"Apa ini pak? Kau tak boleh seperti ini. Kau harus selalu melihat taatku kepada sang ilahi karena kaulah yang mengajarkan ku apa itu agama Islam. Kau harus selalu melihat baktiku kepada negeri karena kaulah yang membiayai sekolahku sampai aku menjadi dokter seperti sekarang. Kau harus melihat bahwa aku telah menemukan sebuah bukti dan jejak tentang kedua orang tuaku. Tapi mengapa? Mengapa kau tak lakukan semua itu? Mengapa kau donorkan kedua matamu untuk wanita itu? Kau tau dia siapa? Dia adalah wanita buta yang dulu pernah aku ceritakan. Dia yang lebih dulu datang ke pantai itu sebelum dirimu", ucap Amarta.
Suasana ruangan itu menjadi hening seketika. Tak ada jendela yang dibuka, namun ruangan itu penuh dengan angin yang cukup besar menyelimuti percakapan Amarta dan pak Glend.
"Dia adalah jiwaku. Separuh nadiku berada dijiwanya. Dia istriku", jawab pak Glend.
"Mmm...maksudmu?", tanya Amarta terbata-bata.
"Kau telah menemukan istrimu?", lanjut Amarta.
"Ya, akhirnya ku menemukannya! Dialah yang ku cari sampai ke belahan pulau kecil itu. Terjadi salah paham diantara kami. Dia mengira aku membuang dan mencampakkannya, padahal tidak sama sekali. Dia hanya terpengaruh omongan orang lain yang ingin menghancurkan rumah tangga kami. Saat itu, aku memang bekerja diluar negeri untuk mencari nafkah. Tapi, omongan orang sekitar yang menfitnahku melakukan yang tidak-tidak selama aku tak berada disisinya. Pikirannya sendiri yang berasumsi seperti itu. Tepat setahun setelah lahiran, dia membawa anakku entah kemana. Aku ditinggalkan seorang diri. Aku memutuskan pulang ke Indonesia setelah lama tak mendengar kabar darinya. Membatu dan terus mencari prasasti diri. Aku mematung tak bedaya. Sejak saat itu, hidupku berkelana. Aku terus mencarinya dari pulau satu ke pulau yang lainnya sampai pada akhirnya aku bertemu denganmu. Anakku seumur denganmu. Maka dari itu, aku telah menganggapmu sebagai anakku sendiri dan membiayai apa pun keperluanmu. Aku selalu merasa tenang dan tentram jika melihat senyuman terukir dibibirmu", jawab pak Glend.
Amarta menahan isakan tangisnya dan segera pergi ke ruangan operasi wanita itu.Â
Tibalah saatnya pembukaan perban mata bekas operasi wanita buta itu yang kini hampir bisa melihat seluruh isi dunia kembali. Amarta membukanya dengan perlahan dan sangat hati-hati. Seketika wanita itu mengernyitkan dahinya.
"A...Amarta? Putriku? Relung jiwaku? Tanggapan hatiku? Kau disini?", ucap wanita itu sambil menarik Amarta dalam dekapannya.
"Amarta? Siapa Amarta? Aku Amitha!", ucap Amarta.
Namun omongan itu ditepis begitu saja oleh Amarta karena kerinduannya kepada perempuan itu.