Mohon tunggu...
Aji Bayhaqy
Aji Bayhaqy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Angket dan Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia

23 April 2024   01:03 Diperbarui: 23 April 2024   01:03 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

I. Pendahuluan

Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945, diakui sebagai negara hukum yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 yang

menyatakan bahwa negara ini berdiri atas dasar hukum. Ini menunjukkan bahwa

penegakan hukum di Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas

nasional. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara konstitusional, yang berarti

negara ini diatur oleh konstitusi. Prinsip trias politica menurut Montesquieu

diterapkan di Indonesia, dengan kekuasaan yang terbagi menjadi legislatif,

eksekutif, dan yudikatif, sehingga tidak ada kekuasaan yang dominan dalam

pemerintahan. Sebagai contoh, kebijakan eksekutif selalu diawasi oleh lembaga

legislatif, yang dalam konteks Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hak angket, bersama dengan hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat,

diberikan kepada DPR oleh UUD 1945 melalui Pasal 20A ayat (2) Amandemen

Ke-2. Sebelumnya, pengaturan implementasi hak angket diatur dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1954, namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi

melalui Putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010 karena tidak sejalan dengan UUD 1945.

Kemudian, implementasi hak angket DPR diarahkan oleh UU MPR, DPR, dan

DPRD, terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah oleh

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.

Dengan menggunakan hak-hak yang dimiliki oleh DPR, tindakan-tindakan

yang mengabaikan kepentingan rakyat dapat diperbaiki. Pengawasan politik, yang

diukur berdasarkan nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik dalam kebijakan

atau undang-undang, bertujuan untuk menegakkan kebijakan yang sesuai dan

memperbaiki ketidaksesuaian yang mungkin terjadi. Fungsi pengawasan adalahlangkah logis dalam sistem demokrasi untuk memperbaiki dirinya sendiri dengan

meluruskan kebijakan atau pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan standar yang

ditetapkan.1

Namun, baru-baru ini terdapat kontroversi seputar penerapan hak angket

oleh DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyebabkan

polemik dalam pelaksanaannya. Penyalahgunaan hak angket DPR terhadap KPK

dianggap merusak institusi KPK, tidak hanya karena kerusuhan yang terjadi akibat

keputusan yang tidak diambil secara demokratis, tetapi juga karena alasan

substansial, yaitu upaya DPR untuk melindungi anggotanya dari proses hukum.

Kasus KTP-el menjadi titik uji terkait kepentingan langsung DPR dalam hal ini dan

implikasinya terhadap proses penegakan hukum.

Anggota DPR memiliki kepentingan besar dalam kasus KTP-el karena

mereka memiliki pengaruh dalam alokasi anggaran proyek tersebut. Banyak

anggota DPR yang disebut dalam sidang pengadilan karena terlibat dalam

persetujuan anggaran proyek KTP-el. Kepentingan ini bahkan terlihat dalam naskah

pengajuan hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna pada 28 April lalu.

Dokumen tersebut menyoroti pencabutan BAP oleh Miryam S Haryani dalam

persidangan kasus E-KTP, yang diduga karena tekanan dari enam anggota Komisi

III DPR RI. Hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat dan mengkritik DPR

RI karena terlihat tidak mendukung pemberantasan korupsi. Konflik kepentingan

dalam DPR sangat nyata dan permintaan ini dianggap melanggar etika karena lebih

mengutamakan perlindungan lembaga daripada kredibilitas di mata publik.2

Oleh karena itu, permasalahan di atas menjadi sebuah tantangan dalam

penegakan hukum di Indonesia sebagai faktor yang menghambat atau mempersulit

proses penegakan hukum. II. Hasil Pembahasan

a. Hakikat Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam konsep Trias Politica oleh

Montesquieu dan Imanuel Kant termasuk dalam cabang kekuasaan legislatif,

yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI 1945). Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki hak

istimewa yang disebut hak angket, yang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD

NRI 1945. Hak ini diberikan kepada DPR untuk menjalankan fungsi

pengawasan dalam kerangka sistem check and balances. Namun, penggunaan

hak angket sering dilihat sebagai pembatasan dalam penegakan hukum saat ini.

Salah satunya adalah penggunaan hak angket yang baru disetujui oleh DPR,

yang khawatir digunakan untuk mempengaruhi dan melemahkan peran Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang bertujuan

untuk meningkatkan efektivitas dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Kewenangan yang ditetapkan oleh Pasal 20A Konstitusi Indonesia

1945 adalah:

1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi

anggaran, dan fungsi pengawasan.

2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam

pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan

Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak

menyatakan pendapat.

3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang

Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai

hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat

serta hak imunitas.

4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan

hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-

undang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara

optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkukuh

pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR.

Angket ialah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai suatu hal.

3 Suatu hal tersebut, menurut

Logemann diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh

pandangan dalam rangka tugas menetapkan kebijakan. Hak angket tersebut

juga dapat digunakan untuk sesuatu fact finding atau untuk merumuskan

kebijakan.

4

Diketahui bahwa hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

merupakan sebuah hak istimewa yang diberikan kepada DPR dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Hak ini

bertujuan untuk memungkinkan DPR melakukan pengawasan terhadap

pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, serta untuk mendapatkan

informasi yang diperlukan dalam menetapkan kebijakan. Meskipun hak angket

ini seharusnya menjadi instrumen yang kuat untuk menjaga keseimbangan

kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, penggunaannya seringkali

dipandang kontroversial. Hal ini terutama terjadi ketika hak angket digunakan

dengan tujuan yang tidak sesuai, misalnya untuk mempengaruhi atau

mengintervensi lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Hal ini dapat mengancam independensi dan efektivitas

lembaga tersebut dalam melakukan tugas-tugasnya. Selain itu, hak angket juga

memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi

yang diperlukan atau untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik. Namun,

penggunaannya haruslah dilakukan dengan cermat dan bertanggung jawab,

serta tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politis atau golongan Dengan demikian, penggunaan hak angket DPR haruslah dilakukan

secara proporsional dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi serta

supremasi hukum, sehingga dapat berkontribusi positif dalam memperkuat

sistem pemerintahan yang demokratis dan akuntabel di Indonesia.

b. Dinamika penggunaan hak angket oleh DPR, khususnya terkait

penegakan hukum terhadap kasus korupsi proyek KTP-el,

mempengaruhi kredibilitas dan efektivitas penegakan hukum di

Indonesia.

Hak angket merupakan wewenang DPR untuk menyelidiki pelaksanaan

suatu undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap bertentangan

dengan hukum, dan berdampak signifikan dalam kehidupan sosial, kebangsaan,

dan negara. Pelaksanaannya mencakup kebijakan yang dilakukan oleh Presiden,

Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau

pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. DPR dapat meminta

keterangan dari siapa pun, termasuk warga negara asing, serta memanggil

pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau anggota masyarakat

untuk memberikan keterangan.

Jadi, pertanyaannya adalah apakah memanggil KPK, sebuah lembaga

negara yang independen, termasuk dalam wewenang DPR untuk melakukan

hak angket. Dalam konteks hukum tata negara, hak angket umumnya

dimaksudkan untuk mengawasi eksekutif, bukan yudikatif. Ini berarti angket

biasanya ditujukan untuk mengawasi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat

lainnya, bukan lembaga yudikatif seperti KPK. Namun, jika dilihat dari definisi

angket yang meliputi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah,

termasuk yang dilakukan oleh pimpinan lembaga independen seperti KPK,

maka DPR memiliki hak untuk melakukan angket, interpelasi, dan menyatakan

pendapat terhadap berbagai aspek pemerintahan.

Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK telah memicu

berbagai pandangan beragam dalam masyarakat mengenai keabsahan

penggunaannya. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan hak angket oleh

tertentu. DPR sesuai dengan ketentuan hukum karena KPK sebagai lembaga yang

dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga DPR memiliki kewenangan

untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut.

Hak angket sendiri didefinisikan sebagai hak DPR untuk menyelidiki

pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap penting,

strategis, dan memiliki dampak luas pada masyarakat, negara, dan bangsa yang

diduga melanggar peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan hak angket

oleh DPR terhadap KPK dianggap cacat secara hukum. Mereka berargumen

bahwa dalam penjelasan aturan tersebut, hanya pemerintah yang mencakup

Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lembaga

pemerintah non-kementerian seperti Basarnas, LIPI, dan Wantimpres yang

dapat menjadi subjek dari hak angket. Oleh karena itu, KPK, bersama lembaga

lain di luar daftar tersebut, seharusnya tidak dapat dijadikan subjek hak angket.

Untuk menanggapi perdebatan tentang validitas penggunaan hak angket ini,

diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang masalah tersebut.

Penafsiran atas suatu pasal bisa menjadi topik diskusi yang luas, namun

penting untuk memahami konsep dan tujuan hak angket serta penerapannya

dalam kasus seperti KTP-el untuk mengevaluasi keberhasilannya. Perbedaan

signifikan antara hak angket dan upaya pengawasan lain oleh DPR terletak

pada kemampuannya untuk memaksa pihak terkait dalam mengumpulkan bukti

dan memanggil saksi. Selain itu, hak angket juga memiliki potensi besar untuk

membentuk opini publik karena cakupan kerjanya yang luas. Hasil dari hak

angket sering kali berupa kesimpulan dan rekomendasi, yang dapat

memengaruhi pandangan masyarakat. Contohnya adalah kasus Bank Century

pada 2010, di mana hasil voting menyatakan kebijakan dana talangan Bank

Century sebagai penyimpangan. Meskipun demikian, efektivitas rekomendasi

hak angket tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya dan

dramanya dalam pelaksanaannya.

Penting untuk dicatat bahwa hak angket tidak termasuk dalam proses

peradilan. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan tekanan politik, sedangkan hak DPR untuk melakukan penyelidikan, diikuti dengan

menyatakan pendapat, diperlukan sebagai bagian dari peran lembaga legislatif

dalam mewakili kepentingan rakyat. Dalam sistem parlementer, hal ini dikenal

sebagai "parliamentary questioning", sementara dalam sistem presidensial,

contohnya adalah "house inquiry" di AS ketika Menteri Luar Negeri Hillary

Clinton dimintai keterangan terkait serangan di Benghazi pada tahun 2012.

Masalahnya, batas antara mengawasi dan memengaruhi kepentingan

politik DPR sangat halus sehingga harus dievaluasi secara kasuistis. Dalam

kasus KTP-el, fokus utama adalah pada kepentingan langsung DPR dan

implikasinya terhadap penegakan hukum. Anggota DPR memiliki kepentingan

yang kuat dalam kasus ini karena mereka terlibat dalam alokasi anggaran

proyek KTP-el yang memerlukan persetujuan DPR. Bahkan, kepentingan ini

terungkap dalam naskah hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna pada

28 April lalu, di mana DPR menyoroti masalah pencabutan BAP oleh Sdri

Miryam S Haryani dalam persidangan kasus E-KTP karena diduga mendapat

tekanan dari enam anggota Komisi III DPR RI. Hal ini telah menimbulkan

kontroversi di masyarakat dan membuat DPR RI terpapar sebagai lembaga

yang kurang mendukung program pemberantasan korupsi.

Terlihat jelas kepentingan DPR untuk melindungi lembaganya meski

langkah ini justru semakin menurunkan wibawa DPR di mata publik. Konflik

kepentingan DPR sangat jelas sehingga permintaan ini sebenarnya sudah

melanggar etik.

Demikian, maka hak angket DPR, terutama dalam konteks penegakan

hukum terhadap korupsi proyek KTP-el, menjadi bahan perdebatan karena

potensinya memengaruhi kredibilitas dan efektivitas penegakan hukum di

Indonesia. Meskipun hak angket semula ditujukan untuk mengawasi eksekutif,

muncul pertanyaan apakah memanggil lembaga independen seperti KPK

termasuk dalam cakupan hak angket DPR. Pendapat tentang legalitas

penggunaan hak angket terhadap KPK bervariasi; beberapa pihak menyatakan

bahwa KPK, sebagai pelaksana undang-undang, bisa diselidiki oleh DPR, sementara yang lain berpendapat bahwa hal ini melanggar prinsip hukum

karena lembaga independen tidak termasuk dalam subjek hak angket.

Perbedaan hak angket dengan fungsi pengawasan DPR lainnya terletak

pada kemampuannya untuk memaksa pihak yang diperiksa untuk memberikan

dokumen dan hadir sebagai saksi. Hal ini memungkinkan pengaruh besar

terhadap opini publik, meskipun rekomendasi yang dihasilkan tidak selalu

efektif. Pentingnya menekankan bahwa hak angket bukan bagian dari proses

peradilan, melainkan bertujuan untuk memberi tekanan politik. Namun, dalam

kasus KTP-el, kepentingan langsung anggota DPR dalam kasus tersebut

menimbulkan konflik kepentingan yang mengancam wibawa DPR di mata

publik.

III. Penutup

a. Kesimpulan

Penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada tantangan serius

terkait penggunaan hak angket oleh DPR, terutama dalam konteks penegakan

hukum terhadap kasus korupsi proyek KTP-el. Meskipun hak angket semula

dimaksudkan untuk memastikan keseimbangan kekuasaan antara lembaga

negara dan menjaga akuntabilitas pemerintah, penggunaannya telah

memunculkan kontroversi dan memengaruhi kredibilitas serta efektivitas

penegakan hukum. Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) menciptakan ketegangan karena dapat

dianggap sebagai upaya untuk mengintervensi lembaga independen tersebut,

terutama dalam konteks perlindungan anggota DPR dari proses hukum.

Konflik kepentingan antara DPR dan lembaga penegak hukum seperti KPK

menjadi semakin jelas, dan penyalahgunaan hak angket dapat mengancam

independensi dan efektivitas lembaga tersebut. Meskipun demikian, ada

pandangan yang beragam mengenai validitas penggunaan hak angket terhadap

KPK secara hukum. Beberapa pihak berpendapat bahwa hal tersebut sesuai

dengan ketentuan hukum karena KPK adalah lembaga yang dibentuk

berdasarkan undang-undang, sementara yang lain berargumen bahwa hal itumelanggar prinsip hukum karena lembaga independen tidak termasuk dalam

subjek hak angket.

Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa penggunaan hak

angket harus dilakukan secara proporsional dan bertanggung jawab, sesuai

dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Terlebih lagi, konflik

kepentingan antara DPR dan lembaga penegak hukum harus diatasi untuk

menjaga integritas dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.

b. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan yaitu DPR perlu meningkatkan

transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan hak angket, terutama dengan

memastikan bahwa penggunaannya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik

individu atau golongan tertentu. Pembentukan mekanisme pengawasan internal

dan eksternal yang efektif dapat membantu mencegah penyalahgunaan hak

angket.

DAFTAR PUSTAKA

Harian Kompas edisi 5 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Bukan Kepentingan

Publik".https://pshk.or.id/blog-id/mengacaukan-proses-penegakan-

hukum/

Manan, Bagir (2005) DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta:

FH Uii Press, Cet III.

Soemantri, Sri. (1993) Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet VII.

Wahjono, Padmo (1983) Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, Jakarta

Ghalia Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun