Mohon tunggu...
Handi Yawan
Handi Yawan Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Fiksi & Kreator Komik

Tinggal di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Piknik ke Negeri Piramid #8

21 Januari 2020   13:23 Diperbarui: 21 Januari 2020   15:33 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cover oleh Handi Yawan & Ipank Draw

Chapter III

Apocalypse

"Sebentar lagi matahari terbit," simpul Amanda sambil melihat ke langit timur yang ufuknya mulai tampak semburat warna terang yang tipis.

Herman dan Amanda mulai gelisah karena sejak tadi malam hanya tertidur sejenak di taman alun-alun. Sedangkan Alaksolan yang ditunggu-tunggu belum datang pula menemuinya.

Dihubungi oleh Amanda lewat HP, tidak pernah diangkat oleh Alaksolan.

"Mungkin gangguan jaringan?" kata Herman sambil mengamati smartphone made in Osiris di tangan Amanda yang bentuknya oval sebesar sabun mandi.

"Memangnya di dunia kita ..." ejek Amanda.

Smartphone mirip sabun mandi ini berwarna hijau dan terbuat dari logam, tetapi transparan dan tanpa tombol apapun. Untuk mengaktifkan, tinggal disentuh lalu muncul ikon-ikon berupa cahaya sesuai fungsi masing-masing.

"Tapi ini jelas Alaksolan tidak mengangkatnya. Dia lagi sibuk sekali mungkin."

Lalu perhatian Herman beralih ke tempat lain.

"Lihat!" tunjuk Herman. "Sepertinya itu Pemuka utama yang akan memimpin puja untuk dewa matahari, Amun Re."

Mereka melihat Sang Pemuka mengenakan jubah sambil memegang tongkat dit angan kanan dan sebuah kalung rosario di sebalah kiri.
Mulai dari hiasan ular diatas kepala, kalung, gelang yang melingkar kedua lengannya, juga sabuk, semua dari emas dengan taburan permata berwarna warni.

Sang pemuka naik ke podium dan mengangkat tongkat tinggi-tinggi, lalu perlahan musik menjadi pelan.
Semua perhatian sekarang ke arah Sang Pemuka Utama menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Pemuka berdiri di atas podium sejajar dengan Sphinx menghadapkan badan ke arah matahari yang sebentar lagi terbit.
Piramida Khufu dan piramida-piramida lainnya yang lebih kecil berada di latar belakangnya.

"Amun Re! Kami bersama putramu, Anubis, dan kami anak-anakmu," kata Sang Pendeta mulai membuka acara puncak. "Pagi hari ini kami berkumpul di tanah para Dewa untuk mempersembahkan puja untukmu."

"Puja puja kami persembahkan untukmu karena berkat kemurahan hatimu selama ini Engkau berikan cahayamu untuk kehidupan kami yang abadi."

Matahari mulai menampakan diri. Di ufuk timur bergerak muncul bulat sempurna.
Cahayanya mulai bersinar terang dan menimbulkan bayangan memanjang membasuh wajah Anubis dari embun pagi.

Serentak para pendeta-pendeta pengiring yang berdiri di teras bawah podium mengangkat tongkat masing-masing.

"Amun Re, sinar kehidupan!" seru mereka serentak menyambut Dewa yang telah menampakkan diri hari ini. "Berkati kami, anak-anakmu."

Langit sudah terang sepenuhnya, namun sang pemuka utama rupanya belum sampai pada acara penutup karena masih mengangkat tongkatnya menunggu sebuah momen.

Tetapi, tanpa disangka-sangka oleh semua, tiba-tiba langit berubah lebih terang daripada cahaya yang berasal dari matahari.

Semua mata terpaku memandang ke atas sampai terheran-heran karena tidak tahu apa yang terjadi?

Lalu disusul datang suara bergemuruh dari angkasa. Suara semakin lama semakin keras seolah-olah langit akan runtuh.

Cahaya dari langit semakin kuat dan menyilaukan mata sehingga orang tidak kuat memandang langsung ke atas.

"Ada meteor jatuh?" sangka Amanda.

"Bukan!" sanggah Herman, "Itu Komet." Jelasnya.

"Sekarang aku mengerti Naga dari Langit yang diduga Prof. Marwan, adalah Komet! Seperti yang dicatat dalam kalendar Maya. Cocok bukan!"

"Ternyata Naga adalah gambaran imaginasi bangsa-bangsa primitif untuk Komet!" Tegas Herman.

Semua orang penasaran dengan perubahan cuaca dilangit yang mendadak ini. Lengan mereka terbuka untuk melindungi mata dari cahaya yang sangat menyilaukan mata sehingga tidak mampu melihat apapun.

"Bukankah catatan pada kalendar Maya adalah ramalan Kiamat?" tanya Amanda.

"Bukan, bukan!" kata Herman mengoreksi, "Kiamat 2012 terbukti meleset.

Kata Prof. Marwan, bangsa Maya adalah salah satu kelompok bangsa yang survive dari bencana di zaman ini. Dan prasasti Kalendar Maya sebenarnya adalah catatan kiamat di era Pliosen, negeri para dewa pemilik piramid-piramid yang terjadi saat pergantian milenium ini."

Herman tercengang mendengar kesimpulannya sendiri.

"Berarti Kiamat itu sekarang!" seru Amanda.

Herman dan Amanda saling merapatkan diri ketakutan.

"Tapi tenang Manda," hibur Herman. "Semoga selanjutnya tidak ada apa-apa.

Tetapi harapan Herman diragukan olehnya sendiri. Meskipun suara gemuruh perlahan-lahan semakin mengecil, dan sekarang langit mulai berkurang silaunya, Herman belum merasa tenang.

"Lihat!" seru Amanda menunjuk ke langit. Tampak sebuah bintang jatuh bergerak menjauh. Mereka teringat mitos apabila melihat sebuah bintang jatuh.

"Ini pertanda buruknya," kata Herman semakin cemas.
"Komet tadi hanya lewat saja di luar angkasa, tapi akibat kedatangannya yang kutakutkan!"

Meskipun demikian, semua orang mulai merasa lega karena langit berangsur-angsur normal.

Tapi mereka keliru, karena ternyata awan gelap cepat menyebar luas menutup langit ditiup oleh angin kencang.

"Sekarang apalagi?" pekik Amanda ngeri melihat perubahan cuaca kali ini.

Herman dan Amanda belum melepaskan pegangan masing-masing.
Halilintar mulai menyambar-nyambar melecut langit.

Komet memang telah menghilang secepat ia datang. Tapi sepeninggalan komet, cuaca menyusul menjadi semakin buruk.

Pemandangan mengerikan di angkasa semakin membuat takut manusia, betapa tidak, langit yang hitam kini dipenuhi oleh burung-burung berbagai jenis datang dari selatan dan berterbangan panik tidak tentu arah, ditiup oleh angin kencang

CUIT, CUIIIIT .....

KUAK, KUAK, KUAAAAAAK ....

Kicauan berbagai jenis jutaan burung membahana di angkasa seolah-olah lari dari sesuatu yang mengancam hidup mereka.

"Ini mengerikan!" Jerit Amanda lirih sambil memegang lebih erat lengan Herman.
Herman tidak mampu lagi menghibur kekasihnya karena ternyata ia sendiri sama takutnya.

"Masih ada waktukah kita pergi dari dunia ini?" tanya Amanda. "Takut sekali." Bisik Amanda lirih sambil bersandar di bahu Herman.

"Alaksolan mana?" tanya Amanda sambil sibuk menekan-nekan HP dengan jari gemetar. Tetapi ternyata HP tidak berfungsi. Walaupun demikian Amanda tetap terus mencoba menghubungi Alaksolan.

"Kayaknya terjadi gangguan akibat cuaca buruk ini." Kata Herman.

"Secepatnya kita harus menemukan Alaksolan agar segera menuntun kita ke tempat mesin waktu berada," ajak Herman, "Ayo! tunggu apa lagi." Herman menarik lengan Amanda.

Herman sempat melihat Amanda membuang HP yang telah membuat Amanda jengkel.

"Lewat sini!" tunjuk Amanda.

Herman dan Amanda berlari lari menuruni anak tangga sambil saling berpegangan erat.

Namun Herman dan Amanda sempat mendengar lewat pengeras suara, para pemuka menenangkan keadaan, "Jangan panik!" himbau mereka.

"Tadi itu adalah pesan dari langit!" hibur sang Pemuka Utama mewakili para pemuka lainnya. "Amun Re ternyata menerima doa kita."

Mendengar penjelasan dari orang yang mereka hormati, mereka percaya dan mencoba bergembira kembali.

Tapi tentu saja Herman dan Amanda tidak percaya, malah semakin mempercepat langkah kaki mereka pergi secepat mungkin mencari tempat tinggi yang bisa mereka capai.

"Kedatangan Komet tadi hampir menyeret matahari sampai berpindah posisinya. Equilibrium bumi menyesuaikan porosnya dengan matahari." Papar Herman.

Amanda ingat apa yang mereka lihat di Ibin Tuk yang ternyata Komet jauh lebih besar daripada matahari.
 
"Kata Prof. Marwan, banyak yang belum diketahui mengenai wujud komet sebenarnya. Bahkan Ia menduga akibat kedatangan komet ini, mengakibatkan pula perpindahan poros bumi yang mendadak dan pada saat bumi terus berotasi, sehingga lautan di selatan tumpah ke seluruh daratan di utara ini."

Herman dan Amanda sampai ke tempat motor roda tiganya di parkir. lalu Ia naik duluan, dan diikuti Amanda yang sekarang duduk di belakang.

"Tsunami raksasa akan datang dan menenggelamkan seluruh daratan sehingga membinasakan seluruh makhluk hidup di permukaan bumi ini!" Seru Herman.

"Kiamat?" Pekik Amanda.

Pertanyaan Amanda ini tidak perlu dibahas karena sudah tahu jawabannya.

"Kita tidak bisa menunggu Alaksolan datang menemui kita, kita pergi ke apartemen Alaksolan saja!" Amanda mengarahkan tujuan mereka.

Sepeda motor dipacu oleh Herman sekencang-kencangnya menuju gedung terdekat yang ditunjuk Amanda.
Tetapi di jalan sudah terjadi kekacauan.

Angin bertiup kencang dan menerbangkan segala macam benda ke arah mereka.
Pohon-pohon sudah banyak yang miring diterpa angin, bahkan beberapa sudah ada yang tumbang.

Tiba-tiba PRANG!, "Hei ada apa?" teriak Herman.
Amanda sama terkejut.

"Gempa!" kata Amanda melihat sebuah runtuhan bangunan menimpa sepeda motor yang mereka naiki.

***

Sepeda motor yang mereka bawa, atapnya telah banyak ditimpa runtuhan bangunan sampai penyok dan mengakibatkan oleng jalannya.

"Awas!" teriak Amanda mengingatkan Herman. Tentu saja Herman juga telah melihat onggokan reruntuhan yang melintang di jalan sehingga sigap membanting stir menghindar. Tetapi karena terlalu miring, sisi lain sepeda motornya menyentuh tanah.

Sepeda motor terguncang keras telah membentur jalan. Beruntung Herman masih bisa menguasai sehingga lajunya masih dapat dikendalikan lalu pelan-pelan menepi karena jalan di depannya sudah berantakan dan tidak baik dilalui.

"Ups.... Nyaris," gumam Amanda lega sejauh ini
mereka baik-baik dihadang berbagai kekacauan.

Herman bergegas turun lalu berlari kearah sisi lain untuk membantu Amanda keluar dari pintu yang jadi macet.

Herman dan Amanda mendapatkan dirinya di antara bongkahan-bongkahan bangunan yang runtuh dan bereserakan di jalan.
Orang-orang banyak yang memapah yang terluka. Jalanan sendiri banyak yang retak, pecah akibat gempa yang terjadi.

Keadaan bertambah menakutkan akibat terjadi banyak kebakaran dari gedung-gedung yang rusak.

'Ngeri!" aku Herman sambil melindungi Amanda dari kemungkinan tertimpa runtuhan. "Tapi ini baru awal, selanjutnya ...."
Perasaan Herman menjadi campur aduk melihat kekacauan ini.

Angin bertiup terlalu kencang sehingga Herman menepi.

Keputusan Herman sangat tepat, ketika baru saja mereka turun, sebuah sepeda motor datang berguling-guling.

Hampir saja Herman diseret oleh sepeda motornya sendiri, kalau ia tidak melepaskan pegangan stang.

Sepeda Motor itu benda mati sehingga terseret tiupan angin, sedangkan Herman dan Amanda berjuang sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak terlempar dihempas angin.

Dengan susah payah akhirnya Herman dan Amanda bisa berlindung dari tiupan angin yang semakin kencang di balik dinding sebuah gedung.

Herman dan Amanda terkesima melihat kendaraan-kendaraan yang lebih besar diterbangkan angin. Bahkan beberapa orang lewat terhempas di atas mereka sambil berteriak histeris.
Sekarang segala benda besar dan kecil diseret oleh angin kencang.

Mereka lihat pesawat-pesawat ringan yang terbang ikut dihempas pula ibarat debu tanah yang ditiup oleh angin.
Herman dan Amanda menjatuh diri agar bisa bertahan dan tidak terseret oleh angin.

"Lihat!" Teriak Amanda.

Herman merasakan tubuh Amanda menjadi tegang. Tapi Herman sendiri perhatiannya sedang tertuju ke arah lain.
 

Herman sedang merasakan getaran tanah yang dipijaknya.

"Ini bukan gempa, tapi kenapa tanah bergetar...?" tanya Herman, "malah semakin lama semakin ..."

Tapi sia-sia saja Herman berteriak. Suara angin lebih keras sehingga tidak terdengar jelas oleh telinganya sendiri.

Herman belum selesai bicara, tangan Amanda memegang rahangnya dan mendorong kepala Herman ke arah tempat Amanda melihat.

"Apa?" tanya Herman mengira Amanda hendak menunjukan sesuatu ....

Herman memperhatikan arah yang ditunjuk Amanda. Alangkah kaget Herman melihat pemandangan mengerikan di depan matanya. Herman tidak kuasa bergerak dan hanya mampu bergumam, "Ya Tuhan!" sambil gemetar ketakutan.

Keduanya terpaku di tempat saling berhadapan melihat pemandangan luar biasa di depan mata.

Air datang dari berbagai penjuru dengan deras. Tetapi air ini setinggi langit membentuk tembok besar berlapis-lapis, datang dibelakang gedung-gedung pencakar langit kearah mereka. Semua orang berlarian panik menghindari air yang menyeret apa saja yang dilalui.

Tetapi yang paling dahsyat adalah melihat ombak datang membentuk dinding air setinggi gunung.

Pada saat genting, seseorang datang lalu menyeret bahu Herman.

"Amanda!" teriak orang itu yang ternyata Alaksolan. Ia menyadarkan Herman yang masih mengangga melihat kejadian ini.

"Bawa Herman dan ikuti aku ke tempat mesin waktu."
Alaksolan berteriak sekuat tenaga di depan wajah Amanda supaya bisa didengar.

Amanda segara sadar, lalu menyeret tangan Herman yang sudah runtuh nyalinya.
Tapi segera Herman kembali mampu menguasai diri lalu bergerak sambil merendahkan badan dengan susah payah mengikuti mereka.

Mereka bertiga berjuang merapat ke dinding sambil bergerak maju diantara simpang siur dan lalu lalang orang yang masih mampu berlarian panik tidak tentu arah karena air sudah membanjiri ke manapun berlari.

"Ke sini," tunjuk Alaksolan yang telah mencapai sebuah pintu gedung paling terdekat yang mampu mereka capai.

Sementara orang lain berlarian keluar mencari selamat, ketiganya malah berlari ke arah berlawanan. Tidak ada waktu bagi mereka untuk memperhatikan orang lain yang dilanda kebingungan dan panik tidak tahu apa yang terjadi.

Alaksolan masuk ke lift, lalu diikuti Herman dan Amanda. Sebelum pintu lift tertutup, air yang datang lebih cepat, membanjiri setiap jengkal lantai dan tidak ada sesuatu yang sanggup menahan air yang datang dari berbagai arah.

Mereka sungguh beruntung, sebelum air naik lebih tinggi, lift telah membawa mereka bergerak naik.

Di dalam lift semua sisi dindingnya transparan sehingga mereka bisa melihat keluar tapi pemandangan yang tadi mereka lalui sudah tidak tampak karena semua sudah dibanjiri air sejauh mata memandang.
Langit gelap mulai menumpahkan air hujan yang turun dengan lebat dan disertai angin yang bertiup kencang.

Dari tempat ini mereka melihat air sudah mencapai piramida-piramida dan menenggelamkan sebagian besar diorama lambang keabadian yang dibanggakan hidup masyarakat Osiris.

REGG! Lift berguncang keras lalu berhenti sehingga ketiganya limbung mencari pegangan supaya tidak sampai jatuh.

"Liftnya mogok!" kata Alaksolan, tetapi pandangan Herman dan Amanda tertuju pada Sphinx yang dihantam oleh ombak.

Dari ketinggian ini, mereka melihat ombak berkali-kali datang menghantam wajah Sphinx.
Barulah ketika hantaman berikutnya yang membawa bongkahan material lebih besar, mengakibatkan kerusakan parah pada wajah sphinx.

"Listrik mati!" kata Alaksolan, "kita lewat tangga darurat."

Herman membantu Alksolan membuka paksa pintu lift. "Ayo kita jalan terus." Ajak Herman ke Amanda setelah berhasil membuka ruang agar mereka bisa keluar.

Akhirnya mereka bertiga tiba di lantai paling tinggi yang bisa mereka capai.
Keadaan di tempat itu tidak lebih baik karena semua berantakan. Barang-barang berceceran dimana-mana. Beberapa orang yang tertinggal di lantai ini memandang cemas keluar lewat kaca jendela.
 

Keindahan dan kemegahan kota telah lenyap ditenggelamkan oleh banjir yang datang tanpa peringatan dan tanpa ampun. Hanya gedung-gedung yang lebih tinggi tersisa menyembul dari permukaan lautan.

Langit gelap namun berkali-kali kilatan cahaya menjilat menyilaukan mata. Angin bertiup kencang menghantam kaca-kaca yang basah diguyur air hujan. Tiada henti ombak menghantam kaca dan tampaknya tidak akan bertahan lama.

Brak! Hantaman ombak yang datang kali ini membuat Amanda terkejut karena seolah-olah ombak akan menyapunya, JBURR! sehingga ia berlindung dibalik kedua lengannya sendiri.
Benar saja, kaca jendela mulai tergurat retakan yang semakin meluas, Kretek.... Kretek ...!

"Gawat!" desis Herman. Dari retakan sempit muncul lelehan air. Bunyi gemeretak semakin keras terdengar dintara gegap gempita teriakan minta tolong.

Herman cepat menghampiri Amanda hendak meraih dan memberikan perlindungan. Tapi terlambat! Kaca jendela tidak kuat menahan hantaman ombak berikutnya.

PRANG! JBURRR ....

"Amanda ....!" Pekik Herman yang tidak sempat
meraih Amanda karena ombak telah menjebol kaca sampai pecah dan air telah menyeret semua yang ada di lantai ini.

Herman hanya merasa tiba-tiba menjadi senyap dan mendapatkan dirinya mengapung apung dalam air, lalu akhirnya tidak tahu apa-apa sama sekali.

***

Sayup-sayup Herman mendengar suara Amanda memanggil.

"Huaaah....,"Hermansontakterbangunketika
ingatan mulai kembali pulih.

"Uhuk, uhuk!" Herman terbatuk-batuk memuntahkan air yang tertelan. Ia lega melihat Amanda duduk bersimpuh di sampingnya.

"Tenanglah!" hibur Amanda, "sejauh ini kita masih hidup." Kata Amanda terharu sambil memeluk kekasihnya.

"Di mana ini?" tanya Herman sambil memperhatikan sekeliling, sekarang Herman sudah ingat kejadian terakhir.
"Aku tidak tahu kita dilantai berapa?" papar Amanda. "Aku siuman lebih dulu daripada kamu lalu menyeretmu ke tempat yang tidak tergenang air. Tapi syukurlah badai sudah reda."

Seluruh pakain mereka basah kuyup. namun tidak mereka pikirkan.
Herman melihat anak tangga tempat ia berbaring telah menjadi tepi banjir. Kaca-kaca jendela bolong akibat pecah diterjang ombak sehingga angin dari luar leluasa masuk.

Dan sekarang lantai gedung pencakar langit ini telah menjadi bibir pantai.
Sejauh mata memandang yang mereka lihat hanyalah riak-riak permukaan banjir yang telah mengombang ambing segala benda hanyut.

Orang-orang yang selamat saling menolong satu sama lain, demikian pula mereka melihat pemandangan yang sama dari gedung di seberang yang seolah-olah muncul begitu saja dari permukaan air.

"Ayo cari tempat yang kering di atas." Papah Amanda bantu Herman berdiri.

"Aduh...."keluhHermansambilberingsut
menyangga tangan ke bahu Amanda. "Hancur badanku rasanya."

Herman dan Amanda tertatih-tatih naik meniti anak tangga. Sesungguhnya Amanda merasakan hal yang sama, tetapi ia harus menguatkan diri agar Herman ikut kuat.

Tiba di lantai lebih atas mereka memang tidak berharap lebih baik, tetapi setidaknya di sini bisa merebahkan diri tanpa kuatir kebasahan.

Di lantai ini mereka tidak hanya berdua, orang -- orang lain telah tiba lebih dulu.

Udara semakin dingin sehingga Herman dan Amanda saling merapatkan diri sambil berpelukan erat menghangatkan diri.

"Belum berakhirkah ini?" tanya Amanda, "udara semakin beku kayak di dalam kulkas."

Herman tidak punya jawabannya sehingga lebih memilih diam saja. Tangan Herman mengusap-usap bahu Amanda mencoba memberikan sedikit kehangatan.

Sementara yang lain sama rebah terduduk sambil memeluk badan sendiri yang menggigil manahan rasa dingin.
Bunga-bunga es telah kuncup dimana-mana, bahkan telah tumbuh di rambut dan badan.
 

"Kemana para Dewa yang mereka puja!" sindir Herman menyalahkan semua atas kejadian ini. "Jangankan bisa menolong manusia, bahkan mereka sendiri sudah tewas tenggelam!"

Suara-suara erang kesakitan sayu-sayup terdengar diantara suara riak air disibak langkah orang dengan susah payah.

"Tidak ada sinar matahari sedikitpun?" umpat orang yang berdiri dekat Herman sambil memeluk badan sendiri mengatasi dingin. Ia berdiri di balkon yang telah menjadi tepi pantai.

Tampak terlihat beberapa orang menolong orang lain yang berjalan keluar dari banjir sementara di belakangnya beberapa orang berenang dengan susah payah untuk mencapai tempat berpijak.

Tubuh-tubuh manusia bergelimpangan terombang ambing sudah tidak beryawa muncul di atas permukaan air bersama material-material lain.

Beberapa potongan gedung telah jatuh miring bersandar pada gedung lain yang masih berdiri. Terlihat beberapa orang yang tadinya selamat dan bisa bertahan hidup di atas piring-piring pesawat mulai bergerak pindah mencapai atap-atap gedung, karena tetap bertahan diatas piring-piring pesawat kapan saja bisa terbawa oleng dan terseret arus ke dasar laut.

"Amun Re...!" seseorang berteriak lantang. "Dimana Engkau?" protesnya keras walau tanpa ada jawaban.

"Amun Re! telah meninggalkan kita." Sesal yang lain putus asa.

Awan gelap masih menutup langit dan hanya sekali-kali terlihat di ufuk, jilatan halilintar membakar kaki langit.

Amanda merebahkan badan ke dada Herman yang bersender sambil menatap keluar melihat kemalangan yang menimpa semua orang.

"Kita terjebak di dunia yang sedang kiamat. Ya! Tuhan" Kata Herman. "Semoga Prof. Marwan dan team sudah pulang sebelum ini terjadi." Herman mendoakan team yang ia tinggalkan.

"Ya," timpal Amanda, "di utara sudah begini, bagaimana di selatan!?"

"Tidak ada yang bisa kita lakukan!" keluh Amanda.

"Tinggal Doa," Kata Herman mengingatkan orang yang ia sayangi sedang dalam pelukannya dan sama-sama ditimpa kemalangan.

Sekarang Herman dan Amanda malah merasa tentram dan tidak merasa takut lagi. Mereka ikhlas mati berdua di sini bersama-sama.

***

"Alaksolan pun mungkin terseret hanyut oleh tsunami..." terka Herman.

Tapi tiba-tiba ...

"Herman... Amanda!" Seseorang memanggil mereka.

Herman dan Amanda terkejut mengenali suara itu.

"Alaksolan!" pekik Herman senang sekali mendengarnya.

Alaksolan kembali tiba-tiba muncul.Kali ini dari balik sebuah pintu.

"Ternyata kalian juga selamat," seru Alaksolan yang sama girang melihat mereka baik-baik.

"Ayo bangun!" ajak Alaksolan, "apartemenku di lantai ini!"
Mendengar hal ini Herman dan Amanda bergegas bangun dan timbul kembali harapan mereka. Lalu disusulnya arah Alaksolan pergi.

Herman dan Amanda berlari menyusuri koridor yang berantakan dengan penuh semangat.

"Itu!" tunjuk Alaksolan saat tiba di depan sebuah pintu yang dituju.
Alangkah gembira Herman dan Amanda melihat wahana yang selama ini dicarinya ada di dalam sana.

"Sudah jalan, belum ya?" tanya Herman ragu.

Namun Alaksolan menepis keraguan Herman dengan bergegas naik wahana, lalu diikuti Herman dan Amanda.

Tanpa ragu, Alaksolan menekan beberapa tombol panel-panel di atas meja mesin.
Tidak membutuhkan waktu lama, lampu-lampu mesin menyala, lalu disusul terdengar suara sebuah mesin mulai ikut menyala.

Herman dan Amanda melompat-lompat kegirangan.

"Berikan Time-lockernya," pinta Alaksolan sambil mengulurkan tangannya. Sigap Herman mengambil Tempus Fugit dari wadah lalu memberikannya kepada orang yang berkali-kali jadi penolong mereka.

Setelah Alaksolan menyalakan alat portable itu lalu mengaktifkan setting waktu pada Time machine yang dikendalikan lewat Tempus fugit secara nirkabel.

Ternyata Alaksolan bisa menggunakan alat ditangannya dengan yakin seolah-olah pernah 

melakukan sebelumnya. Tapi Herman dan Amanda tidak ada waktu untuk bertanya.

Tidak lama kemudian tampaknya pekerjaan Alaksolan sudah rampung dan siap melakukan perjalanan lintas waktu.

'Ok!" kata Alaksolan mengajak bersiap. 'Waktu tujuan sudah di seting. Tapi jangan heran jadi lambat karena mesin ini sudah lama tidak dipakai."

"Yang penting kita bisa pergi dari dunia ini secepatnya," ucap Herman yang tidak sabar sambil menggigil menahan dingin yang menusuk badan.

"Dan pulang ke dunia sendiri yang indah melebihi apapun." Pekik Amanda tidak kalah girang.

Tidak lama kemudian tanda-tanda pergantian waktu mulai tampak.

"Aku tahu," Kata Alaksolan lega semua berjalan sesuai rencana. "Oleh sebab itulah aku mencari kalian, pelancong waktu!"

"Jadi kamu sudah tahu bencana ini akan terjadi....!"

Herman meyakinkan dirinya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun