Buliran masih berjatuhan tak tertahankan. Isak tangis dalam malam yang beku kian membesar. Kelamnya malam menjadi saksi rintihan hati yang rindu berat.
"Kenapa aku harus begini?" tanyanya dalam hati.
Sejenak pikirannya kembali ke masa dulu yang penuh warna. Ia menyelami kembali janji-janji manis yang terungkap. Rayuan-rayuan maut yang mematikan yang sekarang benar-benar mematikannya! Ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Ia tidak menyesalinya, sebab dulu ia hidup bahagia di atas janji-janji dan rayuan yang tidak tahu menjadi begini.
"Apa kabar, Lan? Aku rindu!"
Sehabis mengirim pesan singkat itu, ia akhiri malam dengan linangan air mata yang masih saja mengalir, sekali pun ia memintanya berhenti. Ia harus menerimanya, sebab dulu tidak ada yang memaksanya. Alan pun tidak pernh memaksanya untuk percaya pada janji-janjinya. Ia hanya menuruti hatinya dulu. Begitulah. Aristi masih terisak.
***
      "Ayo! Bagaimana?" tanya Faris penuh harap.
      Aristi sejenak diam. Ia mematung dalam diamnya yang mencoba menyelam realita.
      "Pikirkan dulu. Jangan memaksakan dirimu," lanjut Faris sabar.
      Dalam diamnya, ia mencoba menggali nurani. Antara ia atau tidak. Ia masih diam di tempat. Faris masih menunggu jawaban antara ia dan tidak. Terjadilah hening yang diam. Antara hati dan logika. Hati masih tampak berat menikmati alam dengan dia yang masih asing di hatinya. Dengan logika yang berkata ia dengan hati yang bimbang jalinan asmaranya dengan dia, Alan, yang tak jelas ujungnya!
      Pelan-pelan ia menaiki motor milik Faris. Sibuk pikirannya, antara hati dan logika. Hati terasa berat menumpnag dan berjalan-jalan bahagia dengan Faris yang asing di hatinya. Bahagia, sebab logika memilih dia, Faris, yang bersedia membantunya dalam keterpurukan yang melanda.