Di sebuah SMA di pinggiran kota, dua bintang bersinar terang di antara ribuan cahaya. Mikael dan Alea, dua nama yang selalu bersanding di papan pengumuman prestasi, bersaing dalam persahabatan yang tak terucap. Seperti dua pelari dalam maraton kehidupan, mereka saling mendorong untuk menjadi yang terbaik, menyadari bahwa kehadiran satu sama lain adalah bahan bakar yang membuat mereka terus melangkah maju.
Mikael, dengan ketenangannya, bagaikan pohon yang kokoh berdiri di tengah badai, selalu teguh dan mampu menghadapi segala tantangan. Sementara itu, Alea bagaikan cahaya pagi yang menerangi jalan, memberikan semangat dan inspirasi kepada siapa pun yang berada di sekitarnya. Keduanya saling melengkapi, menciptakan harmoni yang sempurna dalam dunia akademis mereka.
Suatu sore, di bawah rindangnya pohon tua di sudut taman sekolah, Mikael dan Alea duduk bersandar. Suara gemerisik daun dan kicauan burung menjadi latar belakang obrolan mereka.
“Lo pernah mikir engga, El, kalau waktu itu kayak bayangan yang terus ngikutin kita?” tanya Alea tiba-tiba, sembari melihat ke langit yang mulai berubah jingga.
Mikael tertawa kecil. “Bayangan? Hahaha, novel apa lagi yang abis lo baca?”
“Beneran, deh. Kadang gue ngerasa takut. Takut kalau waktu tiba-tiba habis dan gue belum sempat ngelakuin semua yang gue mau,” lanjut Alea dengan nada serius.
Mikael terdiam, menyadari ketakutan yang mendalam di dalam diri Alea.
“Kalau gue bisa, gue mau minta sama waktu buat kasih kita lebih banyak kesempatan. Biar kita bisa terus bareng-bareng,” ucap Mikael pelan.
Hari-hari berlalu, dan mereka tetap menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Mereka menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, saling membantu mengerjakan tugas, atau sekadar duduk berdua di kantin, berbicara tentang segala hal.
Namun, ada sesuatu yang mulai berubah pada Alea. Seperti pohon yang kehilangan daunnya di musim gugur, ia semakin sering tampak lelah dan tidak bersemangat.