Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Duke's Daughter (Bagian 11 - 15)

29 Desember 2023   08:50 Diperbarui: 29 Desember 2023   08:56 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

11. Seperti Penguntit

Tiga hari berselang dan sudah tiga hari berturut-turut itu juga Matias berusaha menemui gadis yang disukainya di toko roti. Tapi, selalu saja pada akhirnya dia pulang dengan membawa kekecewaan. Sesungguhnya dia sudah meniatkan diri untuk bisa berteman lebih dekat dengan Nivea. Dan jika itu sudah berjalan lancar, maka dia akan mengutarakan maksud hati yang selama ini dipendamnya.

Di hari keduanya Matias mengunjungi toko itu, dirinya mulai merasa ada yang aneh. Dia mulai tidak mempercayai perkataan Seri. Ditambah lagi Seri dan Clara sempat tidak kompak dalam menjawab pertanyaan darinya. Matias mulai curiga, sepertinya Nivea memang sengaja menghindar darinya.

Lantas jika itu memang benar, dimana letak kesalahannya hingga Nivea tak mau bertemu dengannya? Lelaki itu benar-benar penasaran, maka dia tetap berniat datang di hari ketiga pada jam yang berbeda. Dia berencana datang kesana saat pagi hari.

Matias bersembunyi di balik dinding bangunan yang berada di seberang toko roti milik Nivea. Dari jarak yang cukup jauh kedua matanya tetap mampu menangkap keberadaan Nivea disana. Dia menunggu hingga Nivea benar-benar masuk ke dalam tokonya untuk waktu yang cukup lama.

Sayangnya, seorang pelanggan menyadari keberadaan Matias di kejauhan sana. Dan mengatakannya kepada Nivea.

"Nona, sepertinya ada seseorang yang mengintai tokomu dari balik dinding itu." seraya berbalik badan wanita itu mengarahkan pandangan Nivea ke arah yang dimaksudnya.

"Ah, sejak kapan Anda melihatnya, nyonya?"

"Sejak Saya baru tiba disini, tapi Saya rasa... orang itu belum lama pergi dari sana."

Nivea terdiam, menggembungkan kedua belah pipinya, masih memandang ke arah sana.

"Saya pikir Anda dan para pekerja disini harus selalu berwaspada, nona. Bisa saja orang itu... mata-mata perampok."

Dan Nivea pun membelalakkan matanya mendengar hal itu. "Ah, tentu nyonya. Kami akan selalu berwaspada dengan orang-orang yang mencurigakan di sekitar kami. Terima kasih Anda telah mengingatkanku."

Wanita yang tampak datang dari kalangan menengah itu, beranjak pergi dari sana setelah menutup perbincangannya dengan Nivea.

"Seri!"

"Ya nona." gadis yang selalu tampil dengan gaya rambut ekor kuda itu menghampiri nonanya secepat kilat.

"Kita akan pergi sekitar jam tiga sore dan langsung kembali ke rumah. Jadi sekarang, kerjakan apapun yang bisa meringankan pekerjaan Clara dan David!"

"Baik nona. Saya mengerti."

Mendadak Nivea merasa kesal, dirinya jadi tidak leluasa. Hatinya jadi tak tenang, karena lelaki itu tampak terus berusaha ingin menemui dirinya. Apakah yang dikatakan selama ini oleh Seri adalah hal yang benar? Bahwa kakak kelasnya di perguruan ketiga itu menyukai dirinya. Nivea pikir, dirinya harus segera menghentikan hal itu. Dia harus mencegah Matias kembali mengunjungi toko rotinya.

"Sebenarnya, kita mau kemana nona?" tanya Seri penasaran. Kini keduanya sudah berada dalam kereta kudanya hendak mencapai suatu tempat.

"Ikut saja Seri! Tolong jangan bertanya apapun." kalimat bernada datar itu sudah cukup membungkam mulut Seri.

Beberapa menit kemudian, kereta mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu gerbang kediaman yang tampak asing bagi Seri dan Nivea sendiri. Beruntung sang kusir, tuan Willy tahu persis dimana letak tempat yang menjadi tujuan nonanya kali ini.

Untuk sesaat beliau mengatakan niat kedatangan mereka kepada seorang penjaga pintu gerbang disana. Namun volume suara kedua lelaki yang berbincang itu tak dapat ditangkap oleh telinga Seri, sehingga dirinya semakin penasaran.

Dalam beberapa menit ke depan, akhirnya pertanyaan dalam benak Seri telah terjawab. Ketika seorang lelaki bertubuh tegap mengantarkan mereka sampai ke dalam. Terdengar lelaki itu sempat menyebut nama seorang penghuni kediaman itu, sebelum berlalu pergi meninggalkan mereka.

Dengan langkah anggunnya Nivea memasuki ruang tamu keluarga Lawrence, sembari kedua tangannya mengangkat sedikit bagian depan gaun hijau toscanya. Seri yang mengekori di balik tubuhnya, berusaha menyeimbangkan langkah.

Sedang Martha sudah berdiri di depan salah satu kursi tamu sejak beberapa menit lalu, saat dia menerima kabar dari seorang penjaga kediamannya bahwa Nivea datang dan ingin menemuinya.

"Selamat sore nona Martha."

"Ah, selamat sore Nona Nivea. Silahkan duduk." ucap Martha sambil sedikit membungkuk dan kemudian dirinya duduk pada kursi di balik tubuhnya.

Nivea pun mengangguk dan segera duduk, dengan Seri yang tetap berdiri di balik kursi Nivea.

"Terima kasih. Hmm.. Apa aku mengganggu waktu sore Anda?"

"Tidak nona Nivea. Tidak sama sekali." jawab Martha diiringi senyumnya.

Lalu pembicaraan mereka terjeda sesaat ketika pelayan keluarga Lawrence menyuguhkan dua cangkir teh hangat beserta biskuit di meja bundar yang ada di tengah-tengah mereka.

"Apa yang... bisa ku bantu sehingga Anda repot-repot datang kesini, nona?"

"Hmm.. Bagaimana mengatakannya ya.. Maaf aku tidak bermaksud menyinggungmu, tapi tolong katakan pada kakakmu...." Nivea menggantung kalimatnya, membuat Martha memberi ekspresi penasaran.

"Ya? Apa yang harus aku katakan padanya?"

"Maaf jika kau tersinggung, tapi aku.. tidak menyukai kakakmu."

Sekejap kedua mata Martha membulat mendengar kalimat itu, "Apa Matias membuat onar?"

"Ah, tidak.. tidak.. Tapi, dia selalu berkeliaran di depan toko rotiku. Dan itu membuatku.. ah bukan, bukan hanya aku tapi, beberapa pelangganku merasa tidak nyaman."

Martha menyunggingkan senyum tipis dan berkata, "Baiklah nona Nivea, aku akan menyampaikan padanya ketika dia tiba nanti. Maaf jika harus membuatmu merasa tidak nyaman."

"Ah, hahaha. Ya, kakakmu jadi tampak seperti penguntit jika dia terus berada di dekat toko ku." dengan tawanya yang khas Nivea menutupi rasa tidak enaknya membahas soal ini kepada Martha.

Kalimat itupun dibalas anggukan beserta senyum oleh Martha yang kemudian mempersilahkan Nivea untuk meminum secangkir tehnya. Keduanya pun menyesap teh mereka masing-masing hampir bersamaan.

"Terima kasih nona Martha, atas jamuan Anda. Sebaiknya aku pergi sekarang."

Nivea pun berdiri dan sedikit membungkuk ke hadapan Martha yang juga sudah bangkit dari duduknya, membalas salam tamunya.

"Baik nona Nivea, berhati-hatilah di jalan."

Nivea terpaksa mengatakan semua hal yang cukup menyinggung Martha, bahkan mungkin lelaki itu akan menilai dirinya sudah besar kepala, ketika nanti adik perempuannya itu menyampaikan maksud kedatangan Nivea sore ini ke kediaman mereka. Nivea juga tidak peduli jika dirinya dinilai terlalu percaya diri sudah menganggap Matias menyukai dirinya.

Semua itu dia lakukan untuk mencegah, jangan sampai Matias terlalu jauh menyukai dirinya. Karena yang masih dia ingat, wajah Matias tak ada bedanya dengan wajah lelaki dalam lukisan usang yang ditunjukkan oleh kakeknya dalam mimpi yang terakhir kali. Jika semua itu bukan lelucon, maka Matias adalah reinkarnasi dari lelaki yang begitu dicintai oleh gadis pelayan kerajaan, ratusan tahun yang lalu.

Betapa mengerikannya, saat membayangkan takdir apa yang menanti di depan sana jika Matias sampai tergila-gila padanya. Mungkinkah lelaki itu akan mati konyol, tersiksa karena cintanya? Seperti yang kakek bilang, bahwa kutukan itu bersifat terbalik.

Nivea hanya sibuk mencegah agar Matias tidak semakin menyukai dirinya. Dia tidak sadar bahwa dengan cara menerima perasaan Matias padanya, maka lelaki itu tidak akan mati konyol dengan membawa cinta yang bertepuk sebelah tangan.

"Kau bodoh Nivea! Bukankah semua orang pada akhirnya akan mati? Kenapa kau begitu mengkhawatirkan Matias? Tidak! Aku hanya tidak ingin menjadi penyebab matinya seseorang." ucap Nivea pada dirinya sendiri di depan cermin meja riasnya. Suara gemericik hujan diluar sana malam ini, tiba-tiba saja terasa sangat menyentuh relung hatinya.

12. Kucing Jantan

Jam sudah menunjukkan pukul 10.15 malam dan gadis dengan gaun tidur berwana putih gading itu masih saja mondar-mandir di dekat pintu utama rumahnya. Hingga saatnya terdengar seseorang membuka tuas pintu itu dari luar.

"Kau belum tidur, Martha?"

"Ah.. Akhirnya kau tiba juga."

"Apa kau menungguku sejak tadi?"

"Benar Kakak! Apa kau terjebak hujan?"

"Hmm. Ya, tapi hari ini aku memang cukup sibuk di perkebunan." jawabnya seraya melangkah lalu duduk pada salah satu kursi disana. Diikuti gerakan Martha yang juga mulai duduk di hadapannya.

"Tadi sore dia kesini menemuiku. Nona Nivea datang dan bicara padaku."

"Kau bercanda Martha?"

"Tidak Kakak! Aku tidak bercanda."

"Lalu, untuk apa dia kemari? Dia mencarimu?"

"Aku rasa sebetulnya... dia mencarimu Kak. Tapi karena kau tidak di rumah, maka dia mengatakan apa yang ingin dikatakannya padamu melalui aku."

"Benarkah? Apa yang dikatakannya?"

"Nona Nivea dan beberapa pelanggan toko rotinya... merasa tidak nyaman kalau kau terus berkeliaran di dekat toko."

"Apa? Hahaha.. Dia mengatakan hal seperti itu padamu?" lelaki itu bergerak condong ke depan, memastikan telinganya tidak salah menangkap ucapan adiknya.

"Ya! Apa... yang dikatakannya itu benar?"

"Hmm! Aku memang pergi kesana untuk menemuinya beberapa hari belakangan ini. Tapi, pelayannya selalu mengatakan dia tidak datang ke toko."

"Untuk apa kau ingin menemuinya?"

"Kau tahu Martha, sejak dulu aku sangat menyukainya dan waktu akan terus berjalan, aku harus cepat mendekatinya sebelum orang lain merebutnya dariku."

"Sudahlah Kak! Kau jangan mendekati nona Nivea lagi. Cari saja gadis lain untukmu!"

"Tidak Martha! Aku sangat menyukainya."

"Kenapa kau begitu menyukai nona Nivea?"

"Dia... Entahlah Martha, aku tidak tahu. Apakah butuh alasan untuk menyukai seseorang? Dan waktu itu... dia juga sudah menolongku saat insiden ledakan di Jalan Hawkins."

"Apa? Memangnya... saat itu kau kenapa?"

"Aku sudah pernah mengatakannya, bukan? Kuncian pintu keretaku sudah lama rusak dan itu membuatku terkunci. Hanya tuan Luigi yang dapat membukanya dengan alat. Dan... entah bagaimana caranya, dia bisa membukanya dari luar."

"Tapi aku rasa, dia tidak tahu kalau dia yang telah menolongmu."

"Itu betul, aku tidak sempat mengucapkan terima kasih, karena waktu itu dia pergi terburu-buru setelah membukakan kuncinya. Ya, aku rasa semua orang begitu terburu-buru untuk pergi menghindar saat insiden itu."

Martha menghela nafas.

"Aku benci punya kakak yang bodoh sepertimu, Matias."

"Ayolah Martha, bantu aku merebut hatinya!"

"Tapi kau tidak perlu menungguinya dua puluh empat jam di depan toko rotinya! Kau bukan kucing jantan yang sedang birahi lalu membuntuti kemana pun betinamu pergi."

"Apa aku... tampak seperti kucing bodoh, Martha?"

"Ah! Sudahlah! Tak ada gunanya bicara denganmu." akhirnya Martha lebih dulu bangkit dari kursinya. Mendahului Matias yang masih termenung seorang diri disana.

Dengan sisa lelahnya hari ini, dia melamunkan gadisnya yang ternyata memang menghindar dari pertemuan dengannya. Teringat olehnya kejadian tadi pagi ketika dirinya yang sudah seperti penguntit itu, mengintai keberadaan Nivea dari balik dinding seberang toko rotinya. Tapi kenapa Nivea harus menghindar darinya? Matias merasa kalut, dirinya tak menemukan jawaban.

***

Sisa hujan semalam telah menyebabkan udara pagi ini terasa lebih dingin dibanding hari-hari kebanyakan. Namun semua orang berusaha keras memaksakan diri untuk memulai kegiatannya masing-masing seperti biasa. Padahal, udara yang seperti ini sangat memungkinkan untuk seseorang hanya berdiam diri di rumah, bersantai ria untuk lebih menikmati hari.

Dan anggota keluarga Lawrence telah berkumpul untuk memulai sarapan bersama. Mereka berbincang di sela waktu sarapannya.

"Kau pulang sangat larut, Matias?"

"Ya, hujan sangat deras Ibu. Aku harus menunggu sedikit reda agar tuan Luigi dapat mengemudikan keretanya dengan baik."

"Kau tenaga lapangan, Matias. Bukankah... waktumu cukup bebas? Kenapa kau tidak pulang saja, saat langit sudah tampak mendung?"

"Ada sedikit kekacauan pada pengelolaan perkebunan, Ayah."

"Benarkah?" sahut Martha.

Lelaki itu mengangguk pasti, "Ya! Tuan Carlos mencurigai laporan keuangan yang janggal, terkait pajak hasil perkebunan. Beliau mengeluhkan hal itu padaku, dan beliau... juga merasa perlu menyelidikinya."

"Apa tuan Carlos berencana menjadikanmu mata-mata, Kakak?"

"Jangan Matias! Itu cukup berbahaya. Kau akan berhadapan dengan orang-orang licik."

"Tidak Ayah. Beliau tidak memintaku memata-matai apapun. Beliau hanya sebatas mengeluhkan saja. Tentunya beliau merasa heran, beliau tak mengerti bagaimana kejanggalan itu bisa sampai terjadi."

"Tapi aku rasa, kakak cukup handal untuk memata-matai seseorang."

"Apa katamu, Martha?" tanya countess Victoria kepada anak gadisnya. Sedang Matias yang tersentak mendengar kalimat adiknya itu, membulatkan matanya kepada Martha agar dia tidak mengatakan apapun tentang Nivea di hadapan kedua orang tua mereka.

"Ah, itu.. Tidak Ibu! Aku hanya asal bicara saja. Hahaha.. Maafkan aku." jawabnya kemudian terdiam, menyabet segelas air putih dan meminumnya.

Setelah selesai dengan sarapannya, mereka pun berhamburan satu persatu dari kursinya. Dan mulai melakukan kesibukannya masing-masing.

Matias telah memutuskan untuk berhenti mendatangi toko roti milik gadis yang disukainya itu. Untuk sementara ini, dia akan membuat Nivea merasa berhasil telah mencegah dirinya datang kesana, dengan cara menyampaikannya pada Martha. Lagi pula, Matias sendiri tidak ingin kedatangannya sampai membuat Nivea merasa tidak nyaman.

Mulai hari ini, dia tidak akan mengintai Nivea lagi atau bahkan muncul terang-terangan di hadapan gadis cantik itu. Meski nanti, dirinya akan tetap melanjutkan rencananya untuk mendekati Nivea. Dia juga baru sadar, bahwa Nivea tak kan semudah itu dapat didekati oleh seorang lelaki, maka dia tidak perlu khawatir akan seseorang yang mungkin lebih dulu berhasil merebut hati gadisnya.

Diluar sana, mentari pagi sudah mulai menampakkan diri. Tangkai pepohonan masih berayun gemulai mengikuti lembutnya angin yang bertiup. Membuat semua hewan-hewan liar tampak riang berlarian di sepanjang taman dekat pusat kota. Beberapa ekor dari mereka berteduh di bawah pepohonan. Menunggu buah yang jatuh dari atas sana. Kupu-kupu cantik yang menari, sesekali hinggap di pucuk dedaunan dan bunga-bunga. Serta burung-burung dengan kicauannya juga bertengger pada pepohonan dan kursi-kursi taman.

Lelaki yang berada di dalam kereta kudanya itu, tersenyum tipis dan berdecak kagum memandangi suasana sepanjang taman yang dia lintasi.

Kini Matias berada dalam perjalanannya menuju ke perkebunan anggur. Tentu saja pikirannya masih tertuju pada sosok adik kelasnya itu. Dia berharap secepatnya Nivea dapat berubah pikiran, tak menghindar lagi dari dirinya. Entah apa yang harus dilakukannya jika Nivea benar-benar ingin menjauh darinya. Matias akan sangat kecewa jika hal itu sampai terjadi.

Karena jauh di dalam sudut hati kecilnya, Matias Vander Lawrence begitu menginginkan Nivea Del Castano dapat selalu berada di sisinya suatu hari nanti.

13. Tuan Putri Nicole

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia permaisuri."

"Hmm. Ada apa, putriku?"

"Tampaknya cuaca hari ini begitu cerah, Ibu. Dan aku... berpikir untuk keluar dari istana. Aku ingin mengunjungi perkebunan anggur milik pemerintah di barat daya kota."

"Kenapa kau ingin kesana, Nicole? Bukankah masih ada perkebunan anggur yang lain, yang belum pernah kau kunjungi?"

"Itu benar Ibu. Tapi rasanya, perkebunan milik pemerintah itu... sudah lama tidak aku kunjungi. Aku ingin mengenang masa kecilku disana, Ibu."

"Jadi begitu. Baiklah!"

Putri Nicole bergegas memberi salam kepada permaisuri dan beranjak pergi dengan seorang pelayan pribadi di balik tubuhnya. Gadis sederhana yang mengekorinya itu bernama Bella.

Beberapa menit kemudian sudah tampak kereta kuda khas milik keluarga kerajaan yang berjalan menuju ke arah barat daya, diiringi sebuah kereta kuda lainnya yang ditumpangi para pengawal, pelindung bagi perjalanan tuan putri kali ini.

"Apa penampilanku terlihat berlebihan, Bella?"

"Tentu tidak tuan putri. Anda telah mengenakan gaun yang cukup santai. Dan... gaun itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan Anda."

"Benarkah?" tanya gadis cantik bermata biru itu.

"Tentu tuan putri!" jawab Bella dengan senyumnya yang sangat meyakinkan.

Beberapa menit ke depan, kedua kereta kuda yang beriringan itu telah sampai di tujuannya. Para kusir mengambil posisi yang paling baik untuk menurunkan para penumpangnya.

Pekerja lelaki dan perempuan yang sedang disibukkan dengan kegiatannya di kebun anggur itu, beberapa diantaranya menoleh ke arah datangnya kereta-kereta kuda itu. Dan salah satu dari mereka meneriakkan, "Yang mulia tuan putri datang!". Membuat semua pekerja disana menghentikan pekerjaannya dan kompak menoleh.

Dari tempat berdirinya mereka masing-masing, mereka sedikit membungkukkan badan sebagai bentuk hormatnya menyambut kehadiran sang tuan putri.

Putri Nicole tampak membalas salam hormat itu dengan lengkung senyuman indah yang tak luput dari wajahnya, mencoba memandang satu persatu pekerja yang dia lintasi dalam langkahnya memasuki area perkebunan anggur yang cukup luas itu.

Dirinya tak salah menduga, cuaca sepanjang perjalanan hari ini memang benar-benar cerah, namun tetap meneduhkan bagi siapa pun yang ingin menikmati harinya diluar rumah.

Hingga ketika putri Nicole telah berdiri di depan pintu kantor pengelola perkebunan, dirinya yang sedang berbincang dengan tuan Carlos menangkap keberadaan Matias di tengah sana. Gadis bergaun merah muda itu tertegun sejenak dan matanya tak ingin berkedip.

"Jadi, bagaimana tuan putri? Apakah tuan putri akan memetik anggur sendiri?"

Putri Nicole tak menjawab, kedua mata itu masih saja memandangi Matias.

"Maaf tuan putri..?"

"Ah, maaf tuan Carlos. Apa Anda bertanya sesuatu pada Saya?" putri Nicole tersadar dari lamunannya."

"Tentu yang mulia tuan putri. Apakah Anda jadi memetik anggur-anggur itu?"

"Ya! Tentu tuan Carlos. Tapi, siapa pekerjamu yang berada di tengah sana?"

"Ah, itu tuan Matias. Dia adalah putra dari count Antonio Lawrence."

"Oh, jadi begitu." ucapnya dengan sorot mata yang berbinar.

"Begitulah, tuan putri. Dia yang memimpin para pekerja di kebun ini."

Entah mengapa mendengar kalimat itu, putri Nicole lantas tersipu. Rasanya, dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Jika tuan putri ingin mulai memetik anggur sekarang, maka Saya akan panggilkan tuan Matias untuk membantu Anda, yang mulia."

"Hah? Apa? Anda... akan memanggilnya kesini?"

"Ya tuan putri. Tentu saja."

"Ah, baiklah! Tolong Anda panggil dia sekarang, tuan."

Matias pun menghentikan pekerjaannya memantau pekerjaan tangan seorang pekerja di tengah sana. Dia bergegas menghampiri keberadaan tuan Carlos ketika mendengar beliau meneriakkan namanya dari jauh.

Lelaki yang telah mendekat itu, langsung membungkuk sedikit ke arah putri Nicole.

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia putri Nicole."

"Anda tahu nama Saya, tuan?" putri Nicole justru bertanya dengan senyum tipisnya yang terkesan malu-malu.

"Tentu yang mulia, Saya rasa semua orang di negeri ini sudah tahu nama Anda."

"Ah, jadi begitu ya."

"Ada apa tuan Carlos, Anda memanggil Saya?" tanya Matias mengarah kepada pria yang mengenakan setelan jas biru dongker itu.

"Yang mulia tuan putri ingin memetik anggur-anggur disana. Aku harap kau bersedia membantu beliau."

"Ah, tentu tuan! Dengan senang hati, yang mulia. Saya akan membantu tuan putri."

"Te.. terima kasih tuan.. Matias."

Sepertinya tuan Carlos dan Matias cukup dibuat keheranan, karena sikap tuan putrinya yang tampak sedikit bodoh saat ini. Gadis itu sepertinya sudah salah tingkah.

Matias mempersilahkan kepada putri Nicole untuk melangkah lebih dulu menuju area tengah perkebunan. Perlahan dengan sopan, lelaki itupun menyeimbangkan langkahnya agar sejajar dengan putri Nicole. Matias mengarahkan langkah mereka untuk mengambil sebuah keranjang rotan yang masih tersedia di tempatnya. Lalu kemudian mulai melangkah ke tengah-tengah kebun.

Degup dalam dada putri Nicole kian terasa tak menentu, dirinya belum pernah mengalami perasaan semacam ini sebelumnya.

***

"Ini sudah sangat sore Seri, ayo kita kembali ke rumah! Tampaknya dia juga tidak akan datang." ucap Nivea seraya menunduk, kedua tangannya sedang sibuk merapikan meja bekas pelanggannya.

"Siapa dia yang Anda maksud, nona?" spontan saja Seri menoleh ke arah Nivea yang berada tiga langkah darinya.

Nivea tersentak dan mendongak memandangnya, "Hmm. Dia... dia... dia siapa ya?"

"Apa maksud Anda... tuan Matias?"

Nivea tak menjawab dan justru kembali merapikan posisi kursi pelanggan di dekatnya.

"Ah, apa Anda mencarinya nona? Anda mengharapkan pemuda itu datang kemari?"

"Seri!"

"Saya rasa Anda menyesal."

"Menyesal?"

"Ya. Saya rasa.. Anda menyesal sudah menemui nona Martha kemarin."

"Hahaha. Kau sungguh membuatku tertawa, Seri!"

"Hmm. Baiklah! Kita pergi sekarang nona."

Di perjalanan.

"Kenapa Anda diam saja, nona?"

"Aku harus mengatakan apa, Seri?"

"Saya hanya... sedikit penasaran."

"Penasaran katamu? Tentang apa?"

"Apa Saya boleh bicara?"

"Hahaha. Kau ini kenapa Seri? Bicaralah! Tidak ada orang lain disini selain kau dan aku. Aku sedang bicara denganmu sejak tadi."

"Hmm.. Apa sikap Anda kepada tuan Matias tidak berlebihan, nona? Beberapa hari waktu itu... Anda menghindari pertemuan dengannya. Lalu kemarin Anda datang ke rumahnya untuk mengatakan semua hal yang... Saya juga mendengarnya. Tapi tampaknya, hari ini Anda justru kecewa karena tuan Matias tidak muncul di toko Anda."

"Apa? Kalimatmu terlalu panjang, Seri. Aku tidak mengerti ucapanmu." seraya menggeleng, melengos memandang ke jalan. Nivea menepis semua yang dikatakan pelayan pribadinya itu.

Seri menggembungkan kedua belah pipinya. Dia sangat yakin bahwa nonanya tidak sebodoh itu. Dia tahu Nivea sedang berpura-pura tidak peduli dengan apa yang tadi diucapkannya panjang lebar.

"Kenapa kau diam, Seri?"

"Ah, itu.. Tidak apa-apa nona. Saya hanya sedang berpikir, apakah sopan jika Saya bertanya....."

"Kau ingin bertanya apa sekarang?"

"Apakah Anda... pernah memikirkan tuan Matias?"

Hening sesaat. Nivea menelan ludah, tak menduga Seri memberinya pertanyaan seperti itu.

"Seri, aku tidak bisa menjelaskan alasan kenapa aku menghindari pertemuan dengan pemuda itu. Tapi, bisakah kau berhenti membahas tentang dirinya?"

"Ba.. baik nona. Saya mengerti."

14. Kebun Strawberry

Putri kedua dari keluarga Lawrence tampak begitu ceria di pagi hari ini. Setelah melakukan sarapan bersama dengan keluarganya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan ke sebuah kebun strawberry yang berada di wilayah pinggiran kota itu. Dengan mengenakan gaun sederhana nan cantik berwarna abu-abu, Martha menata rambutnya dengan model kuncir setengah bagian.

Dia pergi bersama seorang temannya yang bernama Gabriela, putri dari seorang marquess pemilik tanah di wilayah perbatasan. Dan setelah menempuh jarak yang cukup jauh, Martha dan Gabriela yang menumpang kereta kuda milik keluarga Lawrence akhirnya tiba juga di kebun strawberry tujuan mereka.

"Kita datang di waktu yang tepat, Martha."

"Benar Gabriela! Aku harap semua orang dapat merasakan betapa cerah dan sejuknya hari ini."

"Lihat Martha! Strawberry disini sangat segar. Kita tak akan kesulitan untuk memilih dan memetiknya."

Terlihat seorang pria paruh baya berpakaian khas pekerja perkebunan, menghampiri keduanya untuk menyambut kedatangan mereka di kebun yang dikelolanya. Lelaki bertopi koboi dengan kemeja beraksen kotak-kotak itu juga membawakan mereka dua buah keranjang rotan.

Setelah melalui perbincangan singkat, lelaki itu lantas mempersilahkan kedua gadis itu untuk memulai kegiatannya. Martha dan Gabriela pun mulai memilih, serta memetik tiap-tiap strawberry yang terpilih. Kemudian memasukkannya ke dalam keranjang rotan, yang pegangannya terselip di lengan mereka masing-masing.

"Masih ada banyak buah yang tampak segar, Martha. Tapi aku rasa, ini sudah cukup." seraya menunjukkan isi keranjang miliknya kepada Martha.

"Kau memetiknya sangat cepat Gabriela. Strawberry milikku tak sebanyak milikmu."

"Wah, apa aku tidak salah? Lihat siapa yang ada disana?" lelaki dengan kemeja putih yang melangkah kian mendekat itu telah memotong percakapan kedua gadis disana. Membuat keduanya menoleh ke arah datangnya suara itu.

"Ah, kau Daniel!" sahut Gabriela. Dan Martha hanya tersenyum tipis kepada Daniel."

"Apa kalian baru selesai memetik?" matanya tampak melirik ke arah keranjang-keranjang di tangan mereka.

"Tentu! Apa kau datang untuk memetik strawberry?"

"Ah, tidak Gabriela. Aku datang untuk bekerja paruh waktu disini."

"Ah, jadi begitu."

"Apa kau tidak sehat, Martha? Kenapa kau diam saja?" tanya Daniel mengarah ke diri Martha.

Martha yang sedari tadi hanya tersenyum sesekali mendengarkan kedua orang temannya itu berbincang, akhirnya berbicara juga.

"Aku? Tentu aku sangat sehat Daniel. Hahaha.."

"Kau tidak suka bertemu denganku disini?"

"Bukan begitu Daniel. Aku hanya tidak menduga... akan bertemu denganmu hari ini."

"Hmm. Baiklah! Terkadang dunia ini terasa begitu sempit, bukan?"

"Ah ya Daniel, kalau kami boleh tahu.. Apa yang kau kerjakan di kebun strawberry ini?" tanya Martha berbasa-basi.

"Aku membantu paman itu memilih, memetik dan juga menyortir strawberry yang akan dijual ke kios-kios yang ada di pasar."

"Kau bercanda Daniel? Bagaimana mungkin kau melakukan semua itu dengan mengenakan pakaian berwarna putih?"

Daniel menelan ludah, matanya mendelik mendengar ucapan Martha.

"Martha! Kau sangat perhatian pada hal itu. Atau, jangan-jangan kau hanya perhatian saja pada Daniel?" Gabriela bicara dengan nada menggodai teman di sampingnya itu.

Tentu saja pertanyaannya itu membuat Martha dan Daniel menjadi sedikit salah tingkah. Hingga saatnya Martha tersadar dari diamnya sekian detik itu.

"Ah. Hahaha. Tentu aku menaruh perhatian pada banyak hal, Gabriela! Kau jangan mengatakan hal yang tidak-tidak. Bukankah begitu, Daniel?"

"Ya! Tentu Martha. Apa yang dikatakan Martha itu benar, Gabriela. Aku berteman dekat dengan Matias. Dan Matias pernah mengatakan padaku, bahwa adiknya ini begitu perhatian pada tumbuh-tumbuhan di sekitar rumah mereka."

"Ah, jadi begitu ya!" tukas Gabriela.

"Baiklah! Sudah waktunya aku harus mulai bekerja. Aku permisi." seraya sedikit membungkuk ke hadapan kedua gadis itu. "Dan kau Martha, kau tidak perlu khawatir karena aku akan bekerja dengan mengenakan apron pekerja kebun." tambahnya sebelum berbalik badan meninggalkan Martha dan Gabriela.

***

Jika hari ini begitu cerah bagi Martha, lain halnya dengan Nivea. Hari yang harus dilewatinya ini berwarna sama dengan gaun yang dikenakan Martha di kejauhan sana. Hari Nivea sungguh terasa abu-abu. Sejak tiba di toko rotinya, rasanya Nivea ingin terus marah-marah tanpa alasan yang jelas.

"Clara, aku sudah berkali-kali mengatakan pada kalian. Jangan meletakkan pembuka botol di sembarang tempat! Kenapa kau meletakkannya disini? Kau harus selalu mengembalikan alat itu ke tempat semula. Cepat kembalikan alat ini ke lemari limun!"

"Maafkan Saya nona." ucapnya lemah seraya menghampiri nonanya untuk mengambil alat pembuka botol itu dari tangan Nivea.

"Nona, bukankah tadi Anda sendiri yang membawa alat itu ke atas meja dapur? Anda kembali ke dalam setelah membukakan limun di hadapan nyonya bergaun biru tadi." tukas Seri.

"Benarkah? Bagaimana mungkin aku melupakan hal itu? Dan kau Seri, kenapa belakangan ini kau begitu sering membantahku?"

"Maafkan Saya nona."

Semua terdiam. Nivea menghela nafas kemudian berlalu sambil berkacak pinggang. Di depan sana, di balik meja pemesanan dirinya harus bekerja keras melawan emosinya yang tampak sedang tidak stabil. Nivea harus tetap tampil ramah menyambut dan melayani setiap pelanggan yang datang kesana.

"Seri, ada apa dengan nona kita?" tanya David sedikit berbisik.

"Hmm. Entahlah! Aku rasa ada yang tidak beres dengannya."

"Sebelumnya nona Nivea tidak pernah marah untuk kesalahan kecil yang kita lakukan. Kalau saja dia dalam keadaan normal, pasti tadi... dia akan mengembalikan sendiri alat itu ke lemari. Tanpa harus berteriak dulu padaku."

"Ya! Itu benar, Seri." timpal David yang sedang menghaluskan kumpulan buah anggur di mejanya.

Seri menghela nafas, "Aku harap kau bisa memaafkannya, Clara."

"Tidak masalah Seri. Mungkin suasana hatinya sedang tidak baik. Aku bisa maklum." seraya tersenyum di akhir kalimatnya.

Di lain sisi Nivea sendiri juga tidak tahu, mengapa hatinya bisa terasa sangat tidak nyaman. Entah hal apa saja yang sedang berkecamuk di dalam dadanya. Dia sendiri tak dapat mengungkapkan rasa hatinya dengan rangkaian kata-kata.

Yang jelas Nivea masih berharap dirinya bertemu kembali dengan sang kakek di dalam tidurnya. Dia ingin beliau menjelaskan maksud dari cerita yang disampaikannya dalam mimpi terakhir kali. Dan apakah reinkarnasi itu benar adanya? Atau semua itu hanya cerita fiksi dan bahkan sebuah lelucon yang tidak masuk akal?

Nivea sangat ingin mengetahui jawabannya.

Kini dirinya melangkah kepada letak lemari limunnya berada. Dia pun meraih salah satu botol dari dalam sana. Dan tanpa disadarinya, dia langsung membuka tutup botol itu dengan tangan kosong, disaat David mengantarkan roti-roti yang baru selesai diberi olesan selai.

David pun melongo keheranan, "Hah? Bagaimana bisa Anda melakukan itu, nona?"

Nivea terkejut dan menoleh, "Apa? Ah.. Hahaha. Kau benar David! Botol ini harus dibuka menggunakan alat. Tapi saat suasana hatiku sedang tidak baik, tampaknya aku jadi memiliki kekuatan super."

"Anda bercanda nona."

"Ya! Terserah saja kau mau percaya atau tidak. Berikan padaku rotinya!" kedua tangan Nivea merebut sebuah nampan kayu yang dibawa oleh David. Dia mencoba mengalihkan topik dan mulai menyibukkan diri dengan menata roti-roti hangat itu di etalase.

15. Bermain Hujan

Lima hari berselang, dan Matias Vander Lawrence tidak pernah terlihat lagi berkeliaran di sekitar toko roti Nivea. Lelaki itu masih sanggup menahan dirinya sementara untuk tidak mendekati Nivea.

Siang ini hujan turun, disertai angin dan petir yang sesekali menggelegar membelah awan hitam. Beberapa pelanggan yang masih menikmati kudapannya di dalam toko Nivea, tampak cukup ketakutan dan tentunya tak ada yang berani melangkah keluar dari sana, meski roti mereka telah tandas dan minuman dalam cangkir mereka juga telah habis.

Semua orang disana duduk menunggu hingga hujan sedikit mereda.

Nivea pun melangkah ke dapurnya untuk mengecek kondisi disana. Namun dia tak menemukan dua orang pekerjanya itu disana. Karena Clara sedang berada di toilet sedangkan David sedang mengecek persediaan bahan-bahan roti di ruang samping dapur, yang merupakan gudang penyimpanan bahan-bahan tersebut.

Ketika kedua matanya menangkap tetes-tetes air turun dari atas, gadis itupun refleks memindahkan meja kayu yang biasa mereka gunakan untuk bekerja. Meja kayu berbentuk segi empat itu diangkat olehnya ke sudut dapur sana. Tempat yang tampak lebih aman, menghindar dari atap yang bocor.

Padahal meja itu terbuat dari material kayu yang jenisnya cukup berat. Secara normal, meja itu hanya dapat diangkat dan dipindahkan oleh paling tidak tiga tenaga manusia. Dan Nivea mengangkatnya bagai hanya menjinjing sebuah tas belanja.

Dirinya hanya menggeleng dan berkacak pinggang di hadapan meja kayu yang telah berpindah tempat itu.

"Kemana orang-orang itu? Apa mereka tidak lihat kalau meja ini terkena air hujan?" gerutunya bicara sendiri. Lalu mengambil sebuah kain dan mengelapi seluruh bagian meja itu.

"Nona! Ada apa dengan meja itu?"

"Ah, kau dari kamar mandi rupanya. Meja ini terkena tetesan air yang cukup banyak dari atas. Aku sudah membersihkannya. Tunggulah sebentar untuk bisa menggunakannya!" kemudian berlalu kembali melangkah ke arah depan sana.

Sedangkan Clara masih mematung di tempatnya memandang bolak balik antara letak meja sebelumnya dengan letak meja yang sekarang.

"Ah, benar.. Ternyata bocornya cukup parah. Tapi, apa nona Nivea memindahkannya dibantu oleh David? Atau Seri? Ah, sudahlah!"

Menit ke menit kian berlalu, hujan diluar sana berangsur reda. Membuat semua pelanggan yang sebelumnya menunggu, akhirnya pergi juga. Nivea memutuskan untuk menutup tokonya lebih awal. Dia segera memberi tanda bahwa tokonya sudah menutup operasional untuk hari ini.

"Ayo Seri, kita merapikan semua ini lalu kembali ke rumah."

"Tentu nona. Baiklah!"

"Ah, tolong katakan pada Clara dan David agar bersiap-siap untuk pulang."

Seri mengangguk di hadapan Nivea lalu berbalik badan beranjak ke dapur.

Beberapa menit berlalu, mereka telah selesai merapikan tugasnya masing-masing. Nivea menepukkan kedua tangannya setelah merasa puas, telah selesai dengan pekerjaannya.

"Huh! Akhirnya selesai juga. Ayo Se...... Ah! Kenapa hujan lagi?"

"Wah, itu cukup deras nona! Kita tidak mungkin kembali ke rumah sekarang. Tuan Willy akan kesulitan mengendalikan kudanya."

Nivea menghela nafas lantas menjatuhkan dirinya pada salah satu kursi pelanggan. Bertopang dagu memandang keluar jalan sana. Dan sebuah kejutan hadir di depan matanya.

Lelaki bertubuh tegap itu berlari menerobos hujan dan mendorong cepat pintu toko roti itu. Nivea dan Seri kompak bangkit dari duduknya dan menghampiri lelaki dengan kemeja biru itu di dekat pintu.

"Apa yang Anda lakukan hujan-hujan begini tuan Matias?"

"Aku sudah terlanjur berjalan kaki kesini, aku tidak menduga hujannya akan turun lagi."

"Tolong ambilkan handukku di lemari Seri!"

"Lemari? Di atas, nona?"

"Tentu Seri! Dimana lagi aku menaruh lemari pakaianku?!"

Pelayan pribadinya itu bergerak cepat menuju ke dapur dan langkahnya tertuju pada tangga di salah satu sudut sana. Dengan larian kecil dia menapaki tangga itu satu persatu, menjangkau lantai dua. Dimana selama ini Nivea menyimpan beberapa macam perlengkapan pribadinya disana.

"Duduklah dulu, aku akan membuatkan teh untukmu."

"Tidak! Tidak perlu nona Nivea."

"Lalu? Apa tadi Anda berniat kesini untuk membungkus beberapa buah roti?"

"Bukan! Bukan itu nona."

"Lalu? Apa yang ingin Anda......"

"Ini nona, handuknya." Seri telah kembali dan menyodorkan handuk putih itu ke tangan nonanya.

"Terima kasih Seri! Anda boleh menggunakan handuk ini, tuan Matias. Keringkanlah rambut dan wajah Anda! Aku rasa... kau butuh minuman hangat."

"Tidak nona! Aku sudah bilang tadi, aku tidak memerlukan teh." lelaki di sampingnya itu refleks mencekal pergelangan tangan Nivea yang hendak menjauh.

"Tolong lepaskan tanganmu, tuan!"

"Maaf, maafkan aku."

"Anda bisa sakit karena hujan-hujanan, tuan Matias. Maka itu aku harus memberimu teh hangat."

"Air hujan tak akan membuatmu sakit, nona."

"Apa? Benarkah?"

"Ya, tentu! Air hujan... akan membuatmu bahagia."

"Hahaha.. Anda yakin dengan hal itu? Banyak orang merasa terganggu melakukan aktivitasnya saat hujan begini."

"Kau mau bermain dengan hujan, nona Nivea?"

"Apa katamu? Bermain?"

"Tentu! Bermain hujan bersamaku."

Nivea menelan ludah, melengos menghindari tatapannya dengan Matias.

"Apa kau mau, nona? Kalau kau mau, kita bisa keluar dari sini sekarang juga."

Nyaringnya suara hujan di telinga Nivea, membuatnya lupa diri. Dia pun tersihir oleh semesta dan tak sadar telah mengangguk, mengiyakan pertanyaan Matias.

Lelaki itupun tak menduga gadis yang disukainya itu ternyata bersedia menerima ajakannya bermain dengan hujan. Tanpa berpikir lama, Matias yang tersenyum itu langsung menarik pergelangan salah satu tangan Nivea dan menyeret langkah mereka keluar pintu.

Hujan yang tak lagi disertai angin dan petir itu, terasa sangat indah. Nivea baru menyadari bahwa aroma hujan dapat menenangkan hatinya. Namun, apakah dirinya akan merasakan hal yang sama jika dia bermain hujan seorang diri? Atau bersama orang lain selain Matias? Nivea belum berpikir sejauh itu. Dirinya hanya dapat menikmati saja apa yang tengah dirasakannya saat ini.

Keduanya memutuskan untuk berkeliling ke setiap sudut jalan yang berada di sekitaran toko roti Nivea. Dengan berdampingan, langkah mereka berayun diiringi tawa. Masih di bawah guyuran hujan.

"Apa kau senang, nona Nivea?"

"Hmm. Bahkan sejak kecil ayah melarangku bermain hujan."

"Jika nanti beliau tahu, aku mengajak anak gadisnya bermain hujan, apakah beliau akan memarahiku?"

"Hahaha. Itu tidak mungkin, tuan Matias."

"Baiklah! Sekarang... bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan tuan? Bukankah kita hanya berbeda dua tingkat saat di perguruan dulu?"

"Ah, ya! Itu benar. Baiklah... Matias. Kalau begitu jangan juga memanggilku dengan sebutan nona."

"Tapi kau adalah anak dari seorang duke."

"Itu bukan alasan yang berarti. Aku lebih muda darimu, tak masalah jika kau hanya menyebutkan namaku."

"Baiklah kalau begitu." diiringi anggukan dan senyum tipis, memandang dalam penuh arti kepada Nivea.

Akhirnya hujan telah mereda sepenuhnya saat petang menjelang, kedua orang yang telah puas bermain dengan hujan sore itu telah sampai di pintu toko roti Nivea. Seri menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua orang itu. Dia pun sigap menyodorkan handuk ke tangan mereka masing-masing.

Sejak menyadari nonanya tidak berada di dalam toko, Seri menduga Nivea pasti keluar bersama Matias. Maka dia menunggu dengan berharap-harap cemas. Dia juga menyempatkan diri naik ke atas untuk mengambil sebuah handuk lagi, menyiapkannya untuk sang nona.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun