Mohon tunggu...
Humaniora

Surga Tempat Bercahaya di Dalam Alam Keabadian Kisah Nyata Seorang Manusia yang Telah Mencapainya

13 Desember 2016   23:11 Diperbarui: 1 Januari 2017   07:10 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MT : “Nama saya…(Manusia yang mendapat petunjuk). Saya mengenal manusia di alam cahaya sebagai salah satu pemimpin bangsa. Karena sayapun tinggal di negeri yang pernah manusia di alam cahaya pimpin.”

A: “Jadi saudaraku ini berasal dari negeri yang sama denganku ketika aku masih hidup? Apakah yang telah saudaraku lakukan sehingga memiliki kemampuan dan anugerah sebesar ini dari Yang Maha Kuasa?”

MT: “Iya. Saya memang mendapatkan semua itu langsung dari Yang Maha Kuasa dan juga dari para orang tua dan utusan‐Nya yang mulia. Mungkin di lain waktu, saya akan menceritakannya kepada manusia di alam cahaya”

A: “Saudaraku, bolehkah aku bertanya? Karena saudaraku berasal dari negeri tempat tinggalku dahulu, bagaimanakah keadaan bangsa dan negeriku saat ini. Apakah keadaannya telah jauh lebih baik dari keadaannya saat kutinggalkan dahulu? Ataukah keadaan bangsa dan negeri yang kucintai itu dalam keadaan sebaliknya?”

MT: “Iya, Negeri kita sesungguhnya adalah negeri yang makmur dan sejahtera. Tetapi sayangnya, semua pemimpin setelah manusia di alam cahaya, hanyalah memikirkan kepentingan pribadi saja, sehingga mereka tidak menjalankan amanat untuk kesejahteraan rakyat.”

A: “Berarti keadaan bangsa dan negeriku, tidaklah baik saudaraku? Seperti apakah keadaannya, dapatkah saudaraku menjelaskannya kepadaku?”

MT : “Iya! Keadaan bangsa ini masihlah jauh dari apa yang diharapkan. Kita adalah bangsa yang kaya raya, tetapi karena dipimpin oleh orang‐orang yang tak bernurani, maka keadaan bangsa inipun seperti terpuruk.”

Aku sangat terkejut mendengar itu, tak terasa air mata seperti hendak menetes, karena aku tidak membayangkan dan tidak menyangka, bahwa keadaan bangsa yang kutinggalkan ternyata tidak lebih baik dari yang diharapkan.

A: “Aku sendiripun bukanlah pemimpin yang sempurna saudaraku. Aku tahu, dahulu masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kulakukan. Tadinya aku sangat berharap, negeri yang telah dibangun dari air mata dan darah para pejuang, dapat diteruskan dan menjadi lebih baik ditangan para pemimpin‐pemimpin sesudahku. Aku sangat berharap, siapapun mereka yang memimpin negeri ini dapat memperbaiki segala kesalahan dan kekurangan yang telah kami semua lakukan dahulu. Tapi ternyata, keadaannya tidak seperti yang kami harapkan.”

Sebenarnya banyak yang hendak kutumpahkan saat itu. Tetapi kata-kata seperti tertahan ditenggorokanku. Aku tidak kuasa membayangkan. Karena selama ini aku tidak pernah bisa melihat kepada bangsa dan negeriku. Karena aku memang tidak memiliki kemampuan apapun untuk melakukannya.

Akupun terus memandang kepada manusia di depanku. Di tengah rasa kesedihan yang kurasakan, tiba-tiba saja di dalam dadaku ada suatu rasa seperti sebuah harapan yang mencuat di tengah keputusasaan. Harapan yang tiba-tiba saja mengarah kepada manusia di depanku. Dalam hatiku berkata, bila Yang Maha Kuasa saja telah membimbing dan memberikannya anugerah yang begitu besar secara langsung, berarti Yang Maha Kuasa pastilah mempunyai rencana tertentu terhadap manusia di depanku ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun