"Apakah kamu sadar bahwa menyimpan dendam dan amarah terhadap masa lalu adalah perbuatan yang sia-sia? Tidak ada gunanya, Kai. Kamu harus mengerti bagaimana hidup dalam perdamaian akan lebih tentram. Dimasamu, Indonesia sudah diproklamirkan. Yang harus kalian lakukan hanyalah mempertahankannya dengan persatuan.", ujar Daan.
"Tetapi semua sudah terlambat, Daan.", ucapku dengan lesu.
"Tidak. Kamu masih dapat memperbaikinya dengan berpindah waktu. Kamu dapat mengubah sejarah dengan semangat perdamaian dan kesatuanmu.", ujar Daan menyemangatiku.
"Kamu pintar juga! Baiklah, aku akan memikirkannya setelah proklamasi selesai.", ujarku kepada Daan.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi menjelang siang di Jakarta. Aku dan Daan meninggalkan para jugun ianfu dan bergegas ke Jalan Pegangsaan Timur No. 1, Jakarta. Kami berjalan menyusuri jalanan dengan cepat dan hati-hati. Seluruh tentara Jepang yang melihat kami, terlihat sangat sinis dan mengancam. Beberapa blok dari rumah Soekarno, Daan menahan tanganku.
"Disini saja. Kita pantau dari luar.", ujar Daan.
"Kalian selalu bekerja di bawah terik matahari seperti ini? Berjam-jam?", tanyaku dengan bingung.
"Tentu saja. Apa pun akan kami lakukan demi tanah ini.", ujarnya sambil tersenyum.
"Astaga, aku tidak menyadari bagaimana ketulusan perjuangan kalian semua. Aku berjanji akan membebaskankan Indonesia dari kebencian dan dendam!", ujarku sambil mengacungkan jariku ke langit.
"Sejak kapan kamu menjadi begitu lucu? Hahaha.", ujarnya sambil mencubit kedua pipiku.
Waktu terus berjalan dan proklamasi pun berhasil dibacakan. Berita sudah mulai disebarkan ke seluruh Indonesia. Dengan tubuh dipenuhi keringat, aku dan Daan kembali ke rumah persinggahan. Aku membersihkan tubuhku dan beristirahat sejenak.