini?", tanyaku kepada Daan.

"Itu ide yang bagus untuk perpisahan kita!", celetuk Daan dengan girang.

Kami menghabiskan sisa hari itu dengan berjalan dan mengitari Kepulauan Natuna. Kami bercanda dengan girang dan menghabiskan waktu sebaik-baiknya. Setelah aku dan Daan kembali ke waktu masing-masing, kami tidak akan bertemu lagi. Langit mulai berubah menjadi malam, dan kami pun kembali ke taman kota untuk terakhir kalinya.

"Kaia, terima kasih sudah memberikanku salah satu waktu terbaik dalm hidupku selama 2 hari ini.",ujar Daan sambil berjalan disampingku.

"Aku juga berterima kasih sudah meyakinkan diriku kemarin dan hari ini. Semua ini tidak akan terjadi tanpa dirimu.", ucapku kepada Daan.

"Tidak. Semua tidak akan terjadi tanpa sifat teguh dan tulus yang ada didirimu. Dengan memperjuangkan perdamaian, kamu adalah pendekar tanah airku, Kai. Terima kasih.", ujar Daan sambil menghentikan langkahnya.

"Intinya, kami berdua berhasil melaksanakan misi ini! Aku tidak akan pernah melupakanmu Daniel.", ujarku kepada Daan.

"Daniel? Darimana kamu mengetahui nama lahirku? Hahaha.", tanya Daan kepadaku.

"Hei, aku rajin membaca buku sejarah kau tau!", ujarku sambil menyenggol tangannya.

"Baiklah, sepertinya sudah saatnya kita berpisah.", ujar Daan dengan sedih.

Tanpa pikir panjang, aku memeluk erat Daan sebagai tanda perpisahan. Kami kembali menduduki kursi di taman dan mencoba untuk memejamkan kedua mata kamu. Kami akan benar-benar berpisah. Aku dengan tahun 2020ku dan Daan dengan tahunnya.

"Sampai jumpa, Daan.", bisikku setelah memejamkan mata.

"Aku akan merindukanmu, Ka-", balasnya terpotong.

Aku merasakan sinar matahari menyinari wajahku dengan hebat. Aku membuka kedua mataku dan menyadari tempat asing ini. Aku terbangun di sebuah kelas kosong. Aku menundukkan kepalaku dan menyadari bahwa aku mengenakkan seragam dengan tanda nama 'Kaia Prisa'". Dengan bingung, aku membuka pintu kelas dan bergegas keluar. Tak lama setelah itu, bel sekolah berbunyi. Tiba-tiba, seorang perempuan menarik tanganku dan mengajakku untuk berlari.

"Ayo, Kai! Kelas sejarah akan segara dimulai.", ujarnya.

"Kelas sejarah?", tanyaku sambil melihat ke arah nama di seragam perempuan itu.

"Iya, dasar pelupa! Hahaha", candanya sambil memasuki sebuah kelas yang ramai dengan siswa.

"Nami?", tanyaku kepadanya

"Hmm, ada apa?", balasnya.

"Kita dimana?", jawabku.

"Kita di sekolah, Kaia! Dimana lagi? Apakah kamu lupa mengenai beasiswamu?", tanya Nami kepadaku.

"Beasiswa?", balasku kepadanya.

"Oh.. Kaia? Kamu baru saja kembali.", ujar Nami dengan sedikit tersentak.

Aku membalas Nami dengan senyuman kecil. Ia menarikku untuk duduk di sebuah meja dan menjelaskan semuanya kepadaku. Ia menjelaskan bagaimana aku dan 9 siswa lainnya mendapatkan beasiswa besar untuk bersekolah secara gratis di Jakarta sebagai permohonan maaf Bimasena. Saat ini, hanya Nami dan diriku yang mengetahui seluruh proses yang terjadi. Aku bersyukur bahwa Nami dapat membaca pikiranku. Aku tidak ingin sendiri.

Aku tersenyum lebar dan membalikkan badanku untuk menghadap ke arah papan tulis. Nami menjelaskan bahwa hari ini kita akan memperlajari mengenai tokoh nasional Indonesia. Tak lama setelah itu, aku mendengar perintah seorang guru untuk menyiapkan tugas biografi mengenai tokoh yang telah kami pilih. Aku merasa bingung dan menghadap ke arah Nami. Ia menunjukkan jarinya kepada sebuah kertas di laci mejaku. Aku mengambil dan membaca judul yang tertulis di kertas itu.

"Tokohku adalah... Daan Mogot.", ujarku dengan nada sedih.

Nami melihat kearahku dengan wajah sedih. Aku akan terus mengingat Daan dan pelajaran-pelajaran yang ia telah tanamkan dalam diriku. Aku dapat mencintai dan menyebarkan semangat persatuan dan perdamaianku sebagai seorang siswa dan bukan seorang pendekar karenanya. Tanpa aku sadari, bulir-bulir air mataku mulai berjatuhan. Aku memandang ke arah jendela dan berharap semua akan baik-baik saja untuknya. Aku akan selalu merindukannya.

Tiba-tiba, aku mendengar namaku dipanggil. Aku menghadap ke arah papan tulis dan melihat ibu guru yang menyuruhku untuk melakukan presentasi di depan kelas. Aku berdiri dan mulai melangkahkan kakiku. Sesampainya di depan, aku menatap kertasku dan berdiam sejenak.

"Tokohku adalah Daniel Elias Mogot.", ujarku.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun