Faris berlari kecil menuju tempat yang ditunjuk. Ia mendapati Aristi yang duduk melamun di atas kursi yang berjejer di ruangan belakang.
      "Ris," sapa Faris.
      Yang disapa hanya menatapnya. Lalu tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.
      "Ris, soal kemarin ... ," Faris terdiam.
      "Kenapa soal kemarin? O ya, sorry, kemarin aku mengganggu," ketus Aristi.
      "Bukan begitu, Ris. Kamu salah paham," jelas Faris.
"Salah paham? Mengapa pula kamu cerita ke aku. Pakai maaf segala!" Aristi tampak cuek. Sebulir air mata mulai menitik.
"88 km, Ris. 88 km, aku jadi paham sekarang. Terkadang aku menangis mengenang masa laluku. Kadang pula, aku menangis sebab aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, denganmu!" Aristi terisak.
Faris masih terdiam. Menatap buliran air matanya yang terus mengalir.
"Cassana, Ris. Itu namanya. Bukan siapa-siapa," jelas Faris.
"Aku lama mengaguminya. Lama sekali, sejak kami SMP. Sampai sekarang, aku bahkan menginginkannya. Hanya saja, aku kalah," kata Cassana yang tiba-tiba muncul.