JANJI PELANGI
Written by: T.R Sue
-Bagian 1-
Milea adalah wanita yang tidak pernah menuntut banyak. Semua tahu bahwa dia manusia dengan tipe ‘nrimo’. Anak tengah dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan.
Tidak seperti kakak atau adiknya yang selalu menuntut kesejahteraan hidup yang lebih, ataupun rayuan pada kedua orang tuanya untuk memilih universitas bergengsi. Milea lebih cenderung menerima apa saja yang disodorkan padanya.
Kurang ambisius? Tidak juga. Milea selalu menjadi juara kelas dan berprestasi dalam hal segala bidang. Lalu, apa yang membuatnya tidak pernah memiliki penolakan? Patuh? Berbakti? Terlalu baik?
Menurut ibunya, yang juga seorang psikiater, Milea tidak mampu mengatakan tidak. Entah apa yang memicu dan membentuk karakternya, namun Milea menjadi seperti itu sedari kecil.
Putri kesayangan ayah, yang selalu membuat iri kakak dan adiknya, tapi Milea tidak pernah ambil pusing.
Hari itu Mansy, kakaknya, mengumumkan akan membawa kekasihnya datang untuk makan malam. Milea hanya diam tidak merespon. Sementara Mina, adik bungsunya, sudah bersemangat untuk menyambut calon kakak ipar.
Milea memilih untuk pergi, mencari buku di toko langganannya. Mansy hanya mencibir dengan kesal. Milea adalah gadis tanpa ekspresi. Seharusnya Milea turut gembira atas acara nanti malam.
Rak kayu yang memiliki koleksi buku novel adalah tempat favoritnya. Dia menyusuri tiap jajaran display buku dan mencari yang paling pas untuk santapan matanya. Begitu asyiknya memilih, hingga Milea tidak sadar menabrak seseorang.
Bruuukk.
“Maaf,” ucap Milea spontan.
Milea membungkuk untuk memungut buku yang terjatuh dari tangannya. Ia terus menunduk tanpa mengangkat kepala. Milea hanya tahu dari sepatu yang ia lihat saat menunduk, manusia yang dia tubruk adalah seorang pemuda.
“Sebaiknya kamu mengangkat muka kalo benar-benar ingin meminta maaf,” balas pria itu dengan suara berat, khas penikmat tembakau.
Milea seketika gugup, seperti biasa, dan akhirnya mengangkat wajah.
Raut wajah tampan dengan deretan gigi yang luar biasa putih dan rapi, ditambah hidung mancung juga mata tajam, terpampang di hadapannya. Senyum pria itu memang manis, tapi Milea justru tidak nyaman.
“Kenapa kamu gugup?” tanya pemuda itu. Ia seketika terkesan dengan penampilan gadis, yang menurutnya, dalam standar menawan tersebut.
Bibir mungil dan hidung mancung lancip itu memiliki mata lentik yang tampak sendu. Rambutnya yang sebahu lurus dengan ujung bawah agak ikal jatuh pundak, sangat mempesona.
“Saya nggak sengaja,” jawab Milea singkat.
“Oke. Nggak apa-apa,” balas pemuda itu lagi. Senyumnya terurai. “Aku sering lihat kamu berkunjung setiap hari Jumat sore. Kamu suka baca?” Pria tersebut lagi-lagi berinisiatif bertanya.
Milea mengangguk tanpa berani menatap langsung. Jelas sekali, gadis itu tidak ingin berada dalam situasi tersebut.
“Permisi, maaf sekali lagi.” Milea kemudian berbalik dan meninggalkan pria yang terus memandangnya.
Daya tarik dari gadis itu jelas bukan dari tampang juga penampilannya. Gadis yang terlihat cepat gugup sekaligus irit kata-kata tersebut mampu membuatnya terhipnotis melalui tatapan mata yang sendu.
Ada raut kecewa yang terukir jelas. Pria itu kemudian menghela napas pasrah dan melanjutkan berkeliling.
***
Makan malam berlangsung dengan suasana hangat. Kedua orang tua mereka menyambut dengan baik kehadiran tamu istimewa Mansy.
Milea baru kembali dari toko buku dalam kondisi basah kuyup dan sedang berganti baju.
Mansy dan Mina terlihat sangat kesal atas sikap Milea yang menurut mereka tidak menghargai kedatangan kekasih Mansy.
Sementara itu, ayahnya terus mengajak kekasih Mansy membicarakan tentang perekonomian. Pria bertampang tampan tersebut ternyata memiliki otak yang cerdas.
“Papa senang kalian menjadi teman dekat, sulit menemukan pria baik dengan kepala yang berisi,” ucap ayah mereka dengan senyum lebar.
“Hanya karena hobi baca, Om. Pengetahuan jadi bertambah,” sahutnya dengan rendah hati. Milea muncul dengan kepala tertunduk dan menyapa semuanya.
“Ini dia, putri kami yang tengah. Milea, ayo kenalan dulu!” seru ayahnya dengan ceria.
Begitu mengangkat muka, Milea terhenyak. Dia adalah pemuda yang tadi siang ditabraknya.
“Loka.” Pemuda itu mengulurkan tangan dengan senyum hangat.
“Milea,” sambutnya dengan segan dan buru-buru menarik tangan.
“Maaf, kalo Mansy dan Mina memang cerewet. Tapi Milea itu pemalu banget,” timpal ibunya dengan cepat. Loka tertawa kecil.
“Kami ketemu tadi di toko buku. Nggak nyangka ternyata dia adiknya Mansy,” tanggap Loka tidak bermaksud menyembunyikan. Seketika Mansy tampak cemburu.
“Jadi kalian tadi udah kenalan?” selidik Mansy dengan suara yang tampak sekali tidak suka.
“Mana sempat? Adikmu buru-buru kabur,” jawab Loka setengah bercanda.
Mansy tersenyum kecut. Makan malam berlanjut dan Milea hanya menenggelamkan diri dengan santapannya tanpa berniat untuk nimbrung.
Kesan malam itu tidak ada yang istimewa bagi Milea. Namun, bagi Loka, ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Milea lebih dalam.
***
Berulang kali Milea memeriksa skripsinya. Ini adalah tahun terakhir dia menempuh pendidikan. Sebentar lagi dia akan wisuda dan menerima gelar sarjana sastra Inggris.
Mansy sudah berkarir dan bekerja di salah satu bank, tempat Loka kekasihnya juga bekerja. Adiknya Mina masih kuliah kedokteran, semester empat.
Jarak mereka tidaklah terlalu jauh. Memiliki kedua orang tua yang sukses membuat beban tersendiri bagi Milea untuk mengikuti keberhasilan mereka.
“Ma, Milea mau keluar sebentar. Jangan tunggu makan malam, ya?” pamit Milea pada ibunya yang membuka praktek di rumah.
Mamanya hanya mengangguk dan membiarkan Milea asyik dengan dunianya sendiri.
Milea segera bergegas ke kampus untuk mengumpulkan skripsi, supaya segera diperiksa oleh dosen pembimbing sebelum maju sidang. Cuaca agak mendung dan kini Milea khawatir karena tidak membawa payung.
Setelah menyelesaikan urusan dengan dosen dan mendapatkan lampu hijau, Milea melenggang dengan senyum puas terukir. Tinggal sedikit lagi dan ia akan menjadi sarjana.
Waktu masih menunjukkan pukul tiga sore, Milea memutuskan untuk mengunjungi toko buku. Rasanya tidak pernah puas memilih dan membaca semua cerita yang dia temukan. Hobi membacanya menjadikan Milea kecanduan mencari kisah yang unik.
Mungkin karena dia sendiri memiliki kisah yang luar biasa. Tidak ada yang tahu selain dia dan kedua orang tuanya. Bahwa sekitar lima belas tahun yang lalu, seorang wanita datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya. Ia baru berusia tujuh tahun, tapi sudah memahami dengan baik apa yang terjadi.
Tanpa gadis itu sadari, peristiwa tersebut adalah titik balik seorang Milea menjadi pribadi yang tidak pernah menuntut.
Tahu diri akan posisinya sebagai anak angkat, dia tidak boleh menyamakan diri dengan Mansy dan Mina. Mereka memiliki hak sepenuhnya, tapi tidak dengan dirinya.
Secara penampilan, Milea juga tampak berbeda dengan kedua saudara angkatnya. Siapa pun tahu jika Milea adalah putri yang tercantik. Berkulit putih dan bertubuh paling tinggi semampai. Itu yang sering membuat Mansy dan Mina iri padanya.
“Kamu beneran suka baca, ya?” sapa sebuah suara yang terdengar tidak asing lagi.
Milea menoleh dan Loka berdiri di sebelah dengan wajah tersenyum.
“Ya,” jawab Milea singkat.
“Aku cuman mau kenal kamu lebih dekat aja. Nggak lebih,” cetus Loka.
“Buat apa?” tanya Milea tidak ramah. Dia merasa terganggu.
“Nggak tahu. Tapi mungkin karena kita berdua suka baca, jadi kayaknya seru dapet temen yang sealiran,” sahut Loka sedikit bingung.
Alasannya terkesan klise dan tanpa usaha. Milea menghela napas berat.
“Mansy nggak akan suka kalo kamu dekat-dekat dengan perempuan lain,” balas Milea dengan ketus.
Dia meletakkan buku dan meninggalkan Loka yang tertegun.
“Aku nggak peduli dia cemburu, kamu kan adik kandungnya!” serunya.
Milea berhenti melangkah.
“Nggak seharusnya dia mencurigai ‘kan? Apa salahnya dekat dengan kamu?” lanjut Loka.
“Pokoknya jauh-jauh, aku malas berurusan dengan Mansy,” tukas Milea tidak peduli dan meneruskan langkahnya. Loka merasa konyol dan bodoh. Kenapa bisa tercetus kalimat menyedihkan seperti itu dari mulutnya.
-Bagian 2-
Siang itu kembali Mansy mengajak Loka datang. Milea yang sedang bersantai di ruang keluarga melihat dengan jelas, bagaimana kakaknya menyerang Loka dengan ciuman panas. Loka hanya bersandar di tempat tidur, menikmatinya.
‘Dasar cowok oportunis!’ rungut Milea dalam hati dengan muak.
Milea melengos dengan jengah. Pintu kamar kakaknya tidak tertutup rapat. Dia kini bisa mendengar Mansy memohon untuk dicumbu oleh Loka, namun pria itu menolak dengan halus.
Ia penasaran dan kembali melirik ke arah kamar Mansy. Kakaknya menindih tubuh Loka dan terus menghujani dengan ciuman penuh nafsu. Akhirnya, karena risih, Milea beranjak dan meninggalkan ruang keluarga dengan hati kesal.
Pemandangan itu begitu memalukan. Kakaknya seperti seorang wanita yang tidak memiliki harga diri sedikit pun. Jelas-jelas Loka tidak mungkin menolak.
‘Siapa yang nggak menyukai cumbuan gratis?’ batin Milea sinis.
***
Sore tadi, Milea mendapat pesan dari ibunya yang mengabarkan harus pergi keluar kota dan Mina juga ayahnya ikut serta.
Ibunya mengatakan jika nenek mereka sedang sakit dan tidak sempat mengajak semuanya. Setelah mengunjungi acara pernikahan teman kerja ayahnya, mereka langsung menuju ke Bandung.
Kini tinggal dia dan Mansy tinggal di rumah. Namun sejak tahu jika mama dan papanya pergi, Mansy langsung mengundang Loka datang kembali.
Baru saja dia selesai makan malam, terdengar dengan jelas, Mansy bertengkar dengan Loka. Setelah menajamkan pendengarannya, ternyata Mansy menuduh Loka tidak mencintainya.
“Aku sudah bilang, kita coba, dan aku nggak bisa Mansy. Aku nggak bisa nerusin ini!” seru Loka terdengar menahan diri.
“Brengsek kamu! Aku sudah menyodorkan tubuhku, kamu nggak mau. Salahku di mana?” pekik kakaknya dengan emosi.
"Maaf, Mansy. Ini semua harus berakhir. Aku nggak bisa lagi," ucap Loka dengan suara bergetar.
"Kamu putusin aku? Tega kamu!" raung Mansy kembali.
Loka terdiam dan Mansy terisak kemudian terdengar pintu kamar dibanting. Milea yang duduk di ruang makan segera menuju ke gazebo yang ada di taman samping.
Ia tidak ingin mendengar lagi kelanjutan pertengkaran mereka. Rasanya Mansy sangat keterlaluan, melemparkan diri pada pria dengan begitu mudahnya. Bahkan baru saja ia menjadi saksi, bagaimana kakaknya memohon dengan sangat, mengemis supaya Loka mencintainya.
“Sorry, kamu harus dengar semua itu,” sesal Loka yang sudah berdiri di belakangnya. Milea terdiam dan mengalihkan pandangannya.
“Bukan urusanku,” timpal Milea kembali acuh. Loka menghela napas dan melangkah pergi.
***
Hujan masih turun dengan deras. Milea duduk dengan tubuh menggigil di halte. Salah dia tidak pulang sedari tadi. Kini sudah hampir jam sepuluh malam dan dalam kondisi hujan seperti ini, taksi ataupun angkutan umum sangat jarang.
Baterai ponselnya sudah habis dan dia tidak bisa menghubungi siapa pun. Milea duduk pasrah dan tidak memiliki ide lain selain menunggu.
Mendadak ada dua orang pria yang bertampang kasar berjalan ke arahnya. Milea mulai tidak nyaman. Terutama salah satu dari pria tersebut mulai menatapnya dengan pandangan mencurigakan.
“Hai, Cewek. Butuh ditemani?” sapanya terlihat beringas.
Lengkung senyum di bibir pria itu tampak memuakkan. Milea diam tidak merespon.
“Sombong banget! Kalo dipaksa pasti mau,” timpal teman satunya lagi.
Milea merapatkan tasnya di dada dan berdoa supaya ada taksi yang lewat.
“Coba sini abang bantu hangatkan!”
Pria yang bertampang sangar itu memeluk Milea dan seketika gadis itu memberontak.
“Lepasin!!” teriak Milea panik dan mencoba melawan sebisanya.
“Brengsek! Pake cakar mukaku lagi!” umpat pria itu marah.
Dengan kasar, dia menarik Milea dan memeluknya.
“Jangan! Tolong!” ronta Milea ketakutan.
Hal yang dia pikirkan adalah berteriak. Namun hujan terlalu deras dan suasana sepi, teriakannya tidak terdengar siapa pun. Karena begitu kuatnya dia meronta, Milea terhempas di trotoar dan kepalanya terantuk.
Darah seketika mengucur. Dua preman itu sontak ketakutan karena Milea tidak lagi bergerak. Mereka segera kabur dan lari tunggang langgang menembus hujan.
Dua menit kemudian, Milea akhirnya bangkit dengan susah payah dan duduk. Hujan membasahi tubuhnya. Dia bingung harus ke mana. Sementara dia terkapar tadi, tidak ada satu pun yang datang menolongnya.
Dari jauh, di seberang jalan, Milea melihat sosok yang keluar dari mobil dan hendak menyeberang. Harapannya mulai bangkit kembali.
“Milea!” teriak Loka dengan panik.
Milea menatap tubuh Loka yang berlari menghampirinya.
“Astaga, kamu kenapa?!” pekiknya panik. Milea ingin menjelaskan, namun semuanya menjadi gelap kembali.
***
Milea tersadar dengan dua puluh jahitan di kepalanya. Ibunya terlihat menangis dan pucat. Bibirnya kehilangan warna dan wanita itu tampak cemas dan khawatir.
“Ma,” panggil Milea yang mulai tersadar.
“Oh Tuhan, syukurlah. Kamu nggak papa?” tanya Ibunya tampak lega.
Milea tidak menjawab. Kepalanya terasa sakit dan pandangannya masih buram.
“Untunglah Loka menemukanmu, kalo nggak ….” Ibunya kembali tersedu.
Milea memejamkan mata kembali dan tampak menahan sakit. Ayahnya muncul dan mengusap kepalanya dengan penuh kasih. Mansy dan Mina juga datang, namun wajah kakaknya tampak tidak bersahabat. Milea tahu, ini pasti karena Loka.
“Semua sudah jelas. Kalo tahu dari awal, aku nggak sudi terima dia di keluarga kita. Anak hasil perselingkuhan!” teriak Mansy yang memang tidak bisa mengerem mulut lancangnya.
“Keluar, Mansy! Sebelum papa hilang kesabaran!” bentak ayahnya mulai naik pitam.
Milea merasa lemas. Mereka sudah tahu semuanya. Kini makin bertambah kebencian kedua saudaranya. Dengan hati yang begitu sakit, Milea menahan air mata yang sudah mendesak keluar.
Inikah hidup yang menjadi takdirnya?
-Bagian 3-
Semua duduk di ruang keluarga. Milea terlihat menunduk dengan wajah kosong. Rasanya sudah cukup menerima makian dari Mansy dan Mina tentang statusnya.
Berkali-kali Mansy melontarkan kalimat ‘anak haram’ disertai telunjuk yang teracung padanya. Entah kenapa, Milea merasakan sudah terlanjur kebal dengan semua keketusan Mansy.
“Aku udah curiga sejak awal! Dia dengan semua sikap sok alimnya itu hanya bohong belaka! Anak pelacur, selamanya bakal jadi pelacur kayak ibunya!” Teriakan Mansy membuat ibunya tidak lagi bersabar.
“Cukup! Kamu makin lama kok makin keterlaluan, sih!” seru ibunya.
“Ma! Mama yang seharusnya ngomong kayak gitu! Pelacur yang udah nyuri suami mama itu ibunya dia!” bentak Mansy seperti kalap menunjuk ke arah Milea.
Ibunya hanya menggelengkan kepala dan tidak sanggup lagi berkata-kata. Mansy benar, seharusnya dia membenci Milea. Tapi bagaimana dia bisa memperlakukan gadis yang begitu penurut dan tidak pernah menimbulkan masalah itu? Milea memperhatikan dan menunjukkan kasihnya, melebihi dua anak dari rahimnya sendiri.
Sementara itu, Milea masih bungkam. Semua yang Mansy ungkapkan memang fakta.
Ya, wanita yang datang saat itu adalah perempuan yang pernah berselingkuh dengan ayahnya. Hasil hubungan terlarang itu melahirkan Milea. Karena kebesaran hati mamanya, Milea diasuh dan tetap mendapatkan porsi yang sama dalam keluarga tersebut.
Kini kedua saudara perempuan mereka tahu dan menuntut Milea untuk tidak lagi tinggal di rumah. Terutama Mansy, yang sejak putus dengan Loka, pasti mencari pelampiasan kemarahan.
“Pilih sekarang! Dia yang angkat kaki, atau aku dan Mina yang pergi!” teriak Mansy tidak mengendurkan tuntutannya.
Ibunya hanya terdiam dan menunduk. Ayahnya terlihat mengeraskan rahang dengan tangan terkepal.
“Aku yang pergi,” ucap Milea tanpa emosi.
Dia sudah meminta mbak Nur untuk membereskan semua barang miliknya. Lima kardus dan tiga koper sudah siap di taksi tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Milea, ini bukan keputusan mereka!” tahan papanya tidak ingin dia pergi.
Milea menoleh dan menatap pria yang telah membesarkan dia dengan baik. Kemudian dia berpaling pada ibunya, wanita cerdas yang berhati mulia dan telah mengasuhnya dengan sangat adil.
“Kebaikan kalian lebih dari cukup, terima kasih atas semuanya,” pamit Milea singkat dan tidak berbelit-belit.
Ibunya menatap Milea dengan hati hancur. Dia sangat menyayangi Milea yang sepertinya tahu akan posisinya. Anak yang ia besarkan ini selalu pandai menjaga hati dan menyenangkan dirinya.
Diam-diam dalam hati ia mengakui bahwa Milea jauh lebih baik dibandingkan kedua putri kandungnya.
Dengan langkah berat, Milea pergi dari rumah, tempat ia dibesarkan dengan tulus dan penuh kasih sayang.
Hati sangat terluka dan ia merasa tersingkir. Namun apa daya? Milea harus meninggalkan rumah yang menyimpan banyak kenangan menyenangkan.
***
Tinggal di indekos dekat kampus adalah pilihan yang terbaik. Selain murah, dia juga bisa menerima tawaran untuk menjadi dosen di kampusnya.
Tekadnya sudah bulat, mungkin ini adalah nasib sebagai anak hasil perselingkuhan. Entah apa yang membuat Milea lebih merasa bebas, tiba-tiba timbul percaya diri yang lebih kuat.
Tidak ada lagi kekhawatiran akan cibiran Mansy dan ketusnya Mina. Terlebih lagi, tidak ada beban sebagai anak angkat. Dia akan menjalani hidupnya sendiri.
Pelan namun pasti, Milea akan membenahi hidupnya sedikit demi sedikit.
***
Dua bulan berlalu, Milea sudah wisuda dan telah mengirimkan ucapan terima kasih pada kedua orang tuanya. Rasanya menyakitkan saat hari dia diwisuda kedua orang yang telah berjasa untuknya tidak bisa datang. Mansy terus mengancam ibunya dengan kalimat yang kejam.
Milea mengalah dan tidak lagi berharap.
Mamanya memang terus bertanya kapan dia pulang, namun Milea memilih untuk tidak menjawab pesan tersebut. Baginya, menjauh dari keluarganya yang dulu akan membuat mereka hidup tenang.
Ibunya tidak pantas menerima perlakuan kasar Mansy, hanya karena mempertahankan hubungan dengan dirinya.
“Lho, kamu mengajar di sini?” seru Loka.
Milea yang baru selesai memasang kertas jadwal di papan depan gedung fakultasnya tercengang.
Kenapa dia selalu ada dalam setiap langkah Melia?
“Aku ngantar adikku yang baru masuk kuliah,” terang Loka padanya.
Milea mengangguk dan tersenyum samar. Kali ini tidak ada beban apa pun. Dia bisa menanggapi Loka dengan lebih baik.
“Makasih udah nyelametin aku waktu itu,” sambut Milea. Loka terkesima dengan tanggapan ramah Milea. “Maaf, aku nggak sempat mengucapkan terima kasih. Mungkin terkesan terlambat dan nggak sopan, tapi aku bener-bener bersyukur atas pertolonganmu.”
“Aku mendengar semua dari Mansy,” cetus Loka sambil menyalakan rokok. Milea menunduk.
“Semoga dia tenang menjalani hidupnya,” harap Milea dengan tulus.
“Ya, semoga,” timpal Loka.
“Aku harus mengajar, makasih sekali lagi,” pamit Milea dengan sopan.
Loka mengamati sosok gadis yang cukup mengisi benaknya beberapa waktu terakhir.
“Semoga kita bisa punya waktu mengobrol, bukan pertemuan singkat seperti ini,” harap Loka.
Milea berhenti melangkah dan menghela napas berat. Dengan sedikit enggan, ia menoleh. Matanya tampak kembali sendu.
“Aku nggak bisa, Loka. Maaf,” tolak Milea dengan wajah penuh sesal. Loka akhirnya menganggap jika gadis itu tidak memiliki perasaan yang sama.
“Nggak apa-apa. Selamat bekerja.”
Loka berbalik serta menjauh dengan langkah cepat dan Milea merasa serba salah. Namun apa boleh buat? Menerima ajakan Loka akan menjelaskan statusnya sebagai putri dari perebut kekasih orang!
***
Sebulan berlalu, Milea menjalani kehidupannya lebih tenang dan teratur. Ada kebebasan yang terasa menyenangkan saat tidak lagi terkungkung dengan beban yang dulu. Kelas baru saja selesai, Milea membereskan buku dan menutup laptopnya.
Ini sudah berjalan tiga bulan bagi Milea bekerja sebagai dosen sastra Inggris. Gajinya cukup bagus dan dia bisa menabung juga menghidupi diri sendiri.
Milea sudah memutuskan hubungan dengan ayah dan ibunya sama sekali. Terakhir dia menemui ibunya di tempat restoran favorit mereka, Mansy datang mendamprat dan memaki ibunya dengan sangat kasar. Dia tidak ingin menyusahkan kedua orang tua yang begitu berjasa untuknya.
“Kamu memang berbakat jadi seorang pengajar!” seru seseorang.
Milea menaikkan wajahnya dan Loka berdiri dengan tangan tersilang di dada.
“Apa maumu, Loka?” tanya Milea dengan tajam.
Loka terkejut. Tidak menyangka jika Milea kembali ketus padanya.
“Apakah kurang jelas aku katakan padamu, untuk menjauhiku? Tidakkah kamu pahami jika kita dekat, Mansy akan menghancurkan hidupku? Tuduhan sebagai anak hasil perselingkuhan itu akan terus melekat dan akan bertambah jika dia tahu antara kamu dan aku?!” pekik Milea tidak lagi menahan semua kekhawatirannya. Loka mematung. Mata Milea berkaca-kaca.
“Aku rasa, orang seperti kamu tidak akan pernah paham,” desis Milea dan menyambar tas serta meninggalkan Loka yang berdiri dengan ekspresi terluka.
-Bagian 4-
“Ada kiriman bunga, Bu!” seru Eko petugas OB yang sering membersihkan kantornya.
Milea mengerutkan kening dan menerima buket bunga tulip putih dengan heran. Ada kartu pengirim yang menuliskan beberapa kata puitis.
Dengan heran, Milea membaca deretan kalimat dalam bahasa Inggris tersebut.
‘The more you push me away, the more I want to be yours
Knowing you is the greatest experience in my life
Please allow me to cheer you up, and reduce your pain
Please remember, you’re not alone and I willingly wants to be your savior’
DW
Milea tidak memiliki teman dengan inisial DW. Memang hingga detik ini dirinya tidak memiliki teman ataupun sahabat dekat. Hanya rekan kerja dosen yang rata-rata sudah berkeluarga.
Milea menutup diri dengan rapat, karena profesinya sebagai pengajar akan hancur jika mereka mengetahui masa lalunya.
Menerima kejutan yang istimewa hari ini, membuat Milea menyadari bahwa tidak banyak hal menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya.
Sejak hari itu juga, Milea sering menerima kiriman bunga misterius. Selalu pengirim dengan inisial yang sama. Tidak ambil pusing, Milea menikmati perhatian yang sepertinya cukup menghiburnya tersebut.
Hari-harinya jauh lebih bersemangat dan ada gelitik rindu saat kiriman bunga terlambat hadir.
Pagi ini, Milea berharap kiriman bunga itu datang lagi. Dirinya butuh sesuatu yang mengingatkan jiwanya jika ia cukup berharga. Semalam dia mengalami kemunduran percaya diri.
Ternyata hidup sendiri tanpa keluarga dan teman apalagi sahabat lumayan membuatnya tersiksa. Kesepian mulai menderanya dan Milea ingin mencoba hidup yang berbeda.
Hingga menjelang sore, tidak ada satu pun bunga untuknya. Milea bertanya dalam hati. Kemana pengagum rahasianya?
“Eko, bunga untuk saya belum ada, ya?” tanya Milea dengan sungkan.
“Belum, Bu. Iya ya, tumben bapak itu nggak keliatan,” jawab Eko sambil berpikir.
“Bapak? Bapak yang mana?” tanya Milea heran. “Bapak pengirim bunganya?” sambung Milea penasaran.
“Bapak-bapak ganteng, Bu. Kayaknya bukan tukang kirim bunga, deh. Pakaiannya rapi kayak orang kantoran. Ada logo di dadanya, bank apa gitu. Saya lupa,” jawab Eko.
Deg. Hati Milea bergetar.
“Kamu masih inget wajahnya?” tanya Milea kembali.
“Masih dong, Bu. Kan orangnya baik banget. Saya selalu dapet tips yang lumayan buat tambahan isi bensin. Hehehe.” Eko mengiyakan dengan yakin.
“Apa yang ini?” tanya Milea, yang entah kenapa menunjukkan foto Loka dari sosial media Mansy.
“Lho bener, Bu. Kok Ibu kenal? Katanya bingung dari siapa?” tanya Eko heran.
Milea terdiam dan akhirnya tersenyum kikuk.
“Saya lupa,” sahut Milea asal.
Eko berlalu dengan geleng-geleng kepala.
Milea terdiam membeku di tempat duduknya. Jadi selama ini dia? Kenapa bunga itu berhenti terkirim? Apakah Loka mulai merasakan jika ini semua akan sia-sia? Bukan hanya Loka yang pernah Milea kecewakan. Beberapa pria yang mengajaknya berkencan juga berakhir dengan penolakan.
Namun jika Melia ingin jujur, mungkin Loka adalah pria yang mulai mendapatkan tempat istimewa di hatinya. Setiap dia melihat dari jauh ketika Loka mengantar adiknya kuliah, pria itu selalu melambaikan tangannya.
Dari postingan Mansy, Melia juga menemukan jika kakak tirinya masih belum bisa berpindah hati. Dia tetap memberikan komentar pada postingan Loka, meski tidak pernah pria itu balas.
‘Mungkin Loka udah capek berusaha,’ batin Milea dengan kecewa dan mencoba melupakan.
***
Semakin hari, Milea makin merindukan kartu ucapan yang biasanya kirim Loka. Salahkah dia kini berharap? Milea terkadang membaca kembali kartu-kartu tersebut. Tidak ada yang memahami cinta seorang gadis kuper dan minder seperti Milea.
Meskipun Milea sadar jika dirinya bukan satu-satunya manusia yang terlahir dengan cara memalukan, tapi dia tidak pernah merasa cukup baik untuk menjalin hubungan.
Rasa enggan karena reaksi Mansy yang akan menerornya juga menjadi pertimbangan Milea untuk berkata tidak pada uluran tangan Loka.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Milea butuh seseorang yang menunjukkan kesungguhan untuk mencintai dirinya. Setelah mengetahui siapa pengirim bunga selama ini, Melia merasa jika Loka telah membuktikan itu.
Setahun sejak jumpa pertamanya, dia menjadi tergoda untuk membalas perasaan yang sama.
Tapi apa gunanya sekarang? Mungkin Loka sudah menyerah dan tidak lagi berharap. Milea menyesal dengan sangat.
Kesempatannya untuk bahagia telah hilang. Kenapa sulit bangkit dari kisah pilu yang mencengkeram hidupnya? Mungkinkah dia masih bisa memperbaiki?
Sebuah kartu terjatuh dan Milea memungut dari lantai. Untaian kata yang tertuang memberi harapan yang begitu besar.
‘Aku tidak akan pernah berhenti mengagumimu, Milea. Jika suatu saat kau sudah memiliki keputusan, sepahit apa pun itu, aku berharap mendengar sendiri darimu.’
Milea mengambil kesempatan itu dan memutuskan mencari Loka.
***
Milea merasakan lututnya gemetar. Adik Loka yang menjadi mahasiswa di kampusnya, memberitahu jika Loka mengalami kecelakaan dan kini terbaring di bawah tanah pusara. Nisan itu jelas tertulis nama yang belum sempat dia ketahui.
Diloka Wiratama.
DW. Itulah singkatan nama Loka selama ini. Milea hanya mengetahui sepenggal nama panggilan saja selama ini.
Harapannya pupus dan cintanya menjadi luka juga duka yang mendalam. Loka tidak sempat mendengar kata cintanya. Hatinya terasa sakit, namun perasaan Milea terlalu kebas untuk membuat air matanya menetes. Rasa syok yang kini menyelimuti jiwanya, membuat Milea berusaha membangun benteng untuk menjaga emosinya meluap.
"Bu Milea?" panggil adik Loka.
Milea menoleh. Adiknya mengulurkan sebuah kartu.
"Titipan bang Loka, terakhir kali," ucap adiknya.
Milea terkejut. Selain tidak ada kesan duka, adiknya juga terlihat tidak bersedih.
Mungkin dia sudah ikhlas dan merelakan kepergian kakaknya.
Tapi itu tidak mudah baginya. Loka seharusnya menjadi pria pertama yang ada di hati Milea.
“Bang Loka pesan nggak boleh kasih tahu Bu Melia mengenai kepergiannya. Kartu itu bisa saya serahkan jika ibu datang mencarinya.” Penjelasan adik Loka membuat Milea makin terpukul.
Milea akhirnya menerima kartu itu dan membaca dengan dada berdebar juga tangan gemetar.
'Part of me will wait for you under the rainbow. Even for a thousand days, my love for the one and only, Milea Nektarini.'
Milea tergugu. Pertahanannya runtuh dan air mata itu mengalir tanpa henti. Mungkin itu tulisan terakhir Loka. Dia akan menyesal seumur hidup!
-Bagian 5-
Setahun berlalu sejak Milea meninggalkan lokasi pemakaman yang menggoreskan luka mendalam untuknya. Hidup dalam penyesalan memang tidak menyenangkan. Semua hal serba mengingatkan dia pada satu sosok hangat, Loka.
Milea berjalan di antara pohon mahoni kampusnya. Buah mahoni yang berbentuk seperti sendok sangat menarik perhatiannya. Melia memungut satu biji dan mengamati dengan seksama. Dia teringat akan kenangan masa kecil yang sebetulnya menggoreskan luka yang lebih dalam.
Masa lalunya tidak ada satu pun kenangan indah jika mengingat perlakuan Mansy dan Mina. Masa depan juga terasa suram.
Seketika Milea tidak memiliki alasan untuk hidup. Rasa putus asa mendera jiwanya.
Langkah kaki itu terus menuju ke sebuah tempat yang ia selalu hindari, jembatan.
Ya, dorongan untuk mengakhiri hidupnya sering mendominasi benaknya. Semakin dia mencoba menghindar, dorongan itu semakin kuat. Kini ia berdiri di atas jembatan yang menghubungkan perbatasan kota. Sungai yang deras mengalir di bawahnya.
Milea merasa bimbang dan berpikir.
Bagaimana rasanya terjun dan berada di bawah sana?
Apakah kematian yang menjemputnya nanti akan mudah? Atau menyakitkan?
Dengan gemetar, ia menyusup di antara celah pagar besi yang menjadi pemisah dengan jalan raya. Tangannya ke belakang untuk mencengkeram erat-erat pagar tersebut.
Kepalanya kemudian menunduk dan menatap ke aliran air dengan mata berkaca-kaca.
Tidak ada lagi alasan bagi dirinya untuk melanjutkan hidup.
"Pada saat seseorang yang tenggelam, refleks pertama adalah berusaha mencari udara. Air kemungkinan akan mulai masuk dan memicu reaksi laryngospasm. Reaksi ini yang membuat pita suara mengencang menutup saluran udara demi melindungi paru-paru. Suplai oksigen berkurang dan orang yang tenggelam pun akan terkena hipoksia yang membuat kesadarannya hilang. Tubuh masuk fase relaksasi sehingga air bisa mengisi paru-paru. Percayalah, itu bukan proses yang menyenangkan," ucap seseorang dengan nada tenang tapi cepat.
Milea terkejut dan menoleh. Loka? Atau dia hanya berhalusinasi? Milea melihat mobil berwarna hitam terparkir. Itu bukan mobil Loka!
"Lo-Loka?" ucap Milea mencoba meyakinkan diri.
"Loki. Aku Loki, saudara kembar Loka. Entah bagaimana kamu bisa kenal dia, tapi aku rasa kita harus nyari tempat yang lebih nyaman untuk ngobrol," ajak Loki dengan senyum yang sama. Seketika hati Milea menjadi hangat.
***
"Jadi kamu adalah gadis yang selalu Loka katakan?" ucap Loki dengan kagum.
Milea tersipu. Betapa semesta bekerja dengan sangat aneh dan misterius.
"Mungkin, antara aku dan Loka juga nggak sempat dekat."
Milea kembali terhempas pada ingatan masa lalu. Loki tidak menanggapi dengan kalimat menghakimi. Pemuda itu hanya tersenyum dengan sudut bibir yang sama, seperti mendiang saudara kembarnya.
"Mari kita mulai dari awal lagi," pintanya.
Milea terkesiap. Dia seperti melihat sosok Loka dalam diri Loki. Betulkah manusia kembar berbagi hati yang sama?
Karena mulai saat itu, Milea merasakan perhatian dan cinta yang sama dari Loki. Semua seakan melanjutkan apa yang telah tertinggal.
"Milea, aku akan menjemputmu sore ini."
Isi pesan dari Loki. Milea tersenyum. Dia merasa lebih bersemangat menjalani hari, walau masih ada ragu yang mengganjal.
"Ada yang ingin aku tunjukkan," ucap Loki ketika mereka bertemu.
Milea hanya tersenyum kikuk. Loki membawanya ke salah satu ruangan khusus, di tempat dia bekerja. Loki adalah dokter.
"Mereka adalah perempuan yang telah melewati proses panjang untuk sembuh dan mencintai diri sendiri," cetus Loki dengan hati-hati.
Milea seperti tertampar. Celah jendela yang menjadi satu-satunya akses untuknya menyaksikan pemandangan itu seperti tontonan yang menyindir tanpa ampun.
"Mereka melewati pengalaman yang kurang menyenangkan, tapi mampu bangkit dan kini tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu."
"Kamu menganggap aku stres?" tanyanya sinis. Loki seketika serba salah.
"Bukan stres, tapi depresi. Tindakanmu tempo hari harus ditangani lebih lanjut. Kamu bisa menyembuhkan luka batin, asalkan membuka diri, Mil," sahut Loki masih dengan pilihan kalimat yang baik.
"Lupakan! Aku bukan orang gila!" Milea meninggalkan Loki dengan sangat tersinggung. Dia tidak menyangka jika Loki menganggap dirinya seorang pesakitan.
***
Milea akhirnya diam-diam mencari tahu. Setelah mengumpulkan informasi lengkap, semua gejala yang ia miliki memang mengacu pada depresi.
Ada penolakan hebat dalam dirinya. Menganggap semuanya baik-baik saja dan normal. Ternyata semua itu adalah penyangkalan.
***
Loki menunggu dengan raut cemas saat Milea berjalan keluar dari kamar.
"Maafkan, aku. Seharusnya sedikit bersabar dan pelan-pelan menjelaskan," sesal Loki.
Milea duduk di sebelahnya. Bangku sederhana di teras itu cukup menciptakan suasana yang nyaman untuk Milea mengakui semua. Ia sengaja mengundang Loki ke rumah untuk mendengar semua pengakuannya.
"Kamu benar, aku sakit dan rapuh. Aku pengen sembuh dan nggak lagi menyangkal. Maukah kamu membantuku?" cetus Milea dengan susah payah.
Loki tertegun lalu mengangguk cepat dengan haru. Dia merengkuh Milea dalam dekapan hangatnya.
"Aku akan selalu ada untukmu, percayalah," bisiknya dengan sungguh-sungguh.
***
Ingin tidak mempercayai, namun kisah cinta itu telah menjadi miliknya. Milea akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bahagia.
"Kamu nggak sendiri, Milea!" seru Loki saat berdiri di tengah taman kampus dengan kedua orang tuanya.
Pria itu sedang meyakinkan dirinya untuk melangkah menuju jenjang lebih serius. Dukungan segenap keluarga Loki untuk mereka.
Milea melangkah dengan wajah tegang, menuju Loki berada. Seluruh mahasiswa beserta rekan sesama dosen terdengar mendukung dengan teriakan antusias.
"Aku akan selalu ada untukmu. Part of me will hold you under the rainbow. Even for a thousand days, my love always for the one and only, Milea Nektarini!" serunya sembari mengulurkan kartu yang sama dan mirip dengan yang Loka berikan untuknya.
Seketika lututnya terasa lemas dan Milea berhenti melangkah, tepat di hadapan Loki. Tangannya tampak gemetar menerima kartu tersebut.
Matanya yang sudah basah membaca tulisan tersebut dan tangisnya pun meledak.
Milea tergugu dengan bahu terguncang. Loki meraih tangan Milea dengan lembut.
"Aku menerima kartu yang sama, di hari Loka tiada." Penjelasan Loki menghentak jiwa Milea.
"Kurasa Loka ingin aku melanjutkan cinta yang memang layak untuk kau terima."
Sesaat seperti sedang berada dalam dunia fantasi, Milea melihat pelangi menaungi mereka dengan indahnya.
Wanita itu tertawa dalam tangis. Setelah seribu hari, tiga tahun lamanya dia menunggu, cinta itu kini sepenuhnya untuk dia.
"Yes, I do," jawab Milea tidak lagi ragu.
Loki kemudian meraih sesuatu dari sakunya dan membuka kotak kecil tersebut. Dengan gugup, pria itu menyelipkan cincin lalu menyentuh hangat bibir wanita pilihannya!
Sorak sorai penuh kegembiraan memenuhi taman kampus. Kedua orang tua Loki mendekat dan tampak turut bahagia.
Milea menikmati sentuhan penuh cinta itu dan seluruh bebannya terangkat.
Janji pelangi yang pernah Loka janjikan untuk Milea, terpenuhi oleh bagian jiwanya yang lain, Loki.
Tidak pernah Milea merasakan penyesalan saat ini. Hidupnya yang dulu begitu tidak ia inginkan, kini menjadi lebih berwarna.
-T A M A T-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H