"Tolong dipegang," katanya sambil memberikan beberapa kunci bengkel dalam sebuah kantong plastik.
Motor melaju santai di atas aspal berlubang menuju kampung sebelah. Faris mencuri pandang lewat spion motornya. Ia tersenyum mendapati wajah Aristi yang masih tersisa lelahnya.
Aristi berdiri di samping motornya. Ia tak bisa membantu apa-apa. Bukan tahu juga ia membetulkan rantai motornya yang putus. Faris dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Selang beberapa puluh menit, selesai.
"Sudah. Ongkosnya 20 puluh ribu," kata Faris.
Aristi merogoh saku celana. Bolak-balik ia merogoh saku-saku yang lainnya. Astaga, tidak ada apa-apa di sana, kecuali beberapa bungkus obat hendak diberikan kepada Nia, adik kekasihnya.
"Duh, maaf ya, aku lupa bawa uang!" kata Aristi mencoba untuk dipahami.
Faris hanya diam. Ia memandang wajah Aristi yang nampak bingung dan mulai memerah. Segurat rasa malu terpampang jelas di wajahnya yang polos.
"Tidak apa-apa. Besok atau kapan saja baru dibayar," kata Faris dengan senyuman manisnya.
Aristi tercengang. Pemuda itu nampak ganteng kalau tersenyum. Sejak di bengkel, ia hanya cuek saja. Padahal, ia pemuda baik, ganteng pula.
"Faris," katanya.
"Aristi," jawabnya malu-malu.