"Ya, tinggi," katanya.
"Aku tak mengerti!" kata Aristi.
      Ia kemudian mendekatkan duduknya. Menggenggam tangannya. Memakaikan mahkota dari rumput-rumput liar yang dari tadi dirangkainya. Memakaikan pula, rangkaian rerumputan berbentuk cincin. Menyematkan bunga liar nan indah di telinganya.
      "Ris, aku cinta kamu. Cinta yang luas, seluas laut, sedalam samudra. Aku cinta kamu setinggi langit di atas kepalamu. Juga cinta kamu bak gunung di belakang punggungmu."
      "Apa kamu melamarku?" Aristi menitikan air mata. Terharu dan terbuai kata-kata manis nan elok yang keluar dari mulutnya.
      "Hei," panggil Faris.
      Aristi menunduk pilu. Mengenang masa dulu yang kian berlalu. Yang membuatnya rapuh dalam menunggu.
"Di sini, Ris. Di sini ia mengucapkan kalimat itu. Ya Faris, aku terbuai karenanya dulu," Aristi terisak.
"Menangislah, Ris. Menangislah kalau memang tangisan membuatmu tenang. Menangislah," kata Faris.
Aristi mengangguk. Faris mengeratkan pelukan. Deburan ombak masih mengalun di laut lepas. Sepoi angin masih manja. Menerbangkan rambutnya yang terurai.
"Makasih, Ris," kata Aristi.