"Apa? Om? Memang aku saudara ibumu? Ah, dasar!" kata pemuda itu lagi sedikit dengan nada tinggi.
"Om ... anu, Mas, ya, Mas, ..." Aristi bingung melanjutkan kalimatnya.
Pemuda itu tampat cuek saja. Tidak ada niat sedikit membantu. Aristi menyerah. Peluh masih saja berceceran di wajahnya yang cantik.
"Ya sudah, Mas. Kalau tidak bisa bantu, tidak apa-apa," katanya.
"Ya sudah. Silahkan pergi!"
Pemuda itu sibuk merapikan kunci-kunci yang berserakan. Sepertinya pemuda itu baru saja memperbaiki kendaraan lain. Pak tua yang sedari tadi duduk di pojok bengkel  angkat bicara. Rasa ibanya muncul ketika Faris cuek melayani pelanggan.
"Jangan gitu, Ris. Tidak kasihan sama dia. Jauh-jauh datang kemari minta bantuan. Tidak salah kan kalau kamu bantu? Kan bukan gratis! Pelanggan harus dilayani dengan baik, Ris. Itu rejeki!"
"Ingat pepatah lama, Ris, tamu adalah raja!"
Pemuda yang dipanggil Ris itu tampak kecut. Ia seolah tidak peduli kata si tua. Ia masih asyik membersihkan tangannya di sebuah baskom yang berisi air. Aristi dari tadi berdiri di situ. Sesaat kemudian, ia pergi dengan wajah kusut. Ia menatap ponselnya. "Tidak ada sinyal," katanya. Mungkin saja ia hendak curhat kepada Alan, sang kekasih yang beberapa bulan lalu pamit cari kerja di Jawa. Maklum, sekarang susah benar mendapat pekerjaan, sekalipun sudah mengantongi ijazah sarjana.
"Ayo naik! Di mana motornya?" kata Faris.
Aristi diam sejenak. Ia memandang lelaki itu dengan wajah lesu. Faris Nampak cuek saja, wajahnya masam. Aristi kemudian naik. Tidak ada rasa nyaman di atas motor, lelaki yang tadi berbaju kumal itu masih tampak cuek.