"Bagaimana hatimu?" tanya Faris di tengah perjalanan.
      Aristi diam. Diam yang tak tahu arahnya kemana.
      "Baik-baik saja," katanya setelah sekian lama terdiam.
      Faris memacu kendaraannya di atas aspal yang berkelok-kelok. Sebuah rencana yang Faris pun tidak tahu apakah berhasil. Sebagai teman baik, ia hanya mencoba mengobati hatinya yang kacau dengan mengunjungi tempat wisata. 88 kilo meter jauh perjalanan itu. Tidak banyak tawa sepanjang jalan. Hanya diam, ya, diam yang dominan. Aristi masih terlihat kusut di boncengan. Sejenak, Faris menghenetikan motornya, di sebuah tempat teduh, pinggir jalan.
      "Hei," panggilnya.
      Yang dipanggil hanya tersenyum. Faris menghampirinya.
"Kamu tidak harus larut dalam sedihmu," kata Faris seraya menggenggam tangannya.
Darahnya mendesir. Terjadi gejolak hebat dalam hatinya. Ia pandangi Faris yang terlihat tersenyum di depannya. Detak jantungnya semakin tak terkendali. Ada yang salah terjadi. Ia semakin dalam pandangi wajahnya. Semakin lama, justru wajah Alan yang terlihat. Ia memeluknya dalam isak tangis yang menderu. Faris tidak bergerak. Ia tahu apa yang terjadi. Ia diam saja. Membelai rambutnya. Mengusap banjiran air mata yang meluap.
"Aku kangen, Lan!" desisnya.
Faris merasakan kesedihan hatinya yang mendalam. Rasa kangen yang makin memuncak dan tidak terbalas.
"Tidurlah, Ris. Tidurlah dalam pelukku. Lepaskan sedihmu. Ada aku di sini," gumam Faris.