Ada rasa sebal meloncat keluar dari nuraninya. Gagal, sebab ia tahu orang itu pasti pekerja bengkel. Aristi memasang senyum indahnya.
"Anu, motorku macet di kampung sebelah," kata Aristi.
Pemuda tampan itu sejenak berpikir. Wajahnya dilumuri oli. Tampak kehitaman di kiri kanan pipinya. Bajunya kumal, warna aslinya hilang total.
"Macet itu banyak, ban kempis, ban bocor, rantai putus, atau apalah begitu," kata pemuda itu.
Aristi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Rantainya putus," katanya kemudian.
"Oh gitu. Ya sudah, dorong saja ke sini ya," kata pemuda itu ketus.
"Apa? Dorong?" Aristi naik pitam. Pemuda itu cuek-cuek saja.
"Ia dorong. Terus kenapa? Apa bisa motornya jalan sendiri?"
"Ya, maksudku, Om ke sana. Jauh kan kalau aku dorong," kata Aristi penuh harap.
"Tadi aku ke sini jalan kaki sendiri, karena memang aku tidak bisa dorong," lanjut Aristi.