"Tidak usah dipikirin. Aku tidak datang nagih. Mau mampir saja, menikmati senja," kata Faris santai.
Aristi masih mematung di tempat. Obrolan ringan mulai mengalir senja itu. Mengalir bak air yang memang harus mengalir di tempatnya mengalir. Tidak tersendat sedikit pun. Obrolan tanpa tema itu terasa mengasyikkan. Aristi terlihat bahagia. Hal yang selama ini terhapus dari wajahnya.
"Kamu lucu juga ya," kata Aristi.
Faris hanya tersenyum.
"Ekspresi seseorang pasti berubah jika ia kelelahan. Jadi, menebak watak seseorang dari ekspresinya tidak selalu benar," kata Faris.
"Ia juga sih," Aristi manggut-manggut.
Senja merambat naik. Malam mulai hadir seperti sedia kala. Bintang mulai bertebaran di cakrawala. Satu senyum dari Aristi menjadi tanda perpisahan senja itu.
***
Rasa kangen, ya kangen semakin membuncah dari hari ke hari. Membuncah sampai ada niat untuk bertemu. Apa daya, jarak tidak bisa dijangkau. Baiknya, kangen disimpan saja sampai waktu benar-benar mengerti untuk satukan kangen dalam pelukan yang erat.
Aristi masih sibuk dengan rutinitasnya yang bisa dibilang membosankan. Kerja banyak, melelahkan, honor kecil, bahkan tidak layak disebut honor! Menjadi suka rela di sebuah puskesmas memang tidak mengenakkan. Mau bagaimana lagi, Aristi perlu menekuninya. Pengabdian kepada masyarakat penting untuk dijalani. Laporannya menumpuk. Itu perlu diselesaikan untuk segera diserahkan ke atasan.
Semakin sulit rasanya ketika penat datang tanpa diminta. Kepala terasa berat. Aristi tersenyum tipis. Ia tahu, bagaimana ia menghilangkan kepenatannya.