Mohon tunggu...
Nadziraturrahma
Nadziraturrahma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 4

fill your life with happiness

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sanubari Jiwa Amarta

1 Maret 2022   19:11 Diperbarui: 1 Maret 2022   19:12 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende


"Tenanglah nak, aku hanya ingin singgah dan numpang berteduh karena diluar hujan sangat deras", ucap seorang pria paruh baya dengan tongkat kayu ditangannya.

"Tapi, apakah aku boleh numpang berteduh disini sampai besok hari?", lanjutnya.

"Boleh saja, pak. Tapi gubukku ini sangat kecil, ragaku seorang diri cukup tertampung disini saja sudah syukur. Tak ada cara lain, ku rasa kau juga harus membangun sebuah gubuk yang didirikan disebelah gubukku ini, pakailah kayu dan bambu itu", ucap Amarta sambil menunjuk sisa peralatannya untuk membangun gubuk yang ia tempati sekarang.

Walaupun sudah sedikit usang dan ada beberapa kayu yang sudah tak layak pakai, namun Amarta berharap bapak tua itu bisa merangkainya menjadi sebuah gubuk yang layak untuk ditempati.


"Apakah aku harus membantumu, pak?", tanya Amarta karena kasihan melihat kondisi bapak itu yang menggunakan tongkat untuk berjalan.

"Tak perlu, kau pikir tongkatku ini ku pergunakan untuk berjalan? Salah besar! Sejarah dari tongkat ini yang membuatku selalu membawanya kemana pun aku pergi. Tongkat ini adalah pemberian terakhir dari istriku sebelum ia pergi entah kemana", jelas bapak itu.

"Sekarang kau harus masuk ke gubukmu, tinggalkan aku sendiri. Beri kepercayaan padaku untuk bisa membangun gubuk ini sendirian tanpa bantuan orang lain? Lagi pula, aku sudah terbiasa mengerjakan apa pun seorang diri, jadi tak perlu risau", lanjut bapak itu.

"Baiklah, semoga berhasil dan cepat selesai agar kau pun bisa masuk ke gubuk buatanmu dan segera beristirahat", ucap Amarta.

Setelah beberapa saat, akhirnya berdirilah sebuah gubuk lain disebelah gubuk tempat tinggal Amarta. Mereka pun tertidur pulas diiringi dengan rintik kecil hujan disekitar pantai itu.

Keesokan harinya embun langit mulai menyapa hangatnya mentari pagi. Serpihan daun berserakan dimana-mana. Pasir putih pantai itu berwarna sangat cerah seakan ingin menyambut hariku dengan penuh kehangatan dan kebahagiaan. Angin pagi itu juga tak terlalu dingin, dan tak terlalu panas.

"Cuaca yang ideal", ucap pak tua itu dalam hati sambil menghirup udara pagi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun