"Kelas sejarah?", tanyaku sambil melihat ke arah nama di seragam perempuan itu.
"Iya, dasar pelupa! Hahaha", candanya sambil memasuki sebuah kelas yang ramai dengan siswa.
"Nami?", tanyaku kepadanya
"Hmm, ada apa?", balasnya.
"Kita dimana?", jawabku.
"Kita di sekolah, Kaia! Dimana lagi? Apakah kamu lupa mengenai beasiswamu?", tanya Nami kepadaku.
"Beasiswa?", balasku kepadanya.
"Oh.. Kaia? Kamu baru saja kembali.", ujar Nami dengan sedikit tersentak.
Aku membalas Nami dengan senyuman kecil. Ia menarikku untuk duduk di sebuah meja dan menjelaskan semuanya kepadaku. Ia menjelaskan bagaimana aku dan 9 siswa lainnya mendapatkan beasiswa besar untuk bersekolah secara gratis di Jakarta sebagai permohonan maaf Bimasena. Saat ini, hanya Nami dan diriku yang mengetahui seluruh proses yang terjadi. Aku bersyukur bahwa Nami dapat membaca pikiranku. Aku tidak ingin sendiri.
Aku tersenyum lebar dan membalikkan badanku untuk menghadap ke arah papan tulis. Nami menjelaskan bahwa hari ini kita akan memperlajari mengenai tokoh nasional Indonesia. Tak lama setelah itu, aku mendengar perintah seorang guru untuk menyiapkan tugas biografi mengenai tokoh yang telah kami pilih. Aku merasa bingung dan menghadap ke arah Nami. Ia menunjukkan jarinya kepada sebuah kertas di laci mejaku. Aku mengambil dan membaca judul yang tertulis di kertas itu.
"Tokohku adalah... Daan Mogot.", ujarku dengan nada sedih.