"Bidan?"
Aristi mengangguk pelan. Satu senyuman dari bibirnya berhasil membius Faris.
"Suka rela," katanya kemudian.
"Sarjana tidak menjanjikan profesi menjanjikan," kata Faris.
***
      Senja berlalu begitu cepat, ketika ia masih asyik menikmatinya. Sebuah kebiasaan untuk mengenang sang kekasih, Alan. Masih membekas di benaknya ketika Alan masih di sisinya. Hampir setiap sore, menikmati senja.
      Senjanya masih seperti dulu, Lan. Masih anggun di ufuk barat!
Â
Selepas mengirim SMS itu, Aristi tersenyum. Rasa kengennya membuncah di hati. Kangen untuk sekedar menggandeng tangan sang penyejuk hati. Rasa letih mulai mengerubuni raganya. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Rasa kangennya akan sempurna jika di atas pembaringan ia habiskan waktu sekedar menatap wajah Alan di layar ponsel. Baru saja ia hendak melangkah, suara panggilan terdengar dari belakang.
"Hai," sapa Faris.
Aristi tersenyum kecut. Pola pikirnya menjadi tidak karuan. Dalam benaknya, Faris datang menagih utang, Rp 20. 000. Wajahnya mulai memerah lagi. Lagi lagi, ia lupa membawa serta dompetnya.