"Kaia, energi yang kami keluarkan hanya dapat menahanmu dan Daan  selama 72 jam. Lewat dari itu, semakin sulit bagimu untuk kembali kesini. Jika kamu perlu berpindah waktu, carilah tempat sepi dan coba untuk tidur. Tidur dengan memikirkan waktu dan tempat tujuanmu, kamu akan bangun disana. Saat waktunya pulang, kamu juga harus menggunakan cara yang sama. Ingat ini, jam dan menit akan tetap sama walaupun hari tidak. Walaupun hari dan tahun tujuanmu berbeda, waktu dalam jam dan menit akan tetap sama.", jelas Tanaka.
"Oiya, jangan lupa bahwa kamu harus pulang pada tanggal 19 Agustus dan jangan sampai melewati pukul 23.59. Ingat Kaia, 72 jam. Oiya, sekecil apapun perbuatanmu, itu dapat mengubah sejarah. Jika kamu berhasil mengubah sejarah, semua ini akan hilang. Setelah semuanya, hanya kamu yang akan mengingat seluruh proses ini. Berhati-hatilah.", ujar Nakula memastikan.
"Iya, aku mengerti. baiklah aku siap.", ujarku dengan pasti.
"Baiklah, sampai jumpa. Semoga semua berjalan lancar.", ucap Tanaka.
Aku dan Daan berdiri di tengah ruangan dengan gugup. Nakula dan Tanaka mencoba untuk membuat portal sambil mencari titik fokus mereka bersama. Setelah terbuka, aku melihat kursi usang dan beberapa tumpukan kertas di ujung portal. Daan pun menarik tanganku dan mengajakku masuk. Dengan sedikit gugup, aku menginjakkan kaki di tahun 1945. Dalam hitungan detik, portal pun tertutup dan aku benar-benar sampai.
Jakarta, Indonesia.
00.05, 17 Agustus 1945.
"Dimana kita?", tanyaku kepada Daan.
"Kita berada di Markas Besar PETA. Tempat aku bekerja.", ujar Daan menjelaskan.
"PETA? Astaga sudah lama sekali aku tidak mendengar kata itu.", ujarku tanpa sadar.
"Memang kamu tidak belajar sejarah? Hahaha.", canda Daan.