Kini tangan papa yang membantuku untuk bergerak masuk ke dalam rumah. Aku dan papa nyaris berbarengan mengajak Mba Lidya untuk ikut masuk juga. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di sofa ruang tamu, disusul Mba Lidya yang duduk di sampingku setelah dirinya dipersilahkan duduk oleh papa.
Lalu Mama muncul dari ruang tengah mengenakan daster abu-abu kesayangannya bersama sebuah rol besar yang masih terpasang di bagian atas dahinya, menggulung rambut bagian poniya.
Astaga.. Sejak kapan Mama memiliki poni?! Apa tadi siang beliau memotongnya? Sudahlah..
"Eh Amel kenapa??" Mama mendekat padaku namun papa malah menghilang, mungkin beliau ke dalam hendak mengambilkan minum untukku dan Mba Lidya. Hmm.. Papa memang sangat telaten dan tanggap situasi.
"Pusing Ma.. Sakit, kepala aku.."
"Sudah minum obat belum? Ini teman mu?" Mama tersenyum ramah kepada Mba Lidya.
"Eh iya, ini Mba Lidya Ma.. Yang punya kedai."
"Oh.. Ya ampun.. Maaf ya Mba, ngerepotin. Aduh.. Sudah mau nganterin Amel.."
"Iya Ibu, Saya Lidya. Ngga apa-apa, tadi Amel sudah pucat banget. Baru makan roti aja, belum sempat makan nasi. Saya tawarin obat tapi ngga usah katanya."
"Hmm.. Amel, Mama ambilin makan deh ya. Sama itu.. Teh anget ya. Mba Lidya, tunggu ya, mau minum teh atau kopi?"
"Ngga usah repot-repot Ibu. Yang penting Amel aja dulu."