88 Km Merindu
"Apa katamu, Lan? Serius kamu?" Aristi memastikan. Ia tampak serius. Dua bola matanya tidak melepas pandang. Tersirat keseriusan dalam bulatan bola matanya. Seolah menagih jawaban yang pasti dari sang penjaga hati.
Lan merapatkan duduknya. Ia memberikan seutas senyum khasnya. Senyum dari seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keseriusan dalam bercinta.
"Ris, aku serius! Serius, Ris," Lan membelai wajahnya. Satu kecupan amat mesra mendarat di pipinya membuat wajah Aristi memerah.
"Jangan tinggalkan aku, Lan. Aku percaya kamu!" Aristi menunduk pilu. Sebentar lagi, ia tidak merasakan kehangatan. Lan akan pergi. Pergi untuk kembali, entah kapan.
"Boleh aku tidak percaya kamu, Lan?" tanya Aristi dalam kekalutan hatinya.
Alan hening sebentar. Pontang-panting otaknya mencari kosa kata yang tepat untuk menjawab. Ia masih diam. Aristi menanti jawaban dengan bola mata yang diam. Alan menggeser duduknya. Digenggamnya tangan Aristi. Ia menatap matanya dalam-dalam.
"Ris, mutlak percaya itu untuk Tuhan, tidak padaku, Ris!"
"Aku ini manusia, Ris. Jangan begitu saja percaya padaku. Percaya saja pada-Nya!"
Setitik air mata turun di pelupuk. Alan mengusapnya lembut.
"Jangan menangis, Ris!"