Apakah suatu saat keadaan negeriku sangat berhubungan dengan manusia di depanku? Tetapi semua itu tetap tersimpan di dalam hatiku. Aku tidak berani mengemukakannya kepada manusia di depanku itu. Tetapi entah mengapa tetap saja ada suatu perasaan tertentu yang sulit kulukiskan yang terus bergerak di dalam dadaku. Ya, mudah-mudahan saja apa yang kurasakan akan menjadi kenyataan dan benar adanya.
A: “Aku sangat bahagia sekali dikunjungi dan dapat bersilaturahmi dengan manusia lainnya. Apalagi seorang manusia yang masih hidup yang memiliki kemampuan sepertimu. Aku sudah lama tidak berkomunikasi seperti ini. Aku sungguh sangat senang dapat bertemu denganmu saudaraku. Sekaligus, akupun merasa bangga melihatmu sebagai generasi muda telah memiliki kemampuan seperti itu. Bolehkah aku menyampaikan pesan kepadamu saudaraku.”
MT : “Silahkan”
A: ”Aku sangat berharap sekali generasi‐generasi setelah kami, seperti dirimu saudaraku. Mudah‐mudahan saja di tangan generasi muda sepertimu, bangsa dan negara kita akan jauh lebih baik dari saat ini. Tetaplah menjaga semangat mudamu agar selalu membara. Semangat yang begitu besar dan tidak mudah putus asa terhadap apapun. Aku titipkan dan berharap kepadamu saudaraku, semoga kamu bisa meneruskan perjuangan dan usaha yang telah kami lakukan dahulu, walaupun masih jauh dari sempurna, tetapi janganlah biarkan air mata dan darah yang telah kami tumpahkan, menjadi tak berarti.”
MT : “Saya hanya manusia biasa Pak, bukan siapa‐siapa. Mengapa Bapak menitipkan bangsa dan negara ini?”
A: “Ya, saudaraku. Entah mengapa ada secercah harapan ketika aku melihatmu. Aku yakin! Dibalik kesederhanaan dan apa adanya dirimu saudaraku, kau pastilah menyimpan sesuatu yang besar. Karena, bila Yang Maha Kuasa memberikan anugerah dan kemampuan kepadamu, pastilah bukan tanpa maksud.”
MT : ”Saya‐kan sudah mengatakan Pak! Saya ini hanya manusia biasa. Tidak mengerti urusan negara. Mengapa Bapak tidak menyampaikan atau menitipkannya kepada pemimpin, ataupun keturunan Bapak?”
A: ”Selama aku di sini, aku belum pernah berhubungan dengan manusia hidup di dunia. Bagaimana mungkin aku bisa bersilaturahmi, sedangkan dengan keturunanku saja, aku tidak bisa. Sedangkan aku sendiri, tidak mampu untuk menghubungi mereka semua. Hanya saudarakulah manusia pertama dan mungkin pula satu‐satunya yang masih hidup yang bersilaturahmi kepadaku.Tadinya aku memang sangat berharap dapat melihat atau berkomunikasi dengan para keturunanku, tetapi kenyataannya seperti ini. Entah bagaimana keadaan dan apa yang tengah mereka lakukan”
MT : “Aku bisa saja dengan izin Yang Maha Kuasa memperlihatkan keadaan negeri ataupun keturunanmu, Pak. Tetapi mungkin lain waktu pada pertemuan berikutnya, karena aku hendak pamit untuk pulang kembal ke dunia.”
A: “Mengapa begitu cepat saudaraku? Aku sungguh sangat bahagia sekali dengan pertemuan kita ini. Aku berharap saudaraku akan mengunjungiku kembali.”
MT: “Mudah‐mudahan dengan izin Yang Maha Kuasa, dengan senang hati aku akan bersilaturahmi kembali. Baiklah Pak, aku pamit dulu. Assalamu’alaikum.”A: “Wa’alaikumsalam.”