I. Pendahuluan
Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, diakui sebagai negara hukum yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 yang
menyatakan bahwa negara ini berdiri atas dasar hukum. Ini menunjukkan bahwa
penegakan hukum di Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas
nasional. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara konstitusional, yang berarti
negara ini diatur oleh konstitusi. Prinsip trias politica menurut Montesquieu
diterapkan di Indonesia, dengan kekuasaan yang terbagi menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, sehingga tidak ada kekuasaan yang dominan dalam
pemerintahan. Sebagai contoh, kebijakan eksekutif selalu diawasi oleh lembaga
legislatif, yang dalam konteks Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hak angket, bersama dengan hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat,
diberikan kepada DPR oleh UUD 1945 melalui Pasal 20A ayat (2) Amandemen
Ke-2. Sebelumnya, pengaturan implementasi hak angket diatur dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1954, namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010 karena tidak sejalan dengan UUD 1945.
Kemudian, implementasi hak angket DPR diarahkan oleh UU MPR, DPR, dan
DPRD, terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah oleh
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.
Dengan menggunakan hak-hak yang dimiliki oleh DPR, tindakan-tindakan
yang mengabaikan kepentingan rakyat dapat diperbaiki. Pengawasan politik, yang
diukur berdasarkan nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik dalam kebijakan
atau undang-undang, bertujuan untuk menegakkan kebijakan yang sesuai dan
memperbaiki ketidaksesuaian yang mungkin terjadi. Fungsi pengawasan adalahlangkah logis dalam sistem demokrasi untuk memperbaiki dirinya sendiri dengan
meluruskan kebijakan atau pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan standar yang
ditetapkan.1
Namun, baru-baru ini terdapat kontroversi seputar penerapan hak angket
oleh DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyebabkan
polemik dalam pelaksanaannya. Penyalahgunaan hak angket DPR terhadap KPK
dianggap merusak institusi KPK, tidak hanya karena kerusuhan yang terjadi akibat
keputusan yang tidak diambil secara demokratis, tetapi juga karena alasan
substansial, yaitu upaya DPR untuk melindungi anggotanya dari proses hukum.
Kasus KTP-el menjadi titik uji terkait kepentingan langsung DPR dalam hal ini dan
implikasinya terhadap proses penegakan hukum.
Anggota DPR memiliki kepentingan besar dalam kasus KTP-el karena
mereka memiliki pengaruh dalam alokasi anggaran proyek tersebut. Banyak
anggota DPR yang disebut dalam sidang pengadilan karena terlibat dalam
persetujuan anggaran proyek KTP-el. Kepentingan ini bahkan terlihat dalam naskah
pengajuan hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna pada 28 April lalu.
Dokumen tersebut menyoroti pencabutan BAP oleh Miryam S Haryani dalam
persidangan kasus E-KTP, yang diduga karena tekanan dari enam anggota Komisi
III DPR RI. Hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat dan mengkritik DPR
RI karena terlihat tidak mendukung pemberantasan korupsi. Konflik kepentingan
dalam DPR sangat nyata dan permintaan ini dianggap melanggar etika karena lebih
mengutamakan perlindungan lembaga daripada kredibilitas di mata publik.2
Oleh karena itu, permasalahan di atas menjadi sebuah tantangan dalam
penegakan hukum di Indonesia sebagai faktor yang menghambat atau mempersulit
proses penegakan hukum. II. Hasil Pembahasan
a. Hakikat Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam konsep Trias Politica oleh
Montesquieu dan Imanuel Kant termasuk dalam cabang kekuasaan legislatif,
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945). Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki hak
istimewa yang disebut hak angket, yang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD
NRI 1945. Hak ini diberikan kepada DPR untuk menjalankan fungsi
pengawasan dalam kerangka sistem check and balances. Namun, penggunaan
hak angket sering dilihat sebagai pembatasan dalam penegakan hukum saat ini.
Salah satunya adalah penggunaan hak angket yang baru disetujui oleh DPR,
yang khawatir digunakan untuk mempengaruhi dan melemahkan peran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Kewenangan yang ditetapkan oleh Pasal 20A Konstitusi Indonesia
1945 adalah:
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang
Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas.
4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan
hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-
undang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara
optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkukuh
pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR.
Angket ialah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai suatu hal.
3 Suatu hal tersebut, menurut
Logemann diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
pandangan dalam rangka tugas menetapkan kebijakan. Hak angket tersebut
juga dapat digunakan untuk sesuatu fact finding atau untuk merumuskan
kebijakan.
4
Diketahui bahwa hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
merupakan sebuah hak istimewa yang diberikan kepada DPR dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Hak ini
bertujuan untuk memungkinkan DPR melakukan pengawasan terhadap
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, serta untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan dalam menetapkan kebijakan. Meskipun hak angket
ini seharusnya menjadi instrumen yang kuat untuk menjaga keseimbangan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, penggunaannya seringkali
dipandang kontroversial. Hal ini terutama terjadi ketika hak angket digunakan
dengan tujuan yang tidak sesuai, misalnya untuk mempengaruhi atau
mengintervensi lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Hal ini dapat mengancam independensi dan efektivitas
lembaga tersebut dalam melakukan tugas-tugasnya. Selain itu, hak angket juga
memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi
yang diperlukan atau untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik. Namun,
penggunaannya haruslah dilakukan dengan cermat dan bertanggung jawab,
serta tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politis atau golongan Dengan demikian, penggunaan hak angket DPR haruslah dilakukan
secara proporsional dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi serta
supremasi hukum, sehingga dapat berkontribusi positif dalam memperkuat
sistem pemerintahan yang demokratis dan akuntabel di Indonesia.
b. Dinamika penggunaan hak angket oleh DPR, khususnya terkait
penegakan hukum terhadap kasus korupsi proyek KTP-el,
mempengaruhi kredibilitas dan efektivitas penegakan hukum di
Indonesia.
Hak angket merupakan wewenang DPR untuk menyelidiki pelaksanaan
suatu undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap bertentangan
dengan hukum, dan berdampak signifikan dalam kehidupan sosial, kebangsaan,
dan negara. Pelaksanaannya mencakup kebijakan yang dilakukan oleh Presiden,
Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. DPR dapat meminta
keterangan dari siapa pun, termasuk warga negara asing, serta memanggil
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau anggota masyarakat
untuk memberikan keterangan.
Jadi, pertanyaannya adalah apakah memanggil KPK, sebuah lembaga
negara yang independen, termasuk dalam wewenang DPR untuk melakukan
hak angket. Dalam konteks hukum tata negara, hak angket umumnya
dimaksudkan untuk mengawasi eksekutif, bukan yudikatif. Ini berarti angket
biasanya ditujukan untuk mengawasi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat
lainnya, bukan lembaga yudikatif seperti KPK. Namun, jika dilihat dari definisi
angket yang meliputi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah,
termasuk yang dilakukan oleh pimpinan lembaga independen seperti KPK,
maka DPR memiliki hak untuk melakukan angket, interpelasi, dan menyatakan
pendapat terhadap berbagai aspek pemerintahan.
Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK telah memicu
berbagai pandangan beragam dalam masyarakat mengenai keabsahan
penggunaannya. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan hak angket oleh
tertentu. DPR sesuai dengan ketentuan hukum karena KPK sebagai lembaga yang
dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga DPR memiliki kewenangan
untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut.
Hak angket sendiri didefinisikan sebagai hak DPR untuk menyelidiki
pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap penting,
strategis, dan memiliki dampak luas pada masyarakat, negara, dan bangsa yang
diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan hak angket
oleh DPR terhadap KPK dianggap cacat secara hukum. Mereka berargumen
bahwa dalam penjelasan aturan tersebut, hanya pemerintah yang mencakup
Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lembaga
pemerintah non-kementerian seperti Basarnas, LIPI, dan Wantimpres yang
dapat menjadi subjek dari hak angket. Oleh karena itu, KPK, bersama lembaga
lain di luar daftar tersebut, seharusnya tidak dapat dijadikan subjek hak angket.
Untuk menanggapi perdebatan tentang validitas penggunaan hak angket ini,
diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang masalah tersebut.
Penafsiran atas suatu pasal bisa menjadi topik diskusi yang luas, namun
penting untuk memahami konsep dan tujuan hak angket serta penerapannya
dalam kasus seperti KTP-el untuk mengevaluasi keberhasilannya. Perbedaan
signifikan antara hak angket dan upaya pengawasan lain oleh DPR terletak
pada kemampuannya untuk memaksa pihak terkait dalam mengumpulkan bukti
dan memanggil saksi. Selain itu, hak angket juga memiliki potensi besar untuk
membentuk opini publik karena cakupan kerjanya yang luas. Hasil dari hak
angket sering kali berupa kesimpulan dan rekomendasi, yang dapat
memengaruhi pandangan masyarakat. Contohnya adalah kasus Bank Century
pada 2010, di mana hasil voting menyatakan kebijakan dana talangan Bank
Century sebagai penyimpangan. Meskipun demikian, efektivitas rekomendasi
hak angket tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya dan
dramanya dalam pelaksanaannya.
Penting untuk dicatat bahwa hak angket tidak termasuk dalam proses
peradilan. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan tekanan politik, sedangkan hak DPR untuk melakukan penyelidikan, diikuti dengan
menyatakan pendapat, diperlukan sebagai bagian dari peran lembaga legislatif
dalam mewakili kepentingan rakyat. Dalam sistem parlementer, hal ini dikenal
sebagai "parliamentary questioning", sementara dalam sistem presidensial,
contohnya adalah "house inquiry" di AS ketika Menteri Luar Negeri Hillary
Clinton dimintai keterangan terkait serangan di Benghazi pada tahun 2012.
Masalahnya, batas antara mengawasi dan memengaruhi kepentingan
politik DPR sangat halus sehingga harus dievaluasi secara kasuistis. Dalam
kasus KTP-el, fokus utama adalah pada kepentingan langsung DPR dan
implikasinya terhadap penegakan hukum. Anggota DPR memiliki kepentingan
yang kuat dalam kasus ini karena mereka terlibat dalam alokasi anggaran
proyek KTP-el yang memerlukan persetujuan DPR. Bahkan, kepentingan ini
terungkap dalam naskah hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna pada
28 April lalu, di mana DPR menyoroti masalah pencabutan BAP oleh Sdri
Miryam S Haryani dalam persidangan kasus E-KTP karena diduga mendapat
tekanan dari enam anggota Komisi III DPR RI. Hal ini telah menimbulkan
kontroversi di masyarakat dan membuat DPR RI terpapar sebagai lembaga
yang kurang mendukung program pemberantasan korupsi.
Terlihat jelas kepentingan DPR untuk melindungi lembaganya meski
langkah ini justru semakin menurunkan wibawa DPR di mata publik. Konflik
kepentingan DPR sangat jelas sehingga permintaan ini sebenarnya sudah
melanggar etik.
Demikian, maka hak angket DPR, terutama dalam konteks penegakan
hukum terhadap korupsi proyek KTP-el, menjadi bahan perdebatan karena
potensinya memengaruhi kredibilitas dan efektivitas penegakan hukum di
Indonesia. Meskipun hak angket semula ditujukan untuk mengawasi eksekutif,
muncul pertanyaan apakah memanggil lembaga independen seperti KPK
termasuk dalam cakupan hak angket DPR. Pendapat tentang legalitas
penggunaan hak angket terhadap KPK bervariasi; beberapa pihak menyatakan
bahwa KPK, sebagai pelaksana undang-undang, bisa diselidiki oleh DPR, sementara yang lain berpendapat bahwa hal ini melanggar prinsip hukum
karena lembaga independen tidak termasuk dalam subjek hak angket.
Perbedaan hak angket dengan fungsi pengawasan DPR lainnya terletak
pada kemampuannya untuk memaksa pihak yang diperiksa untuk memberikan
dokumen dan hadir sebagai saksi. Hal ini memungkinkan pengaruh besar
terhadap opini publik, meskipun rekomendasi yang dihasilkan tidak selalu
efektif. Pentingnya menekankan bahwa hak angket bukan bagian dari proses
peradilan, melainkan bertujuan untuk memberi tekanan politik. Namun, dalam
kasus KTP-el, kepentingan langsung anggota DPR dalam kasus tersebut
menimbulkan konflik kepentingan yang mengancam wibawa DPR di mata
publik.
III. Penutup
a. Kesimpulan
Penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada tantangan serius
terkait penggunaan hak angket oleh DPR, terutama dalam konteks penegakan
hukum terhadap kasus korupsi proyek KTP-el. Meskipun hak angket semula
dimaksudkan untuk memastikan keseimbangan kekuasaan antara lembaga
negara dan menjaga akuntabilitas pemerintah, penggunaannya telah
memunculkan kontroversi dan memengaruhi kredibilitas serta efektivitas
penegakan hukum. Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menciptakan ketegangan karena dapat
dianggap sebagai upaya untuk mengintervensi lembaga independen tersebut,
terutama dalam konteks perlindungan anggota DPR dari proses hukum.
Konflik kepentingan antara DPR dan lembaga penegak hukum seperti KPK
menjadi semakin jelas, dan penyalahgunaan hak angket dapat mengancam
independensi dan efektivitas lembaga tersebut. Meskipun demikian, ada
pandangan yang beragam mengenai validitas penggunaan hak angket terhadap
KPK secara hukum. Beberapa pihak berpendapat bahwa hal tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum karena KPK adalah lembaga yang dibentuk
berdasarkan undang-undang, sementara yang lain berargumen bahwa hal itumelanggar prinsip hukum karena lembaga independen tidak termasuk dalam
subjek hak angket.
Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa penggunaan hak
angket harus dilakukan secara proporsional dan bertanggung jawab, sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Terlebih lagi, konflik
kepentingan antara DPR dan lembaga penegak hukum harus diatasi untuk
menjaga integritas dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.
b. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan yaitu DPR perlu meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan hak angket, terutama dengan
memastikan bahwa penggunaannya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik
individu atau golongan tertentu. Pembentukan mekanisme pengawasan internal
dan eksternal yang efektif dapat membantu mencegah penyalahgunaan hak
angket.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Kompas edisi 5 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Bukan Kepentingan
Publik".https://pshk.or.id/blog-id/mengacaukan-proses-penegakan-
hukum/
Manan, Bagir (2005) DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta:
FH Uii Press, Cet III.
Soemantri, Sri. (1993) Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet VII.
Wahjono, Padmo (1983) Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, Jakarta
Ghalia Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H